Sabtu, 24 September 2011

Mengkritisi Buku Penodaan Islam di Gramedia (1) Buku “Sang Putra dan Sang Bulan; Kristen dan Islam” yang dijual bebas di toko buku Gramedia mengundang reaksi keras dari umat Islam karena sarat hujatan terhadap Islam. Inilah beberapa hujatan dalam buku setebal 197 halaman yang diterjemahkan dari edisi Inggris “Christianity and Islam: The Son and The Moon” karya Curt Fletemier, Yusuf dan Tanti. Inilah beberapa hujatan dalam buku yang dijual bebas di Gramedia itu: 1. Menghujat Allah SWT sebagai Tuhan yang bertindak ganjil dalam Al-Qur’an surat Al-Waqi’ah ketika bersumpah. “Bukankah ini sedikit ganjil? “Allah” harus meminta kuasa dari bintang untuk menunjukkan betapa mulianya Al-Qur’an???”(hlm. 140). 2. Melecehkan Nabi Muhammad adalah manusia yang berdosa, sama seperti manusia yang lainnya “Berdasarkan fakta-fakta ini, bagaimana anda membandingkan Muhammad dengan Yesus Kristus? Kami hanya menunjukkan beberapa berdasarkan Al-Qur’an dan Alkitab. Muhammad adalah manusia (yang berdosa) sama seperti manusia yang lain.” (hlm. 177). 3. Menghina Nabi Muhammad adalah orang yang kurang pengetahuan “Kurangnya pengetahuan yang benar tentang Yesus dalam diri Muhammad membuat pengertian akan Yesus menjadi berubah, dan kurangnya pengetahuan tentang Yesus dalam Al-Qur’an membuat mereka mengenal ‘Yesus” yang lain, yang pribadinya berbeda dengan yang kita kenal” (hlm. 142); 4. Menuduh semua ibadah dalam rukun Islam menjiplak praktik penyembahan berhala “Kebudayaan Islam berakar dari penyembahan dewa bulan. Setidaknya, lima tiang utama dalam Islam berasal langsung dari praktik penyembahan berhala” (hlm 146); 5. Menyamakan ibadah shalat umat Islam dengan praktik ritual penyembah dewa bulan “Para penyembah dewa bulan, yaitu para Sabean, mempunyai waktu sembahyang yang rutin. Saat sembahyang, mereka akan sujud menyembah menghadap Ka’bah, seperti yang dilakukan para kaum Muslim pada masa ini. Sembahyang mereka hampir identik dengan sembahyang yang dilakukan oleh muslim pada masa ini” (hlm. 148); 6. Menyebut ibadah haji sebagai ritual yang berasal dari praktik penyembahan berhala “Kaum Islamis melakukan ibadah Haji setiap tahun pada bulan Djul-Hijjah. Ritual ini berasal dari praktik penyembahan berhala, hampir tidak ada perubahan yang berarti. Mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali juga dilakukan pada masa sebelum Islam, dilakukan untuk menyembah Hubal dan Shams (dewa bulan dan matahari), dua dewa yang ada di atas Ka’bah, dan sebagai penghormatan kepada “putri-putri allah” (hlm. 146). 7. Menuding ibadah puasa Ramadhan sebagai penerus praktik keagamaan agama penyembah berhala. “Bulan puasa kaum Sabean dimulai pada saat bulan sabit dan tidak akan berakhir sampai bulan lenyap, lalu kembali bulan sabit muncul (sama seperti Ramadhan bagi Islam pada masa kini). Muhammad hanya meneruskan praktik keagamaan yang dipakai oleh para penyembah berhala” (hlm. 148); 8. Menghina lima ayat Al-Qur’an dalam surat An-Najm sebagai ayat-ayat setan. “Jika ada kebenaran dalam Islam, maka kisah ‘ayat-ayat setan’ juga benar, dan pengikut Islam harus bergumul dengan implikasi dari kisah tersebut. Saya sangat bersyukur, sebagai orang Kristen, kita tidak memiliki permasalahan seperti itu” (hlm. 138-139); 9. Melecehkan Al-Qur’an sebagai kitab yang tidak cocok bagi Muslim yang berakal sehat dan berperikemanusiaan. “Orang-orang Muslim biasa yang mempunyai akal sehat dan yang tinggi nilai kemanusiaannya, akan mengabaikan saja ayat-ayat semacam ini. QURAN 9:111, “Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. Itu telah menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an” (hlm. 26); 10. Menuduh Al-Qur’an mengalami kesalahan penulisan (hlm 164), tidak masuk akal (hlm 17), tumpang tindih (hlm. 113), dan kontradiktif/ bertentangan satu sama lainnya (hlm 155). GRAMEDIA MEMANCING KERUSUHAN UMAT BERAGAMA Tindakan Gramedia menjual buku yang memancing kerusuhan umat beragama itu memang keterlaluan. Pasalnya, buku tersebut tergolong buku gelap, karena penerbitnya tidak mencantumkan alamat jelas. Penerbit yang menamakan Sonrise Enterprise hanya mencantumkan email dan nomor kontak 08881613377 yang tidak bisa dihubungi karena sudah tidak aktif alias mati. Maka tak heran jika Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH. Slamet Effendi Yusuf mengecam Gramedia sebagai penjual buku sampah. “Kami meminta agar toko buku itu (Gramedia) agar selektif, dan tidak memancing kemarahan umat Islam. Tentu, akan lebih baik agar toko buku itu menarik buku yang bisa merusak suasana dan mengganggu kerukunan antar umat beragama,” tegas Slamet. Menurutnya, buku penodaan yang dijual di Gramedia itu adalah garapan kelompok fundamentalis Kristen yang sangat berpotensi menimbulkan gejolak seperti yang terjadi di Temanggung beberapa bulan lalu. Ironinya, meski penuh dengan hujatan terhadap Islam, Al-Qur’an dan Nabi Muhammad, sang penulis berani mengklaim bukunya sebagai bentuk kasih-sayang terhadap umat Islam. “Apakah pembaca yang budiman adalah seorang Muslim? Jika ya dan jika Anda yakin telah memiliki kebenaran dalam Islam, maka tidaklah masalah bagi Anda untuk membaca buku ini. Membaca buku ini mungkin merupakan cara terbaik untuk menguji iman Anda” (hlm 7 alinea ke-3). “Jadi, kesimpulannya bahwa buku ini pertama dan terutama ditulis untuk orang Kristen. kedua, untuk orang yang menganggap semua agama sama. Ketiga, bagi mereka yang sedang mencari kebenaran, dan terakhir bagi orang Muslim yang berpikiran terbuka” (hlm 7 alinea ke-7). “Buku ini sama sekali tidak ditulis dari hati yang benci atau tidak senang terhadap orang Muslim. Kami mengasihi orang-orang Muslim. Buku ini ditulis dengan ketulusan hati pengikut Kristus yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang tinggi.” (hlm 9 alinea ke-4). Kata-kata ‘kasih’ dan ‘ketulusan’ yang keluar dari mulut evangelis Kristen itu patut diragukan seratus persen. Jika mereka tulus mengasihi umat Islam dengan buku tersebut, mengapa mereka tidak menulis nama dan alamat terang penerbit? Mengapa mereka justru memajang nomor telepon palsu? Selain itu, pada bagian lain disebutkan bahwa tujuan inti buku penodaan agama itu adalah untuk meneguhkan iman kristiani kepada Yesus Kristus. “Buku ini memang ditulis khusus untuk umat Kristen, guna menguatkan iman mereka” (hlm 7 alinea ke-6). Buku ini ditulis terutama bagi orang-orang Kristen, guna meneguhkan iman mereka kepada Yesus” (hlm 127 alinea 1). Dengan demikian, jelaslah bahwa sang evangelis Kristen mengasihi umat Islam sekaligus mengokohkan iman kristiani dengan hujatan terhadap Islam, Allah SWT, Nabi Muhammad SAW dan Al-Qur’anul Karim. Mereka menyamakan makna KASIH dan HUJAT. Selain itu, patut disimpulkan bahwa iman kristiani yang diyakini penulis buku ini adalah iman yang didasarkan pada kebencian dan permusuhan. Bagaimana mungkin menguatkan iman Kristen dilakukan dengan cara menghujat agama lain? Mungkinkah iman bertumbuh dengan spirit kebencian? Jargon-jargon mengasihi umat Islam dari mulut para penginjil adalah kebohongan besar atas nama Yesus untuk misi Kristenisasi. Kebohongan untuk misi ini sesuai dengan ajaran Paulus: “Tetapi kalau kebohonganku menjajakan kebenaran Allah, bagaimana mungkin aku dihukum sebagai pendosa?”(Roma 3:7, Alkitab Arnoldus Ende-Flores 1969). Para penginjil mengidolakan praktik kebohongan misi untuk meninggikan nama Yesus, padahal dalam Yohanes 8:44, Yesus mengecam para pendusta sebagai hamba iblis, bukan hamba Tuhan!!


Oleh: Dr. Adian Husaini
DALAM sebuah buku Sejarah untuk siswa SMP kelas VIII (Jakarta: Erlangga, 2006), diuraikan satu bab khusus berjudul “Perkembangan Kristen di Indonesia”. Bab ini dibuka dengan uraian berikut: “Mengapa perlu mempelajari bab ini? Penyebaran Kristen di Indonesia berintikan damai dan cinta kasih. Namun, karena intervensi politik Barat, timbul kesan penyebaran Kristen identik dengan kolonialisme dan imperialisme. Dengan mempelajari bab ini, kita diajak untuk semakin sadar betapa campur tangan politik dapat merusak nilai-nilai luhur yang terkandung pada setiap agama.”
Pada bagian selanjutnya dijelaskan tentang kendala penyebaran agama Kristen di Indonesia: “Para penguasa dan penduduk setempat mencurigai para rohaniwan sebagai sekutu Portugis ataupun Belanda. Tindakan penindasan yang dilakukan para pedagang maupun pemerintah kolonial menimbulkan kesan bahwa Kristen identik (sama saja) dengan kolonialisme. Padahal para rohaniwan selalu datang dengan maksud damai.” (hal. 61)
Inilah salah satu contoh materi sejarah yang diajarkan kepada para pelajar SMP. Benarkah isi buku pelajaran sejarah tersebut? Ada baiknya kita simak penjelasan dari kalangan Kristen sendiri!
Pada tahun 2010, juga rangka memperingati 150 tahun Huria Kristen Batak Prostestan, Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, bekerjasama dengan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Ecole francaise d,Extreme-Orient, dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia menerbitkan sebuah buku berjudul Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba: Berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG Lain, karya Prof. Dr. Uli Kozok, seorang professor kelahiran Jerman.
Prof. Uli Kozok membuka bukunya dengan sebuah kutipan seorang tokoh Gereja se-Dunia, Ph. Potter: “Gerakan penginjilan […] bermula bertepatan dengan waktu munculnya kolonialisme, imperialisme dan – sebagai akibatnya – rasisme. Oleh sebab itu maka gerakan penginjilan secara hakiki terkait dengan sejarah rasisme.”
Berdasarkan dokumen-dokumen di lembaga misi di Jerman yang mengirimkan Nommensen ke Tanah Batak, yaitu Rheinische Missions-Geselschaft (RMG), Prof. Uli Kozok menemukan fakta pengakuan Ludwig Ingwer (L.I.) Nommensen, tokoh misionaris Jerman di Tanah Batak, bahwa dia bergabung dengan pasukan Belanda untuk melawan gerakan perlawanan para pahlawan Batak yang dipimpin Sisingamangaraja XII. Laporan Berichte Rheinische Missionsgeselschaft (BRMG), menunjukkan, para penginjil justru bersekutu dengan tentara penjajah dalam menumpas perlawanan Sisingamangaraja XII. Lebih jauh Prof. Kozok mencatat:
“Pemerintah Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen, sehingga terbentuk koalisi Injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak memiliki musuh yang sama: Sisingamangaraja XII yang oleh zending dicap sebagai “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen.” Bersama-sama mereka berangkat untuk mematahkan perjuangan Sisingamangaraja. Pihak pemerintah dibekali dengan persenjataan, organisasi, dan ilmu pengetahuan peperangan modern, sementara pihak zending dibekali dengan pengetahuan adat istiadat dan bahasa. Kedua belah pihak, zending Batak dan pemerintah kolonial, saling membutuhkan dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada hakikatnya sama: memastikan bahwa orang Batak “terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa. (BRMG 1882:202)” (hal. 92).
Dalam perang menumpas perjuangan Sisingamangaraja XII, pihak zending Kristen berhasil meyakinkan ratusan raja di tanah Batak agar berhenti mengadakan perlawanan dan menyerah kepada kekuasaan Belanda:
“Dukungan dan bantuan para misionaris yang mendampingi ekspedisi militer hingga ke Danau Toba juga mempunyai tujuan lain, yaitu meyakinkan masyarakat bahwa perlawanan mereka sia-sia saja dan mendesak mereka agar menyerahkan diri.” (JB 1878:31). (hal. 93).
Sementara, para raja yang tidak mau menyerah, didenda dan kampung mereka dibakar. Atas jasa para misionaris, terutama Nommensen dan Simoncit, pemerintah kolonial Belanda memberikan penghargaan resmi, melalui sebuah surat:
“Pemerintah mengucapkan terimakasih kepada penginjil Rheinische Missions-Geselschaft di Barmen, terutama Bapak I. Nommensen dan Bapak A. Simoncit yang bertempat tinggal di Silindung, atas jasa yang telah diberikan selama ekspedisi melawan Toba. (BRMG 1879:169-170).” (hal. 93-94).
Selain surat penghargaan, para misionaris juga mendapat hadiah sebesar 1000 Gulden dari pemerintah kolonial yang dapat diambil setiap saat. Kerjasama antara misionaris Kristen dan penjajah Belanda berlangsung sampai Pahlawan Sisingamangaraja XII tewas dalam pertempuran tahun 1907. Dukungan kaum misionaris kepada pemerintah penjajah juga dimaksudkan untuk mencegah masuknya Islam ke Tanah Batak. (BRMG 1878:94).
Sikap pro-penjajah dari kaum Misionaris bukan hanya saat Perang Toba melawan Sisingamangaraja XII. Sikap para misionaris Kristen ini masih terus berlangsung di kemudian hari. BRMG 1897: 278-279 menulis laporan berjudul “Wie weiter auf Sumatra?” (Bagaimana Kelanjutannya di Sumatra?). Batakmission mengaku mengalami kendala untuk melakukan misi Kristen di Samosir, sebab Samosir masih merupakan “Tanah Batak Merdeka”. Selanjutnya, BRMG mencatat:
“Oleh sebab itu, “dapat dimengerti bahwa penginjil kita sangat menghendaki agar pemerintah Belanda menduduki Samosir.” Lagipula, konferensi penginjil tahun 1897 telah memutuskan bahwa “penginjilan dapat dilakukan dengan lebih tenang dan dengan lebih banyak sukses di bawah perlindungan pemerintah Eropa.” (hal. 103).
Menurut catatan sejarah, kerjasama misionaris Kristen Batak dengan penjajah Belanda diakui dengan bangga oleh para misionaris Batak. Belanda juga mempersenjatai kaum Kristen Batak dengan 50 bedil. Sebab, jika orang Batak menjadi Muslim, mereka tidak mungkin setia kepada pemerintah penjajah. BRMG 1878:154 mencatat:
“Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang. Sebagai orang Islam, orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. […] memang benar orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda.”. (hal. 106).
Dalam surat-surat yang dikirim tokoh misionaris I. Nommensen, tampak jelas digunakannya istilah “musuh” untuk Sisingamangaraja XII dan rakyat Batak yang berusaha mempertahankan kemerdekaan mereka. Misalnya, dia tulis: “Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa hari, musuh kami yang jahat bergerak lagi”… “Kebanyakan musuh berasal dari daerah sekitar Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Sisingamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya.” (hal. 107).
Dalam suratnya yang lain, Nommensen mencatat: “Hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah zending kita bisa masuk… (BRMG 1882:302).” (hal. 108).
Sebuah surat tentang pentingnya penaklukan Toba oleh penjajah Belanda dan misi Kristen dalam rangka menghambat masuknya pengaruh Islam, ditulis oleh laporan BRMG 1882 (7): 202-205:
“Perang dan penaklukan Toba sangat mendukung dan mempercepat pembukaan pos penginjilan. Walaupun tidak secara langsung, para penginjil kita di Silindung memainkan peranan yang cukup besar dalam ekspedisi militer Belanda terhadap Toba. Upaya mereka untuk menyebarkan Injil di Silindung mendapatkan perlawanan dari Sisingamangaraja yang dulu maupun Sisingamangaraja yang sekarang. Karena sudah kehilangan sebagian besar kekuasaannya, keduanya berusaha memperoleh kembali pengaruhnya yang hilang dengan mengusir para penginjil. Sisingamangaraja terutama memusuhi agama Kristen, akan tetapin karena ia bersekutu dengan orang Aceh di Utara maupun dengan Batak Islam di Timur maka kegiatan mereka juga memusuhi pemerintah Belanda. Dengan demikian sangat bijaksana keputusan pemerintah untuk langsung bertindak memperluas dan memperkokoh kekuasaannya, mengingat tindak-tanduk orang Aceh dan jaringan mereka yang makin hari makin ketat dan luas.” (hal. 153-154).
Dalam bukunya, Prof Uli Kozok juga menunjukkan data bahwa hubungan erat antara misi Kristen dan Penjajahan memang sudah menjadi suatu kelaziman. Paus Pius XI, misalnya, melalui surat kabar Vatikan, Osservatore Romano, 24 Februari 1935, pernah secara eksplisit mengeluarkan pernyataan yang mendukung penjajahan:
“Penjajahan merupakan keajaiban yang diwujudkan dengan kesabaran, keberanian dan cinta kasih. Tiada bangsa atau ras yang berhak hidup terisolir. Penjajahan tidak berlandaskan penindasan tetapi berdasarkan prinsip moralitas tertinggi, penuh dengan cinta kasih, kedamaian dan persaudaraan. Gereja Katolik senantiasa mendukung penjajahan, asal dilaksanakan dengan jujur dan manusiawi tanpa menggunakan kekerasan. Oleh sebab itu kami melihatnya sebagai sesuatu yang memiliki daya dan keindahan yang luar biasa.” (hal. 85-86).
Bukan hanya kolonialisme, ideologi rasisme juga ditanamkan kepada para misionaris dari Rheinische Missions-Geselschaft (RMG). Seorang petinggi RMG, Ludwig von Rohden (1815-1889), berpendapat bahwa semua manusia adalah keturunan Nabi Nuh, yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia. Ada lima warna kulit yang dimiliki keturunan Nabi Nuh itu: putih, kuning, merah, coklat dan hitam. Menurutnya, warna kulit ditentukan oleh kadar dosa masing-masing. Semakin berdosa sebuah bangsa, maka akan semakin hitam warna kulitnya. Kata Ludwig von Rohden dalam sebuah tulisannya:
“Secara bertahap-tahap manusia menjauhkan diri dari sumber kehidupan ilahi. Semakin jauh [sebuah bangsa] menjauhkan diri, semakin merosot moral dan kecerdasan, seiring dengan itu juga postur, bentuk tubuh dan warna kulitnya. Bangsa yang paling dekaden mendapatkan warna kulit paling hitam, dan bentuk tubuhnya menjadi mirip dengan binatang. Namun perbedaan hakiki antara manusia dan binatang masih tetap ada: ialah jiwa yang dihembuskan Allah kepada jasad sebagai bagian kehidupan ilahi.” (hal. 59).
Menurut Rohden, bangsa berkulit hitam bisa menjadi putih kulitnya jika mereka menjadi Kristen:
“Negro yang paling rendah derajat pun masih bisa diangkat menjadi manusia terdidik bila dididik dengan cara yang tepat melalui pengaruh Kekristenan yang bersifat menyembuhkan. Seiring dengan [proses penyembuhan] itu, maka raut muka yang kebinatangan menghilang, pandangan mata dan tubuhnya akan menjadi lebih sempurna, bahkan warna kulitnya secara turun-temurun bisa menjadi lebih putih.” (hal. 60).
Itulah fakta dan data tentang misi Kristen yang ditampilkan Prof. Uli Kozok – guru besar dan ketua jurusan bahasa Indonesia di Universitas Hawai. Gambaran misi Kristen yang berkolaborasi dengan penjajah itu jauh sekali bedanya dengan isi buku Sejarah yang kini diajarkan kepada anak-anak Muslim di sekolah-sekolah tingkat SMP.
Seyogyanya, para pimpinan sekolah Islam, para guru, dan orang tua sadar benar akan kekeliruan besar semacam ini. Sungguh ironis, jika ada lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan bahan-bahan sejarah semacam ini, yang merusak pemikiran dan jauh sekali dari fakta sejarah sebenarnya. Bukankah Allah SWT sudah memperingatkan: “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!” Wallahu a’lam bil-sshawab.*/Depok, 24 Ramadhan 1432 M/24 Agustus 2011.
Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah.com, Ketua Program Studi Pendidikan Islam, Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor