Minggu, 18 Desember 2011

PENGAKUAN NABI SUCI

"Dan orang-orang kafir berkata: Engkau bukanlah Utusan. Katakanlah: Allah sudah cukup sebagai saksi antara aku dan kamu, dan pula orang yang mempunyai ilmu Kitab"(13:43). 

Selama perkembangan sosial suatu bangsa tidak mencapai tingkat yang membutuhkan suatu pemerintahan yang terorganisir untuk memecahkan pertentangan sesamanya, maka tak ada bentuk sistematis yang diberikan demi hukum dan statuta. 

Begitu pula, tanda-tanda kebenaran dari pengakuan kenabian itu tergantung kepada perkembangan mental dari bangsa itu. 

Pada zaman kuno, orang-orang biasa menunjukkan kebenaran mereka dengan macam-macam cara, misalnya, dengan mengambil janji, menyalakan api di tangannya, atau masuk kedalamnya, dengan selamat menyeberangi arus yang deras, membuang diri dari suatu gunung tanpa terluka, ramalan, sihir magis, berjalan di atas air, melemparkan arwah jahat kepada babi, dan dengan menunjukkan trik-trik sulapan tangan. Karena itu posisi dari si penguji atau pencari kebenaran sedikit lebih susah daripada sebuah mesin dewa. Tak perlu ada pemikiran mendalam yang diperlukan untuk menuliskan keaslian dari pengakuan semacam itu. Dalam agama Hindu, Yahudi, Majusi, bahkan dalam agama Kristen dan kultus kuno prmbenaran atas orang-orang suci diputuskan dengan kriteria semacam itu (1). 

Namun. al-Quran tidak menggelar taumaturgi semacam itu dalam menunjang pengakuan Nabi Suci Muhammad s.a.w. Jika kesempurnaan hukumnya itu adalah kriteria dari masyarakat yang beradab, maka standar al-Quran yang diletakkan bagi kebenaran klaim Nabi Suci mengandung suatu pertimbangan yang hati-hati. Dalam ayat yang saya kutip di atas, dua macam kesaksian telah dimajukan untuk mendukung klaim Nabi Suci, dan kesaksian ini telah dipandang cukup untuk menegakkan kebenarannya -kesaksian dari Tuhan sendiri dan kesaksian dari seseorang yang mengenal Kitab itu. "Kitab" itu, tentunya, berarti wahyu -wahyu sebelumnya dari Tuhan. 

Dalam hukum sejarah, dua faktor khusus bisa dicatat ­pentingnya saksi dan relevan serta positifnya kesaksian itu. Dalam hal Nabi Suci Muhammad s.a.w. keagungan dari peristiwanya jelas dari kenyataan bahwa Tuhan sendiri yang berdiri sebagai saksi baginya. 

Kesaksian dari Tuhan. 

Dengan kesaksian Tuhan biasanya diartikan dengan kejadian dari Kitab Alam, tenaga selestial luar-biasa dan tanda-tanda langit yang selalu menjadi ciri kebenaran dari orang-orang yang terilham dari Ilahi. Kita temukan di alam semesta ini segala sesuatu itu diperintah oleh suatu hukum yang khusus. Dari atom yang paling kecil hingga orbit yang sangat luar-biasa besarnya, kiranya tak suatu pun di alam ciptaan ini yang bekerja tanpa suatu prinsip: "Tuhan kami ialah Tuhan Yang memberi segala sesuatu sesuai terciptanya, lalu memberi petunjuk" (Quran Suci 20:50). 

Hukum Ilahi yang komprehensif menyeluruh ini adalah suatu kesaksian yang kuat atas kebenaran klaim Nabi Suci; karena beliau adalah yang pertama dari semua nabi yang memajukan alasan ini untuk membuktikan universalitas dari wahyu Ilahi, umpamanya, bahwa setiap lembar daun di buku alam dan setiap partikel dari ciptaan semuanya siap memerlukan kebutuhan akan hukum-hukum yang telah ditanamkan oleh Yang Maha-kuasa di dalamnya. Bila Tuhan Yang Maha-bijaksana, Pemelihara alam semesta, telah mengaruniai suatu hukum bahkan kepada atom yang paling kecil, maka manusia, yang adalah karya tangan Tuhan yang terbaik dari kekuasaan-Nya Yang Maha-perkasa, dengan suatu lapangan yang sangat luas untuk tumbuh-kembang di hadapannya, pasti memerlukan petunjuk dan cahaya langit demi pemeliharaan dan kemajuan perkembangannya. Berfirman Yang Maha-kuasa dalam Quran Suci: 

"Mahasucikanlah nama Tuhan dikau, Yang Maha-luhur. Yang menciptakan, lalu menyempurnakan, Dan Yang memberi ukuran, lalu memberi petunjuk (mereka kepada tujuannya)" (87:1-3). 

Menentukan bahwa seorang manusia itu terbatas dari wahyu Ilahi dan menetapkannya hanya kepada periode atau kaum tertentu, tidak saja menolak asma Tuhan Yang Maha-pengasih, Penyayang dan Maha-murah, melainkan juga merendahkan kebutuhan utama dan inti-sari dari agama. Dia berhenti sebagai kebutuhan yang tak tergantikan yang sangat perlu ditanamkan pada setiap bangsa, atau bila itu rusak karena melapuknya waktu, maka harus dibangkitkan kembali melalui seorang nabi baru yang membuatnya lagi sebagai daya motivasi kehidupan kemanusiaan. Jika segenap bangsa di dunia, kecuali suatu kaum khusus yang disayangi, bisa mengelola hidupnya tanpa agama, dan dapat menghasilkan, tanpa wahyu serta ilham Ilahi contoh keluhuran budi dan kesalehan yang utama sebagaimana ditampakkan suatu waktu dalam pribadi Zarathustra, Buddha atau Ibrahim, dan kadang-kadang dalam pribadi Musa, Krishna atau Yesus Kristus, sesungguhnya agaknya tak ada keadilan dalam memilah suatu kaum atau tempat tertentu yang mendapat hidayat serta perintah khusus dengan melupakan sisa umat manusia selebihnya. Dan jika itu adalah Tuhan Sendiri, Yang dengan hukum pembalasan-Nya, secara tidak perlu menimbulkan perpecahan di kalangan manusia, dengan menunjukkan Cahaya-Nya hanya kepada sedikit orang yang terpilih, dengan mengabaikan sisanya serta mengutuknya ke neraka seolah mereka itu bukan makhluk-Nya, maka Tuhan semacam itu tidak berharga untuk disembah. Dia tak ada bedanya dengan dongeng seorang raja buta dari suatu kerajaan tanpa cahaya di mana Yang menolaknya lebih baik dari pada menerimanya. 

Ini adalah suatu subyek yang sangat luas dan luar biasa ekstensif. Semakin lama seseorang merenung akan hal ini, semakin terasa bahwa jelas kebutuhan akan agama hanya timbul dalam keadaan bahwa Islamlah yang hadir. Islam menjaga bahwa para nabi itu dibangkitkan dari masa ke masa di setiap bangsa di dunia, dan Kemurahan dari Tuhan Yang Maha­penyayang tidak pernah meninggalkan satu pun dari makhluk-Nya dari cahaya dan bimbingan atas Agama Sejati. Juga dia berpegang bahwa agama itu pasti diketemukan di setiap zaman dan iklim sebagai suatu kenyataan yang mapan; pengikutnya harus menganggap penyiarannya sebagai tujuan utama hidupnya. Tak ada suatu pun kekuatan di dunia, betapa pun besarnya; bisa menahan mereka dari cita-cita dakwahnya. Bila tidak maka setiap rahasia dalam penyiaran agama serta bisik rayuan musik di telinganya, kalau diketahui orang lain, bisa mengurangi tujuan utama dari agama. 

Hanya keimanan kepada Nabi Suci saja yang bisa menjamin Perdamaian Universal. 

"Dan sesungguhnya telah Kami bangkitkan bagi tiap-tiap umat seorang Utusan, sabdanya: Mengabdilah kepada Allah dan jauhkanlah diri kamu dari tuhan-tuhan palsu".(Q.S.16:36). 

Nabi Suci Muhammad, dari semua nabi-nabi di dunia, telah dianugerahi gelar yang unik. Satu ciri yang menandai dakwahnya yalah bahwa beliau menjamin kebenaran dari semua nabi yang telah wafat sebelum beliau, dan membuat kewajiban bagi pengikutnya agar mengimani mereka seluruhnya, seperti kepada risalah Ilahinya sendiri juga. Prinsip Islam ini begitu menarik dan agung, sehingga itu tidak saja membentuk dasar utama dari Agama Sejati dan perdamaian universal, melainkan juga sedikit penyimpangan saja dari prinsip itu akan merubuhkan seluruh struktur agama ke tanah. Karena, menurut Islam, agama adalah suatu realitas universal yang bisa diketemukan pada setiap bangsa di dunia. Dalam abad ini, manusia dengan pandangan seperti ini telah melompat keluar dari nyaris semua agama, yang menjadi suatu pertanda jelas akan tak bergemanya lagi kredo ini. Tetapi Muhammad adalah guru terilham pertama yang mengajarkan prinsip yang agung ini ke dunia. Tiada nabi sebelumnya yang menurunkan kebenaran ini, atau pun suatu agama lain yang mempunyai keimanan kepada semua nabi, suatu rukun iman yang penting. 

"Tuhan sarwa sekalian alam" - Suatu konsep yang hanya ada dalam Quran. 

"Segala puji kepunyaan Allah, Tuhan sarwa sekalian alam" (Q.S.1:1). 

Dia adalah Tuhan Timur dan juga Tuhan Barat. Dengan menyisihkan pengakuan atas munculnya para nabi di setiap bangsa, kebanyakan agama-agama itu tidak cukup toleran dan ramah bahkan untuk memberi hak bahwa Tuhan mereka itu adalah Tuhan atau Dewa dari bangsa-bangsa lain juga. Agama Brahma dan Weda memandang hanya bangsa Arya-lah anak­anak Tuhan itu (Nirukta 6:26). Induk sapi Weda hanya menghasilkan susunya bagi kaum Brahma, Ksatria dan Waisya, serta hanya memberi makan dan memelihara mereka saja (2). Yehovah, Tuhan bangsa Israel, tadinya tidak sepenuhnya merupakan Tuhan mereka sendiri. John S.Hayland dalam bukunya "A brief history of civilization" (Suatu sejarah singkat peradaban) halaman 72 menulis:

"Tuhan yang disembah bangsa Yahudi tadinya dipandang sebagai Dewa suku dari bangsa nomad... untuk berabad-abad bangsa Yahudi terus-menerus menganggap Tuhan ketulusan ini sebagaiTuhan mereka saja... Tetapi ide ini yakni bahwa Tuhan kebangsaan mereka sendiri itu adalah juga Tuhan dari orang-orang lain tidak pernah diterima baik dan diangkat oleh massa penduduk Yahudi". 

Kesaksian Ilahi dalam bentuk Kemenangan Langit.

"Katakanlah: Allah sudah cukup sebagai saksi antara aku dan kamu. Sesungguhnya, Dia itu Yang Maha-waspada, Yang Maha-melihat kepada hamba-hamba-Nya" (Q.S.17:96). 

Dalam ayat ini, kesaksian Tuhan berarti kemenangan Kebenaran dan kepanikan kepalsuan. Kebenaran, meskipun maraknya penentangan, akan bertumbuh dan berkembang; sedangkan kepalsuan, meskipun didukung dengan kekuasaan dan privilese, akan lenyap, karena, Tuhan dengan kekuatanNya Yang Maha­kuasa senantiasa Waspada dan Melihat. Kesaksian kedua dari Tuhan ini ditemukan dalam setiap fase dari kehidupan Nabi dalam bentuk sukses yang mengagumkan. Tanda-tanda langit yang muncul untuk membantu Nuh, Ibrahim, Buddha, Krishna, Musa, Zarathustra dan segenap nabi di dunia, muncul dalam bentuk yang paling nyata dalam mendukung Nabi Muhammad. Kebesaran sukses dan keunggulannya, yang menyingkirkan perlawanan yang kuat, sedikitnya ikhwan dan benyaknya musuh, adalah suatu bukti nyata dari bantuan Ilahi. Bahkan para musuh Islam telah mengakui sukses yang unik dari Nabi ini, dan hal itu, sebagai bukti nyata, bahwa kebesaran yang sesungguhnya itu yakni adalah yang juga diakui oleh lawan-lawannya.Encyclopedia Britannica dalam artikel "Quran" menggambarkan Nabi Suci sebagai:

"Yang paling penuh sukses dari segenap nabi serta tokoh keagamaan"(3) 

Nabi Yang Dijanjikan 

"Dan tatkala Allah membuat perjanjian melalui para Nabi: Sesungguhnya apa yang Kami berikankepada kamu berupa Kitab dan Kebijaksanaan --lalu Utusan datang kepada kamu, membenarkan apa yang ada pada kamu, seharusnya kamu beriman kepadanya dan membantu dia. Ia berfirman: Apakah kamu membenarkan dan menerima perjanjian-Ku dalam (perkara) ini? Mereka berkata: Kami membenarkan. Ia berfirman: Maka saksikanlah dan Aku pun golongan yang menyaksikan bersama kamu" (Quran Suci 3:80). 

Di samping dua kesaksian yang telah disebut di atas, masih ada kesaksian Tuhan yang mengagumkan lainnya yang merujuk kepada ayat ini. Suatu perjanjian telah diminta dari segala bangsa di dunia melalui nabi mereka masing-masing, bahwa pada saat nabi yang akan mengkonfirmasi kebenaran meraka dan mendukung dengan bukti atas Kitab-kitab Suci mereka itu datang, mereka harus menerimanya dengan tangan terbuka, dan memberikan segala bantuan sebisanya. Perjanjian nabi ini dicatat dalam Kitab-kitab Suci mereka berbentuk nubuat. Nabi Muhammad s.a.w. membawakan kebenaran yang unggul ini ke dunia, yang membuktikan mutlak perlunya agama itu dan kemudian menegakkannya di atas kaki-kaki yang teguh. Keadaan dimana kitab-kitab suci dunia ini diketemukan sekarang, sesungguhnya adalah suatu hal yang mengejutkan. Tak diragukan lagi bahwa naskah Kitab-kitab agung ini telah diberikan kepada para nabi jauh di masa lalu. Tak ada satu Kitab Suci pun dari suatu agama yang diketemukan dalam bentuk aslinya serta kesuci-murniannya pada saat datangnya Nabi Suci, bahkan hingga hari ini. Kitab-kitab semacam itu, karenanya, tidak dapat membuktikan kebenaran agama, bahkan, nabi mereka sendiri pun perlu dilacak kebenarannya. Sejumlah prasangka dan kesalahan riwayat telah muncul dari para nabi, Zarathustra, Ibrahim, Krishna dan Isa, sedemikian banyaknya sehingga mereka dipandang hanyalah sebagai tokoh fiktif belaka. Begitu besar perbedaan yang diketemukan menyangkut nama, tempat, dan periode dari nabi-nabi pra-sejarah ini, yang kehadirannya saja terkadang diragukan. Jadi, Nabi Suci telah meletakkan semua nabi-nabi ini beserta tugas berat mereka dengan mendukung kebenarannya. Sesungguhnya beliau telah melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh Kitab atau para pengikutnya sekarang. Dengan cara ini, dengan bukti kolektif dari mereka semuanya, beliau juga menegakkan dan menjelaskan kebenaran dari agama. Dan dalam abad tanpa agama dan materialisme ini, suatu argumen yang lebih baik atas kebenaran agama sungguh sulit di dapatkan --suatu alasan dimana orang-orang bijak dan berfikir jernih dari segenap negeri bisa mufakat. Kami mengundang perhatian dari orang-orang dari segala aliran yang berfikiran adil atas kesaksian yang sangat penting lainnya semacam ini. Seperti halnya Nabi Suci yang menjamin kebenaran dari semua nabi di dunia, dan membuatnya wajib bagi seorang Muslim untuk beriman kepada mereka semuanya; dengan cara yang sama, segenap nabi di dunia ini menjamin kebenaran Nabi Suci, dan meminta para pengikutnya agar mengimani beliau. Tak seorangpun nabi yang sudah berlalu yang tidak memberikan berita gembira atas kedatangan Nabi Besar ini yang akan muncul sebagai yang terakhir dari semuanya. Fakta bahwa Muhammad menjamin kebenaran dari nabi-nabi pendahulunya, membentuk suatu landasan yang kuat bagi perdamaian antar bangsa serta persaudaraan umat manusia. Tetapi mengatakan bahwa semua nabi di dunia mengkonfirmasi kebenaran risalah Muhammad, tetap menjadi argumen yang lebih kuat, yang membuktikan kebenaran dan kesatuan dari segala agama. Masalah, bahwa beberapa nabi yang terakreditasi dari setiap bangsa atau iklim itu meramalkan kedatangan Nabi Suci patut mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari setiap pencari kebenaran. Muhammad adalah pembenar dari segenap nabi, dan doktrin ini, sebagaiamana kita katakan, adalah dasar dari perdamaian dan persahabatan seluruh dunia. Para nabi di dunia adalah pembenar dari Muhammad. Begitulah, ini membentuk sanggar suci dari dunia agama. Dia yang tetap bertahan tanpa wilayah suci ini akan segera jatuh menjadi mangsa hidup tanpa Tuhan dan tanpa agama. 



--------------------------------------------------------------------------------


1. Ditulis dalam suatu catatan biografi Zarathustra bahwa Tuhan dari alam semesta ini telah mengirimkan cahaya-Nya pada suatu bukit dimana dianggap itu berbentuk sebatang pohon. Sapi dari ayah Zarathustra memakan memakan dedaunan pohon ini dan dia biasa mengambil susu sapinya itu. Jadi darah yang terbentuk dari nabi Iran itu sangat terisi dengan Cahaya Ilahi. Zarathustra masih dikandungaan ibunya ketika Ahriman mulai membuat rencana jahat untuk menghabisinya. Ketika dia datang ke dunia, ruh jahat mencap dan menganiayanya. Mereka melemparkannya ke api dan mebuangnya ke tengah serigala tetapi setiap kali dia lolos. Pada saat kemunculannya seluruh alam bersuka-ria (Yasht 13:93). Dia tertawa padasaat kelahirannya (Zardusht namah) dan seterusnya. Mukjizat yang sama diktakan juga telah terjadi pada waktu Kristus dan Buddha dilahirkan. Sita, isteri Rama, membuktikan kesuciannya dengan menggenggam bara yang menyala di tangannya (Ramayana). 

2. Atharva Veda XIX:71. Ibu Weda adalah pemelihara dari kasta Brahma, Ksatrya dan Waisya. 

3. Encyclopaedia Britannica edisi 11 halaman 898.

Share this post..