1-
Tuhan itu hanya satu [Ulangan 6:4].
2- Tuhan
itu hanya Allah saja [Ulangan 6:4, 4:35]
3- Jangan
menyembah kepada selain Allah [Ulangan 5:7]
4- Tiada
Tuhan yang lain selain Allah [Ulangan 4:35, II Samuel 7:22]
5- Tidak
ada Tuhan yang namanya Yesus Kristus apalagi Roh Kudus [Ulangan 4:35].
6- Tuhan
satu-satunya di langit dan di bumi hanya Allah saja [Ulangan 4:39].
7- Sejak
dulu Tuhan hanyalah Allah [Yesaya 46:9]
8- Tidak
ada yang seperti Allah di seluruh bumi [Keluaran 9:14]
9- Jangan
sujud menyembah kepada selain Allah [Keluaran 20:5]
10- Tidak
ada yang seperti Allah [Ulangan 33:26]
11- Tidak
ada yang sama dengan Allah [II Samuel 7:22]
12- Tidak
ada Tuhan selain Allah [II Samuel 7:22]
13- Allah
tetap sama, tidak pernah berubah menjadi tiga bagian [Yesaya 48:12].
14- Yang
terdahulu = Allah, Yang terkemudian = Allah [Yesaya 48:12].
|
|
102.
(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak
ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia
adalah Pemelihara segala sesuatu.
|
Kalau kita
menengok ke belakang, mempelajari kepercayaan umat manusia, maka yang
ditemukan adalah hampir semua umat manusia mempercayai adanya Tuhan yang
mengatur alam raya ini. Orang-orang Yunani Kuno menganut paham politeisme
(keyakinan banyak tuhan): bintang adalah tuhan (dewa), Venus adalah (tuhan)
Dewa Kecantikan, Mars adalah Dewa Peperangan, Minerva adalah Dewa Kekayaan,
sedangkan Tuhan tertinggi adalah Apollo atau Dewa Matahari. Masyarakat Mesir,
tidak terkecuali. Mereka meyakini adanya Dewa Iziz, Dewi Oziris, dan yang
tertinggi adalah Ra'. Masyarakat Persia pun demikian, mereka percaya bahwa
ada Tuhan Gelap dan Tuhan Terang. Begitulah seterusnya. Mereka mungkin heran
dengan orang yang hanya menyembah satu tuhan, karena bagi mereka, apakah
cukup bila hanya dengan satu Tuhan ?.
Pengaruh
keyakinan tersebut merambah ke masyarakat Arab, walaupun jika mereka ditanya
tentang Penguasa dan Pencipta langit dan bumi mereka menjawab,
"Allah." Tetapi pada saat yang sama mereka menyembah juga
berhala-berhala Al-Lata, Al- Uzza, dan Manata, tiga berhala terbesar mereka,
di samping ratusan berhala lainnya.
Al-Quran
datang untuk meluruskan keyakinan itu, dengan membawa ajaran tauhid. Tulisan
ini berusaha untuk memaparkan wawasan Al-Quran tentang hal tersebut, meskipun
harus diakui bahwa tulisan ini tidak mungkin dapat menjangkau keseluruhannya.
Dapat dibayangkan betapa luas pembahasan tentang Tuhan Yang Maha Esa bila
akan dirujuk keseluruhan kata yang menunjuk-Nya. Kata
"Allah" saja dalam Al-Quran terulang sebanyak 2697 kali. Belum lagi
kata-kata semacam Wahid, Ahad, Ar-Rab, Al-Ilah, atau kalimat yang
menafikan adanya sekutu bagi-Nya baik dalam perbuatan atau wewenang
menetapkan hukum, atau kewajaran beribadah kepada selain-Nya serta penegasian
lain yang semuanya mengarah kepada penjelasan tentang tauhid.
1. FITRAH MANUSIA: KEYAKINAN TENTANG KEESAAN ALLAH
Kalau kita
membuka lembaran-lembaran Al-Quran, hampir tidak ditemukan ayat yang
membicarakan wujud Tuhan. Bahkan Syaikh Abdul Halim Mahmud dalam bukunya
Al-Islam wa Al-'Aql menegaskan bahwa,"Jangankan Al-Quran, Kitab
Taurat, dan Injil dalam bentuknya yang sekarang pun (Perjanjian Lama dan
Baru) tidak menguraikan tentang wujud Tuhan." Ini disebabkan karena
wujud-Nya sedemikian jelas, dan "terasa" sehingga tidak perlu
dijelaskan.
Al-Quran
mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap insan, dan bahwa
hal tersebut merupakan fitrah (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya. Demikian dipahami dari
firman-Nya dalam surat Al-Rum (30): 30.
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah),
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. Tiada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS. Al-Rum (30): 30)
Dalam ayat
lain dikemukakan, bahwa:
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman), 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: 'Betul (Engkau Tuhan
kami), kami menyaksikan'" (QS Al-A'raf [7]: 172)
Apabila
Anda duduk termenung seorang diri, pikiran mulai tenang, kesibukan hidup atau
haru hati telah dapat teratasi, terdengarlah suara nurani, yang mengajak Anda
untuk berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas wujud Yang
Maha mutlak.
Suara itu
mengantar Anda untuk menyadari betapa lemahnya manusia dihadapan-Nya. dan
betapa kuasa dan perkasa Dia Yang Mahaagung itu. Suara yang Anda dengarkan
itu, adalah suara fitrah manusia. Setiap orang memiliki fitrah itu, dan
terbawa serta olehnya sejak kelahiran, walau seringkali -karena kesibukan dan
dosa-dosa- ia terabaikan, dan suaranya begitu lemah sehingga tidak terdengar
lagi. Tetapi bila diusahakan untuk didengarkan, kemudian benar-benar
tertancap di dalam jiwa, maka akan hilanglah segala ketergantungan kepada unsur-unsur
lain kecuali kepada Allah semata, tiada tempat bergantung, tiada tempat
menitipkan harapan, tiada tempat mengabdi kecuali kepada-Nya. La
haula wa la quwwata illa billahi-'Aliyyil-'Azhim (Tiada daya untuk memperoleh
manfaat, tiada pula kuasa untuk menolak mudarat, kecuali bersumber dari Allah
Yang Mahatinggi lagi Mahaagung). Dan dengan demikian tidak ada lagi rasa
takut yang menghantui atau mencengkeram, tiada pula rasa sedih yang akan
mencekam.
Sesungguhnya orang-orang yang berkata (berprinsip) bahwa Tuhan Pemelihara
kami adalah Allah, serta istiqamah dengan prinsip itu, akan turun kepada
mereka malaikat (untuk menenangkan mereka sambil berkata) "Jangan takut,
jangan bersedih, berbahagialah kalian dengan surga yang dijanjikan" (QS
Fushshilat [41]: 30)
"Orang-orang yang beriman dan jiwa mereka menjadi tenteram karena
mengingat Allah. Memang hanya dengan mengingat Allahlah jiwa menjadi
tenteram" (QS Al-Ra'd [13]: 28)
Memang
boleh jadi ada saat-saat dalam hidup ini -singkat atau panjang- dimana manusia
mengalami keraguan tentang wujud-Nya, bahkan boleh jadi keraguan tersebut
mengantarnya untuk menolak kehadiran Tuhan dan menanggalkan kepercayaannya,
tetapi ketika itu keraguannya akan beralih menjadi kegelisahan, khususnya
pada saat-saat ia merenung.
Bahkan
boleh jadi kita dapat berkata bahwa mereka yang tidak mempercayai wujud Tuhan
adalah orang-orang yang kehabisan akal dan keras kepala ketika berhadapan
dengan satu kenyataan yang tidak sesuai dengan "nafsu kotornya"
itu.
Yang
demikian dapat dipahami dari ayat yang menguraikan diskusi yang terjadi
antara Nabi Ibrahim a.s. dan penguasa masanya (Namrud) (QS Al-Baqarah [2]:
258), atau Fir'aun ketika berhadapan dengan Musa a.s. yang bertanya,
"Siapa Tuhan semesta alam itu?" (QS Al-Syu'ara, 126]: 23).
Salah satu
bukti bahwa pernyataan ini lahir dari sikap keras kepala adalah pengakuan
Fir'aun sendiri ketika ruhnya akan meninggalkan jasadnya. Dalam konteks ini
Al-Quran, menjelaskan sikap Fir'aun yang ketika itu kembali kepada fitrah,
namun sayang dia telah terlambat.
"... hingga saat Fir'aun telah hampir tenggelam, berkatalah dia.
'Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani
Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).'
Apakah sekarang (baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu telah durhaka
sejak dahulu dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan?" (QS
Yunus [10]: 90-91)
Ayat ini
sekaligus membuktikan bahwa kehadiran Tuhan merupakan fitrah manusia yang
merupakan kebutuhan hidupnya. Kalaupun ada yang mengingkari wujud tersebut,
maka pengingkaran tersebut bersifat sementara. Dalam arti bahwa pada akhirnya
-sebelum jiwanya berpisah dengan jasadnya- ia akan mengakui-Nya. Memang,
kebutuhan manusia bertingkat-tingkat, ada yang harus dipenuhi segera seperti
kebutuhan udara, ada yang dapat ditangguhkan untuk beberapa saat, seperti
kebutuhan minum. Kebutuhan untuk makan, dapat ditangguhkan lebih lama
daripada kebutuhan minuman, tetapi kebutuhan pemenuhan seksual bisa lebih
lama ditangguhkan daripada kebutuhan pada makan dan minum; demikian
seterusnya. Kebutuhan yang paling lama dapat ditangguhkan adalah kebutuhan
tentang keyakinan akan adanya Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa.
2. TAUHID ADALAH PRINSIP DASAR AGAMA SAMAWI
Merujuk
kepada Al-Quran, dapat kita temukan bahwa para Nabi dan Rasul selalu
membawa ajaran tauhid.
"Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, kecuali Kami
wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku"
(QS Al-Anbiya' [21]: 25)
"Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu
selain-Nya."
Demikian
ucapan Nabi Nuh, Hud, Shaleh dan Syu'aib yang diabadikan Al-Quran
masing-masing secara berurut dalam surat Al-A'raf (7): 59, 65, 73, dan
85.
Demikian
juga ajaran yang diterima Musa a.s. langsung dari Allah:
"Aku yang memilihmu, maka dengarkan dengan tekun, apa yang
diwahyukan (padamu): 'Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain
Aku. Sembahlah Aku, dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku'" (QS Thaha
[20] 13-14)
Nabi Isa
a.s. juga mengajarkan prinsip ini kepada umatnya:
"Isa berkata (kepada Bani Israil), 'Hai Bani Israil, sembahlah Allah
Tuhanku dan Tuhanmu.' Sesunguhnya siapa yang mempersekutukan-Nya maka Allah
mengharamkan baginya surga, dan tempatnya adalah neraka. Tiada penolong bagi
orang-orarg yang aniaya." (QS Al-Maidah [5]: 72)
Namun,
walaupun semua nabi membawa ajaran tauhid, terlihat melalui ayat-ayat
Al-Quran bahwa ada perbedaan dalam pemaparan mereka tentang prinsip tauhid.
Jelas sekali bahwa Nabi Muhammad saw, melalui Al-Quran diperkaya oleh Allah
dengan aneka penjelasan dan bukti, serta jawaban yang membungkam siapa pun
yang mempersekutukan Tuhan.
Allah SWT
menyesuaikan tuntunan yang dianugerahkan kepada para Nabi-Nya sesuai dengan
tingkat kedewasaan berpikir umat mereka. Karena itu hampir tidak ada
bukti-bukti logis yang dikemukakan oleh Nabi Nuh kepada umatnya, dan pada
akhirnya setelah mereka tetap membangkang, jatuhlah sanksi yang memusnahkan
mereka: "Maka topan membinasakan mereka, dan mereka adalah orang-orang
aniaya" (QS Al-'Ankabut [29]: 14).
Ketika
tiba masa Nabi Hud a.s. -yang masanya belum terlalu jauh dari Nuh- pemaparan
beliau hampir tidak berbeda, tetapi di sana sini telah jelas bahwa masyarakat
yang diajaknya berdialog, memiliki kemampuan berpikir sedikit di atas umat
Nuh. Karena itu, pemaparan tentang tauhid yang dikemukakan oleh Hud a.s.
disertai dengan peringatan tentang nikmat-nikmat Allah yang mereka dapatkan.
Dalam rangkaian ayat-ayat yang mengingatkan mereka akan keesaan Allah, Hud
mengingatkan:
"Ingatlah (nikmat Allah) oleh kamu sekalian ketika Allah menjadikan
kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh;
dan Tuhan melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu (daripada kaum Nuh), maka
ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan (QS Al-A'raf
[7]: 69, dan juga dalam QS Al-Syu'ara' [26]: 123-140)
Nabi
Shaleh yang datang sesudah Nabi Hud a.s. lebih luas dan rinci penjelasannya,
karena wawasan umatnya lebih luas pula. Mereka misalnya diingatkan tentang
asal kejadian mereka dari tanah atau tugas mereka memakmurkan bumi (QS Hud
[11]: 61).
Akal yang
mampu mencerna dapat memahami bahwa asal kejadian manusia berasal dari tanah
-dalam arti bahwa sperma yang dituangkan ke rahim istri berasal dari makanan
yang dihasilkan oleh bumi. Manusia yang memiliki akal yang dapat mencerna ini
atau walau hanya memahaminya secara umum, pastilah lebih mampu dari mereka
yang sekadar dipaparkan kepadanya nikmat-nikmat Ilahi, sebagaimana halnya
kaum Hud dan Nuh- Di samping itu ada bukti lain yang dikemukakan Nabi
Shaleh:
"Dan kepada Tsamud (Kami mengutus) saudara mereka Shaleh. Dia
berkata, 'Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu
selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang sangat nyata kepadamu; unta
betina Allah ini sebagai bukti untuk kamu ...'" (QS Al-A'raf [7]: 73)
Ketika
tiba masa Syu'aib, ajakan dakwahnya lebih luas lagi, melampaui batas yang
disinggung oleh ketiga Nabi sebelumnya. Kali ini ajaran tauhid tidak saja
dikaitkan dengan bukti-bukti, tetapi juga dirangkaikan dengan hukum-hukum
syariat.
"Dan kepada penduduk Madyan (Kami mengutus) saudara mereka Syu'aib.
Ia berkata, 'Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu
selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dan Tuhanmu.
Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah kamu kurangkan bagi
manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat
kerusakan di bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik
bagimu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.'" (QS Al-A'raf [7]:
85)
Ayat ini
bahkan menggugah jiwa dan menuntut mereka untuk membangun satu masyarakat
yang penuh dengan kemakmuran dan keadilan. Setelah itu, datang ajakan Nabi
Ibrahim, yang merupakan periode baru dari tuntunan tentang Ketuhanan Yang
Maha Esa. Nabi Ibrahim a.s. dikenal sebagai "Bapak Para
Nabi," "Bapak Monoteisme," serta "Proklamator Keadilan
Ilahi" karena agama-agama samawi terbesar dewasa ini merujuk kepada
agama beliau.
Ibrahim
a.s. menemukan dan membina keyakinannya melalui pencarian dan
pengalaman-pengalaman keruhanian yang dilaluinya dan hal ini -secara Qurani-
terbukti bukan saja dalam penemuannya tentang keesaan Tuhan seru sekalian
alam, sebagaimana diuraikan dalam surat Al-An'am ayat 75, tetapi juga dalam
keyakinan tentang hari kebangkitan. Menarik untuk diketahui bahwa beliaulah
satu-satunya Nabi yang disebut Al-Quran bermohon kepada Allah untuk
diperlihatkan bagaimana cara-Nya menghidupkan yang mati, dan permintaan
beliau itu dikabulkan Allah (QS Al-Baqarah [2]: 260).
Para
ilmuwan seringkali berbicara tentang penemuan-penemuan manusia yang
mempengaruhi atau bahkan mengubah jalannya sejarah kemanusiaan. Tetapi,
seperti ditulis Abbas Al-'Aqqad dalam Abu Al-Anbiyya': "Penemuan yang
dikaitkan dengan Nabi Ibrahim a.s. merupakan penemuan manusia yang terbesar,
dan yang tidak dapat diabaikan oleh para ilmuwan atau sejarawan. Ia tidak
dapat dibandingkan dengan penemuan roda, api, listrik, atau rahasia-rahasia
atom -betapapun besarnya pengaruh penemuan-penemuan tersebut- yang semua itu
dikuasai oleh manusia. Penemuan Ibrahim menguasai jiwa dan raga manusia.
Penemuan Ibrahim menjadikan manusia yang tadinya tunduk kepada alam menjadi
mampu menguasai alam, serta menilai baik buruknya. Penemuan manusia dapat
menjadikannya berlaku sewenang-wenang, tetapi kesewenangan-wenangan ini tidak
mungkin dilakukannya selama penemuan Ibrahim a.s. tetap menghiasi jiwanya.
Penemuan tersebut berkaitan dengan apa yang diketahui dan tidak-diketahuinya
berkaitan kedudukannya sebagai makhluk, dan hubungan makhluk ini dengan
Tuhan, alam raya, dan makhluk-makhluk sesamanya."
Karena itu
ketika memaparkan tauhid kepada umatnya, Nabi mulia ini tidak lagi berkata
sebagai Nabi-nabi sebelumnya berkata : "Sembahlah Allah, kalian
tidak memiliki Tuhan selain-Nya," tetapi dinyatakannya,
"Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya, yang demikian itu lebih
baik untukmu kalau kamu mengetahuinya" (QS Al-'Ankabut [29]: 16)
Dan
dinyatakannya bahwa Tuhan yang disembah adalah Tuhan seru sekalian alam,
bukan Tuhan suku, bangsa dan jenis makhluk tertentu saja.
"Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan
langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan" (QS Al-'An'am [6]: 79)
"Dia (Ibrahim) berkata (kepada kaumnya), 'Sebenarnya Tuhan kamu
adalah Tuhan seluruh langit dan bumi yang telah menciptakannya, dan aku
termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu"
(QS Al-Anbiya, [21]: 56)
Terlihat
juga dari Al-Quran bagaimana beliau "berdiskusi" dengan umatnya
dalam rangka membuktikan kesesatan mereka, dan menunjukkan kebenaran akidah
tauhid (antara lain surat Al-Anbiya, [21]: 51-67).
Demikianlah
tahap baru dalam uraian tauhid, dan karena itu -seperti ditulis oleh
Abdul-Karim Al-Khatib dalam buku karyanya, Qadhiyat Al-Uluhiyyah baina
Al-Falsafah wa Ad-Din- sejak Nabi Ibrahim, sampai dengan nabi-nabi sesudahnya
tidak dikenal lagi pemusnahan total bagi umat satu Nabi sebagaimana yang
terjadi terhadap umat-umat sebelumnya.
Pemaparan
tauhid pun dari hari ke hari semakin mantap dan jelas hingga mencapai
puncaknya dengan kehadiran Nabi Muhammad saw. Uraian Al-Quran tentang Tuhan
kepada umat Nabi Muhammad saw dimulai dengan pengenalan tentang perbuatan dan
sifat-Nya. Ini terlihat secara jelas ketika wahyu pertama turun.
"Bacalah demi Tuhan-Mu yang menciptakan (segala sesuatu). Dia telah
menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah dan Tuhan-mulah yang (bersifat) Maha
Pemurah, yang mengajar manusia dengan qalam, mengajar manusia apa yang tidak
diketahui(-nya)" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5)
Dalam
rangkaian wahyu-wahyu pertama. Al-Quran menunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa
dengan kata Rabbuka (Tuhan) Pemeliharamu (Wahai Muhammad), bukan kata
"Allah." Hal ini untuk menggarisbawahi Wujud Tuhan Yang Maha Esa,
yang dapat dibuktikan melalui ciptaan atau perbuatan-Nya.
Tidak
digunakannya kata "Allah" pada wahyu-wahyu pertama itu, adalah
dalam rangka meluruskan keyakinan kaum musyrik, karena mereka juga
menggunakan kata "Allah" untuk menunjuk kepada Tuhan
(berhala-berhala) mereka, dan keyakinan mereka tentang Allah berbeda dengan
keyakinan yang diajarkan oleh Islam.
Oleh
karena itu Al-Quran melakukan pelurusan-pelurusan yang dipaparkannya dengan
berbagai gaya bahasa, cara dan bukti. Sekali dengan pernyataan tegas yang
didahului dengan sumpah, misalnya:
"Demi (rombongan) yang bershaf-shaf dengan sebenar-benarnya, dan
demi (rombongan) yang melarang (perbuatan durhaka) dengan sebenar-benamya,
dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran. Sesungguhnya Tuhanmu
benar-benar Esa, Tuhan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya,
dan Tuhan tempat-tempat terbitnya matahari" (QS Al-Shaffat [37]: 1-5)
Dalam ayat
lain diajukan pertanyaan yang mengandung kecaman,
"Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang banyak bermacam-macam itu
ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa?" (QS Yusuf [12]: 39)
Dalam
kesempatan lain, Al-Quran memaparkan kisah-kisah yang bertujuan menegakkan
tauhid, seperti kisah Nabi Ibrahim ketika memorak-porandakan berhala-berhala
kaumnya (QS Al-Anbiya' [21]: 51-71).
3. BUKTI-BUKTI KEESAAN TUHAN
Ada
sementara orang yang menuntut bukti wujud dan keesaan Tuhan dengan pembuktian
material. Mereka ingin segera melihat-Nya di dunia ini. Nabi Musa a.s. suatu
ketika pernah bermohon agar Tuhan menampakkan diri-Nya kepadanya, sehingga
Tuhan berfirman sebagai jawaban atas permohonannya,
"'Engkau sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku. Tetapi lihatlah ke
bukit itu, jika ia tetap di tempatnya [seperti keadaannya semula), niscaya
kamu dapat melihat-Ku.' Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian
tersebut menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka
setelah Musa sadar kembali, dia berkata, 'Maha suci Engkau, aku bertobat
kepada-Mu, dan aku orang yang pertama (dari kelompok) orang beriman'"
(QS Al-A'raf [7]: 143)
Peristiwa
ini membuktikan bahwa manusia agung pun tidak berkemampuan untuk melihat-Nya
-paling tidak- dalam kehidupan dunia ini. Agaknya kenyataan sehari-hari
menunjukkan bahwa kita dapat mengakui keberadaan sesuatu tanpa harus
melihatnya. Bukankah kita mengakui adanya angin, hanya dengan merasakan atau
melihat bekas-bekasnya? Bukankah kita mengakui adanya "nyawa" bukan
saja tanpa melihatnya bahkan tidak mengetahui substansinya?
Di sisi
lain ada dua faktor yang menjadikan makhluk tidak dapat melihat sesuatu.
Pertama, karena sesuatu yang akan dilihat terlalu kecil apalagi dalam
kegelapan. Sebutir pasir lebih-lebih di malam yang kelam tidak mungkin
ditemukan oleh seseorang. Namun kegagalan itu tidak berarti pasir yang dicari
tidak ada wujudnya. Faktor kedua adalah karena sesuatu itu sangat terang
sehingga tidak sanggup melihat.
Sayyidina
Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi'lib
Al-Yamani, "Apakah Anda pernah melihat Tuhan?" Beliau
menjawab, "Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya
lihat?" "Bagaimana Anda melihat-Nya?" tanyanya kembali. Imam
Ali menjawab, "Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangannya yang
kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan ..."
Mata hati
jauh lebih tajam dan dapat lebih meyakinkan daripada pandangan mata. Bukankah mata sering menipu
kita? Kayu yang lurus terlihat bengkok di dalam sungai, bintang yang besar
terlihat kecil dari kejauhan.
Dalam
kaitan dengan argumen-argumen dan bukti-bukti logika, kita dapat menyatakan
bahwa tidak ada satu argumen yang dikemukakan oleh para filosof tentang Wujud
dan Keesaan Tuhan yang tidak dikemukakan Al-Quran. Hanya bedanya bahwa
kalimat-kalimat yang digunakan Al-Quran sedemikian sederhana dan mudah
ditangkap, berbeda dengan para filosof yang seringkali berbelit-belit.
Dahulu
dikenal apa yang dinamai bukti ontologi, kosmologi, dan teleologi. Bukti
ontologi menggambarkan bahwa kita mempunyai ide tentang Tuhan, dan tidak
dapat membayangkan adanya sesuatu yang lebih berkuasa dan-Nya. Bukti
kosmologi berdasar pada ide "sebab dan akibat" yakni, tidak mungkin
tertadi sesuatu tanpa ada penyebabnya, dan penyebab terakhir pastilah Tuhan.
Bukti teleologi, berdasar pada keseragaman dan keserasian alam, yang tidak
dapat terjadi tanpa ada satu kekuatan yang mengatur keserasian itu
Kini para
filosof memperkenalkan bukti-bukti baru, seperti pengalaman moral. Pengalaman
moral merupakan tanda tentang adanya yang real; pengalaman ini tidak akan
berarti tanpa adanya susunan moral yang objektif, dan ini pada gilirannya
tidak akan berarti tanpa adanya satu Zat Yang Mahatinggi, Tuhan Yang
Mahakuasa. Bukti lain adalah pengalaman keagamaan yang dialami oleh
kebanyakan manusia yang tidak diragukan kejujurannya, dan yang intinya
mengandung informasi yang sama.
Bukti-bukti
yang dipaparkan di atas, dikemukakan oleh Al-Quran dengan berbagai cara, baik
tersurat maupun tersirat.
Secara
umum kita dapat membagi uraian Al-Quran tentang bukti Keesaan Tuhan dengan
tiga bagian pokok, yaitu: 1. Kenyataan wujud yang tampak. 2. Rasa yang
terdapat dalam jiwa manusia. 3. Dalil-dalil logika.
3.1 KENYATAAN WUJUD YANG TAMPAK
Dalam
konteks ini Al-Quran menggunakan seluruh wujud sebagai bukti, khususnya
keberadaan alam raya ini dengan segala isinya. Berkali-kali manusia
diperintahkan untuk melakukan nazhar, fikr, serta berjalan di permukaan bumi
guna melihat betapa alam raya ini tidak mungkin terwujud tanpa ada yang
mewujudkannya.
"Tidakkah mereka melihat kepada unta bagaimana diciptakan, dan ke
langit bagaimana ia ditinggikan, ke gunung bagaimana ia ditancapkan, serta ke
bumi bagaimana ia dihamparkan?" (QS Al-Ghasyiyah [88]: l7-20)
Dalam
uraian Al-Quran tentang kenyataan wujud, dikemukakannya keindahan dan
keserasian alam raya.
"Tidakkah mereka melihat ke langit di atas mereka, bagaimana Kami
meninggikannya dan menghiasinya dan langit itu tidak mempunyai retak-retak
sedikit pun? Dan Kami hamparkan bumi serta Kami letakkan padanya
gunung-gunung yang kokoh, dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman
yang indah dipandang mata." (QS Qaf [50]: 6-7)
Adapun
keserasiannya, maka dinyatakannya:
"(Allah) yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sama
sekali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih sesuatu yang tidak
seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah sesuatu yang kamu lihat tidak
seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi, niscaya penglihatanmu akan kembali
kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu pun yang cacat, dan penglihatanmu itu
pun dalam keadaan payah" (QS Al-Mulk [67]: 3-4)
3.2 RASA YANG TERDAPAT DALAM JIWA MANUSIA
Dalam
konteks ini, Al-Quran misalnya mengingatkan manusia,
"Katakanlah (hai Muhammad kepada yang mempersekutukan Tuhan),
'Jelaskanlah kepadaku jika datang siksaan Allah kepadamu, atau datang hari
kiamat, apakah kamu menyeru (tuhan) selain Allah, jika kamu orang-orang yang
benar?' Tidak! Tetapi hanya kepada-Nya kamu bermohon, maka Dia menyisihkan
bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki, dan kamu
tinggalkan sembahan-sembahan yang kamu sekutukan (dengan Allah)" (QS
Al-An'am [6]: 40-41)
"Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, dan
(berlayar) di lautan. Sehingga bila kamu berada di dalam bahtera, dan
meluncurlah bahtera itu membawa para penumpangnya dengan tiupan angin yang
baik, dan mereka bergembira karenanya: (kemudian) datanglah angin badai dan
apabila gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka
telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan
mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata) 'Sesungguhnya
jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk
orang-orang yang bersyukur'" (QS Yunus [10]: 22)
Demikian
Al-Quran menggambarkan hati manusia. Karena itu sungguh tepat pandangan
sementara filosof yang menyatakan bahwa manusia dapat dipastikan akan terus
mengenal dari berhubungan dengan Tuhan sampai akhir zaman, walaupun ilmu
pengetahuan membuktikan lawan dari hal tersebut. Ini selama tabiat
kemanusiaan masih sama seperti sediakala, yakni memiliki naluri mengharap,
cemas, dan takut, karena kepada siapa lagi jiwanya akan mengarah jika rasa
takut atau harapannya tidak lagi dapat dipenuhi oleh makhluk, sedangkan
harapan dan rasa takut manusia tidak pernah akan putus.
Bertebaran
ayat-ayat yang menguraikan dalil-dalil aqliah tentang Keesaan Tuhan,
misalnya,
"Bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai istri.
Dia yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu"
(QS Al-An'am [6]: 101)
"Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada dua Tuhan, maka
pastilah keduanya binasa" (QS Al-Anbiya' [21]: 22)
Maksud
ayat ini adalah "seandainya ada dua pencipta, maka akan kacau ciptaan,
karena jika masing-masing Pencipta menghendaki sesuatu yang tidak dikehendaki
oleh yang lain, maka kalau keduanya berkuasa, ciptaan pun akan kacau atau
tidak akan mewujud; kalau salah satu mengalahkan yang lain, maka yang kalah
bukan Tuhan; dan apabila mereka berdua bersepakat, maka itu merupakan bukti
kebutuhan dan kelemahan mereka, sehingga keduanya bukan Tuhan, karena Tuhan
tidak mungkin membutuhkan sesuatu atau lemah atas sesuatu."
Pengalaman
ruhani pun disebutkan oleh Al-Quran yaitu pengalaman para Nabi dan Rasul.
Misalnya pengalaman Nabi Musa a.s. (Baca QS Thaha [20]: 9-47). Demikian juga
pengalaman Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad saw, serta nabi-nabi yang lain
dengan berbagai rinciannya yang berbeda, namun semuanya bermuara pada tauhid
atau Keesaan Tuhan.
Berbicara
tentang macam-macam keesaan Allah mengantarkan kita untuk memahami paling
tidak surat Al-Ikhlas, sedikitnya tentang ayatnya yang pertama,
"Katakanlah! Dia Allah Yang Maha Esa."
Ahad yang
diterjemahkan dengan kata Esa terambil dari akar kata wahdat yang berarti
"kesatuan," seperti juga kata wahid yang berarti "satu."
Kata ini sekali berkedudukan sebagai nama, dan sekali sebagai sifat bagi
sesuatu. Apabila ia berkedudukan sebagai sifat, maka ia hanya digunakan untuk
Allah SWT semata. Dalam ayat di atas, kata Ahad berfungsi sebagai sifat Allah
SWT, dalam arti bahwa Allah memiliki sifat-sifat tersendiri yang tidak
dimiliki oleh selain-Nya.
Dari segi
bahasa, kata Ahad walaupun berakar sama dengan Wahid, tetapi masing-masing
memiliki makna dan penggunaan tersendiri. Kata Ahad hanya digunakan untuk
sesuatu yang tidak dapat menerima penambahan baik dalam benak apalagi dalam
kenyataan, karena itu kata ini -ketika berfungsi sebagai sifat- tidak
termasuk dalam rentetan bilangan, berbeda halnya dengan wahid (satu); Anda
dapat menambahnya sehingga menjadi dua, tiga, dan seterusnya, walaupun
penambahan itu hanya dalam benak pengucap atau pendengarnya.
Berbicara
tentang angka -dalam kaitannya dengan bahasan tauhid- agaknya menarik untuk
dihayati bahwa kata "Ahad" terulang di dalam Al-Quran sebanyak 85
kali, namun hanya sekali yang menjadi sifat Tuhan yakni firman-Nya dalam
surat Al-Ikhlas, "Qul Huwa Allahu Ahad." Seakan-akan Allah bermaksud
untuk menekankan keyakinan tauhid, bukan saja dalam maknanya, tetapi juga
dalam bilangan pengulangan lafalnya, serta kandungan lafal itu. Ini
menggambarkan kemurnian mutlak dalam keesaan. Bukankah kata Wahid yang
berarti "satu," dapat berbilang unsurnya, berbeda dengan kata Ahad
yang mutlak tidak berbilang, walau hanya sekadar unsurnya?
Benar!
Allah terkadang juga disifati dengan kata Wahid seperti antara lain dalam
firman-Nya:
"Tuhan-Mu adalah Tuhan yang Wahid, tiada Tuhan selain Dia, Dia Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang" (QS Al-Baqarah [2]: 163)
Sementara
ulama berpendapat bahwa kata Wahid dalam ayat di atas, menunjuk kepada
keesaan Zat-Nya disertai dengan keragaman sifat-sifat-Nya, bukankah Dia Maha
Pengasih, Maha Penyayang, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan sebagainya,
sedangkan kata Ahad dalam surat Al-Ikhlas itu, mengacu kepada keesaan Zat-Nya
saja, tanpa memperlihatkan keragaman sifat-sifat tersebut.
Terlepas
dari setutu atau tidak dengan pembedaan terakhir ini, namun yang jelas bahwa
Allah Maha Esa, dan Keesaan-Nya itu mencakup empat macam keesaan 1.
Keesaan Zat 2. Keesaan Sifat 3. Keesaan Perbuatan, dan 4. Keesaan dalam
beribadah kepada-Nya.
Keesaan
Zat mengandung pengertian bahwa seseorang harus percaya bahwa Allah SWT tidak
terdiri dari unsur-unsur, atau bagian-bagian, karena bila Zat Yang Mahakuasa
itu terdiri dari dua unsur atau lebih -betapapun kecilnya unsur atau bagian
itu- maka ini berarti Dia membutuhkan unsur atau bagian itu. Atau dengan kata
lain unsur atau bagian itu merupakan syarat bagi wujud-Nya. Ambil sebagai
contoh sebuah jam tangan. Anda menemukan jam tersebut terdiri dari beberapa
bagian, ada jarum yang menunjuk angka, ada logam, ada karet, dan lain-lain.
Bagian-bagian tersebut dibutuhkan oleh sebuah jam tangan, karena tanpa bagian
itu, ia tidak dapat menjadi jam tangan. Nah, ketika itu, walaupun jam tangan
ini hanya satu, tetapi ia tidak esa, karena ia terdiri dari bagian-bagian
tersebut. Jika demikian, Zat Tuhan pasti tidak terdiri dari unsur atau bagian-bagian
betapapun kecilnya, karena jika demikian, Dia tidak lagi menjadi Tuhan. Benak
kita tidak dapat membayangkan Tuhan membutuhkan sesuatu dan Al-Quran pun
menegaskan demikian:
"Wahai seluruh manusia kamulah yang butuh kepada Allah dan Allah
Mahakaya tidak membutuhkan sesuatu lagi Maha Terpuji" (QS Fathir [35]:
15)
Setiap
penganut paham tauhid berkeyakinan bahwa Allah adalah sumber segala sesuatu
dan Dia sendiri tidak bersumber dari sesuatu pun. Al-Quran menegaskan
bahwa,
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat" (QS Al-Syura [42]: 11)
Perhatikan
redaksi ayat di atas, "Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan-Nya." Yang serupa dengan-Nya pun tidak ada, apalagi yang seperti
Dia. lebih-lebih yang sama dengan-Nya. Karena itu, jangankan secara faktual
di dunia nyata ada yang seperti dengan-Nya, yang secara imajinatif pun tidak
ada yang serupa dengan-Nya.
Keragaman
dan bilangan lebih dari satu adalah substansi setiap makhluk, bukan ciri
Khaliq. Itulah sebagian makna Keesaan dalam Zat-Nya.
Adapun
keesaan sifat-Nya, maka itu antara lain berarti bahwa Allah memiliki sifat
yang tidak sama dalam substansi dan kapasitasnya dengan sifat makhluk,
walaupun dari segi bahasa kata yang digunakan untuk menunjuk sifat tersebut
sama. Sebagai contoh, kata Rahim merupakan sifat bagi Allah, tetapi juga
digunakan untuk menunjuk rahmat atau kasih sayang makhluk. Namun substansi
dan kapasitas rahmat dan kasih sayang Allah berbeda dengan rahmat makhluk-Nya.
Allah Esa
dalam sifat-Nya, sehingga tidak ada yang menyamai substansi dan kapasitas
sifat tersebut.
Sementara
ulama memahami lebih jauh keesaan sifat-Nya itu, dalam arti bahwa Zat-Nya
sendiri merupakan sifat-Nya. Demikian mereka memahami keesaan secara amat
murni. Mereka menolak adanya "sifat" bagi Allah, walaupun mereka
tetap yakin dan percaya bahwa Allah Maha Mengetahui, Maha Pengampun, Maha
Penyantun, dan lain-lain yang secara umum dikenal ada sembilan puluh
sembilan. Mereka yakin tentang hal tersebut, tetapi mereka menolak menamainya
sifat-sifat. Lebih jauh penganut paham ini berpendapat bahwa
"sifat-Nya" merupakan satu kesatuan, sehingga kalau dengan tauhid
Zat, dinafikan segala unsur keterbilangan pada Zat-Nya, betapapun kecilnya unsur
itu, maka dengan tauhid sifat dinafikan segala macam dan bentuk ketersusunan
dan keterbilangan bagi sifat-sifat Allah. Berapa jumlah sifat Allah
itu? Yang populer menurut sebuah hadis ada 99 sifat. Tetapi Muhammad
Husain Ath-Thabathaba'i, setelah menelusuri ayat-ayat Al-Quran, menyimpulkan
bahwa ada 127 nama atau sifat Allah yang ditemukan dalam Al-Quran, kesemuanya
merupakan Al-Asma', Al-Husna. Rincian sifat/nama-nama itu
dikemukakannya dalam Tafsirnya Al-Mizan ketika menafsirkan QS Al-A'raf [7]:
180.
4.3 KEESAAN PERBUATAN-NYA
Keesaan
ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berada di alam raya ini, baik
sistem kerjanya maupun sebab dan wujud-Nya, kesemuanya adalah hasil perbuatan
Allah semata. Apa yang dikehendaki-Nya terJadi, dan apa yang tidak
dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, tidak ada daya (untuk memperoleh
manfaat), tidak pula kekuatan (untuk menolak madarat), kecuali bersumber dari
Allah SWT. Tetapi ini bukan berarti bahwa Allah SWT berlaku sewenang-wenang,
atau "bekerJa" tanpa sistem yang ditetapkanNya. Keesaan
perbuatan-Nya dikaitkan dengan hukum-hukum, atau takdir dan sunnatullah yang
ditetapkan-Nya.
Dalam
mewujudkan kehendak-Nya Dia tidak membutuhkan apa pun.
"Sesungguhnya keadaan-Nya bila Dia menghendaki sesuatu hanyalah
berkata, 'Jadilah!' Maka jadilah ia" (QS Ya Sin [36]: 82)
Tetapi ini
bukan juga berarti bahwa Allah membutuhkan kata "jadilah;" ayat ini
hanya bermaksud menggambarkan bahwa pada hakikatnya dalam mewujudkan sesuatu
Dia tidak membutuhkan apa pun. Ayat ini juga tidak berarti bahwa segala
sesuatu yang diciptakan-Nya tercipta dalam sekejap, tanpa proses, sesuai
dengan kehendak-Nya. Bukankah Isa a.s. dinyatakan-Nya sebagai tercipta dengan
kun.
"Sesungguhnya keadaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti
Adam, diciptakan dari tanah kemudian Dia katakan kepadanya kun (jadilah),
maka jadilah dia" (9S Ali 'Imran [3]: 59)
Pada ayat
lain, Al-Quran menggambarkan proses kejadian Isa, yang dimulai dengan
kehadiran malaikat kepada Maryam, kehamilannya, sakit perut menjelang
kelahiran, dan akhirnya lahir (Baca QS Maryam [19]: 16-26).
Sekali
lagi, kata kun bukan berarti bahwa segala sesuatu yang
dikehendaki-Nya terjadi serta-merta tanpa suatu proses.
4.4 KEESAAN DALAM BERIBADAH KEPADA-NYA
Kalau
ketiga keesaan di atas merupakan hal-hal yang harus diketahui dan diyakini,
maka keesaan keempat ini merupakan perwujudan dari ketiga makna keesaan
terdahulu. Ibadah itu beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Salah satu
ragamnya yang paling jelas, adalah amalan tertentu yang ditetapkan cara dan
atau kadarnya langsung oleh Allah atau melalui Rasul-Nya, dan yang secara
populer dikenal dengan istilah ibadah mahdhah. Sedangkan ibadah dalam
pengertiannya yang umum, mencakup segala macam aktivitas yang dilakukan demi
karena Allah.
Nah,
mengesakan Tuhan dalam beribadah, menuntut manusia untuk melaksanakan segala
sesuatu demi karena Allah, baik sesuatu itu dalam bentuk ibadah mahdhah
(murni), maupun selainnya. Walhasil, keesaan Allah dalam beribadah kepada-Nya
adalah dengan melaksanakan apa yang tergambar dalam firman-Nya,
"Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku,
(seterusnya) karena Allah, Pemelihara seluruh alam'" (QS Al-An'am [6]:
162)
5. ALLAH DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
Salah satu
ayat yang menggambarkan dampak kehadiran Allah dalam jiwa manusia adalah
firman-Nya,
"Allah membuat perumpamaan, (yaitu) seorang lelaki (budak) yang
dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dan saling berselisih (buruk
perangai mereka), dengan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang
saja. Adakah keduanya (budak-budak itu) sama halnya? Segala puji bagi Allah,
tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui (QS Al-Zumar [39]: 29)
Ayat ini
bermaksud menggambarkan bagaimana keadaan seseorang yang harus taat kepada
sekian banyak orang yang memilikinya, tetapi pemilik-pemiliknya itu saling
berselisih dan buruk perangainya. Alangkah bingung ia. Yang ini memerintahkan
satu hal, belum lagi selesai datang yang lain mencegah atau memerintahkannya
dengan perintah lain, yang ketiga pun demikian. Begitu seterusnya, sehingga
pada akhirnya budak itu hidup dalam kompleks kejiwaan yang tidak diketahui
bagaimana cara menanggulanginya. Bandingkanlah hal itu dengan seorang budak
lain yang hanya menjadi milik penuh seseorang sehingga ia tidak mengalami
kebingungan atau kontradiksi dalam kesehariannya.
Menarik
dikemukakan alasan Murtadha Muthahhari yang juga memahami sebagaimana
ulama-ulama lain -arti kata rajulan pada ayat di atas dengan
"budak." Ulama tersebut menulis dalam bukunya Allah dalam Kehidupan
Manusia bahwa: Sementara orang ada yang membuat kemungkinan berikut, yakni
bahwa manusia berkeinginan untuk hidup bebas (tanpa kendali). Sesungguhnya
keinginan ini (walaupun merupakan sesuatu yang mustahil) menjadikan manusia
keluar dari kemanusiaannya, karena ini berarti bahwa ketika itu dia tidak
mengakui adanya hukum, tujuan, keinginan atau ide -dalam arti dia kosong sama
sekali dari keyakinan tertentu, dan keadaan demikian mencabutnya dari hakikat
kemanusiaan. Keadaan semacam ini tidak ada wujudnya dalam kehidupan manusia
di dunia. Orang-orang yang menghendaki kehidupan sebebas mungkin, serta tidak
mengakui adanya sedikit peraturan pun, pasti hidup mereka pun dilandasi oleh
keyakinan (ide tertentu) atau berusaha mencari ide/keyakinan tertentu. Usaha
ini menunjukkan bahwa manusia harus menerima wewenang pengaturan dari
keyakinan (ide yang ada dalam benaknya). Jika demikian, tidak heran jika
Al-Quran menggunakan istilah-istilah yang mengandung arti budak (seseorang
yang dimiliki oleh pihak lain).
Keadaan
yang digambarkan oleh ayat di atas, terbukti kebenarannya dalam kenyataan
hidup orang-orang yang lemah imannya, atau memiliki sekian banyak ide atau
keyakinan yang saling bertentangan. Sekali dia taat kepada Tuhan, lain kali
dia taat kepada setan, sekali dia ke masjid, lain kali ke klub malam. Orang
semacam ini dikuasai atau menjadi budak sekian penguasa yang buruk
perangainya sehingga pada akhimya ia mengidap kepribadian ganda (split
personality), yang merupakan salah satu bentuk dari sekian banyak bentuk penyakit
kejiwaan. Kalau demikian wajar jika Al-Quran menegaskan bahwa,
"Orang-orang yang beriman dan hati mereka tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram" (QS
Al-Ra'd [13]: 28)
Kalau
dalam ayat lain Al-Quran menegaskan bahwa seandainya pada keduanya (langit
dan bumi) terdapat banyak Tuhan (Pengusa yang mengatur alam) selain Allah,
maka pastilah keduanya akan binasa (QS Al-Anbiya, [21]: 22), maka dalam QS
Al-Zumar [39]: 29 di atas, Allah berpesan bahwa seandainya di dalam
jiwa seseorang ada banyak tuhan atau penguasa yang mengatur hidupnya, maka
pasti pula jiwanya akan rusak binasa.
Kalau
uraian di atas membuktikan kebutuhan jiwa manusia kepada akidah tauhid, maka
rangkaian pertanyaan berikut dapat menjadi salah satu bukti tentang kebutuhan
akalnya terhadap akidah ini. Pertanyaan dimaksud adalah: "Siapa yang
menjamin bila Anda melontar ke depan, maka batu itu tidak mengarah ke
belakang? Apa yang menjamin bahwa air selalu mencari tempat yang rendah? Apa
yang mengantar ilmuwan untuk memperoleh semacam, kepastian, dalam
langkah-langkahnya?" Kepastian tersebut tidak mungkin dapat diperoleh
kecuali melalui keyakinan tentang wujud Tuhan Yang Maha Esa. Karena jika
Tuhan berbilang, maka sekali tuhan ini yang mengatur alam dan menetapkan
kehendak-Nya dan kali lain tuhan yang itu. Apa yang menjamin kepastian itu,
seandainya Tuhan Yang mengatur hukum-hukum dan tata kerta alam raya, juga
butuh kepada sesuatu? Sudah dapat dipastikan tidak ada yang dapat menjamin!
Jika
demikian, tauhid bukan saja merupakan hakikat kebenaran yang harus diakui
karena diperlukan oleh jiwa manusia, tetapi juga merupakan kebutuhan akalnya
demi kemajuan dan kesejahteraan umat manusia. Wajar jika perkembangan
pemikiran manusia tentang Tuhan, berakhir pada monoteisme murni, setelah pada
awalnya menganut keyakinan politeisme (banyak tuhan), kemudian dua tuhan,
disusul dengan kepercayaan tentang adanya satu Tuhan. dan berakhir dengan
tauhid murni (keesaan mutlak) yang dianut oleh umat Islam.
Apabila
seseorang telah menganut akidah tauhid dalam pengertian yang sebenarnya, maka
akan lahir dari dirinya berbagai aktivitas, yang kesemuanya merupakan ibadah
kepada Allah, baik ibadah dalam pengertiannya yang sempit (ibadah murni)
maupun pengertiannya yang luas. Ini disebabkan karena akidah tauhid merupakan
satu prinsip lengkap yang menembus semua dimensi dan aksi manusia. Karena itu,
"Allah tidak mengampuni siapa yang mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu, dan dapat mengampuni selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki (QS
Al-Nisa, [4]: 48)
Kalau
dalam alam raya ini ada matahari yang menjadi sumber kehidupan makhluk di
permukaan bumi ini, dan yang berkeliling padanya planet-planet tata surya
yang tidak dapat melepaskan diri darinya, maka akidah tauhid merupakan
matahari kehidupan ruhani dan yang berkeliling di sekitarnya
kesatuan-kesatuan yang tidak dapat pula melepaskan diri atau dilepaskan
darinya. Kesatuan dimaksud antara lain adalah kesatuan alam semesta, kesatuan
kehidupan dunia dan akhirat, kesatuan natural dan supranatural, kesatuan
ilmu, kesatuan agama, kesatuan kemanusiaan, kesatuan umat, kesatuan
kepribadian manusia, dan lain-lain.
Prinsip
lengkap ini harus terus-menerus dipelihara, diasah, dan diasuh. Memang boleh
jadi seorang Muslim mengalami godaan sehingga timbul tanda tanya menyangkut
kehadiran Allah Yang Maha Esa itu. Yang demikian adalah wajar-wajar saja,
asal ia selalu berupaya untuk mengusir godaan itu. Hal ini dialami juga oleh
para sahabat Nabi saw Mereka yang mengadukan pengalamannya kepada beliau
ditanggapi oleh Nabi saw dengan bersabda: "Segala puji bagi
Allah yang menangkal tipuannya (setan) menjadi waswasah (bisikan)."
Sahabat
Nabi, Ibnu Abbas, pernah ditanya oleh Abu Zamil Sammak ibn Al-Walid,
"Apakah yang saya rasakan di dalam dadaku (ini)?" "Apakah
itu," tanya Ibnu Abbas. "Demi Allah saya tidak akan
mengatakannya." Ibnu Abbas bertanya balik, "Apakah semacam syak
atau keraguan?" Si penanya mengiyakan. Ibnu Abbas kemudian berkata,
"Tidak seorang pun (dari kami) yang terbebaskan dari yang demikian,
sampai turun firman Allah:
"Apabila kamu dalam keraguan dari apa yang Kami turunkan kepadamu,
maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu" (QS
Yunus [10]: 94)
Apabila
engkau mendapatkan hal itu bacalah, Dia yang Awal, Dia Yang Akhir, Dia Yang
Zhahir (tampak melalui ciptaan-Nya), Dia juga Yang Batin (tak tampak hakikat
Zat-Nya), dan Dia. Maha Mengetahui segala sesuatu."
Demikian
Allah SWT Karena itu wajar kita bermohon:
"Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada
kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, karuniakanlah kepada kami
rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi anugerah" (QS
Ali 'Imran (3): 8)
·
Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Wawasan Al-Quran, Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan, Bandung, 1997.
·
Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran
Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta dan Foto,
Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
·
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A.
Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Penerbit
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr. Taufik
Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
·
Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi
dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah,
Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
·
Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A. Faruq
Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung,
Jakarta, 2004
·
Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir
Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil
International, 2007.
·
alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, Al-Quran
web, PT. Gilland Ganesha, 2008.
·
Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari Muslim,
PT. Bina Ilmu, 1979.
·
Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, Ringkasan
Shahih Muslim, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka,
Bandung, 2008.
·
M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Maktabah
al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
·
Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, Jabal, Bandung, 2008.
·
Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir
Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 1999.
|