Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Faatihah 6 اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) “Ihdi”: Pimpinlah, tunjukilah, berilah hidayah
Arti “hidayah” ialah: Menunjukkan sesuatu jalan atau cara menyampaikan orang kepada orang yang ditujunya dengan baik.
Macam-macam hidayah petunjuk)
Allah telah memberi manusia bermacam-macam hidayah, yaitu:
1. Hidayah naluri (garizah)
Manusia begitu juga binatang-binatang, dilengkapi oleh Allah dengan bermacam-macam sifat, yang timbulnya bukanlah dari pelajaran, bukan pula dari pengalaman, melainkan telah dibawanya dari kandungan ibunya. Sifat-sifat ini namanya “naluri”, dalam bahasa Arab disebut “garizah”.
Umpamanya, naluri “ingin memelihara diri” (mempertahankan hidup). Kelihatan oleh kita seorang bayi bila merasa lapar dia menangis. Sesudah terasa di bibirnya mata susu ibunya, dihisapnyalah sampai hilang laparnya.
Perbuatan ini dikerjakannya tak seorang juga yang mengajarkan kepadanya, bukan pula timbul dari pengalamannya, hanyalah semata-mata ilham dan petunjuk dari Allah kepadanya untuk mempertahankan hidupnya.
Kelihatan pula oleh kita lebah membuat sarangnya, laba-laba membuat jaringnya, semut membuat lobangnya dan menimbun makanan dalam lubang itu. Semua itu dikerjakan oleh binatang-binatang tersebut ialah untuk mempertahankan hidupnya dan memelihara dirinya masing-masing dengan dorongan nalurinya semata-mata.
Banyak lagi naluri yang lain, umpamanya garizah ingin tahu, ingin mempunyai, ingin berlomba-lomba, ingin bermain, ingin meniru, takut dan lain-lain.
Sifat-sifat garizah
Garizah-garizah itu sebagai disebutkan terdapat pada manusia dan binatang, hanya perbedaannya ialah garizah manusia bisa menerima pendidikan dan perbaikan, tetapi garizah binatang tidak, sebab itulah manusia bisa maju tetapi binatang tidak, hanya tetap seperti sediakala.
Garizah-garizah itu adalah dasar bagi kebaikan sebagaimana dia pun juga dasar bagi kejahatan. Umpamanya karena garizah ingin memelihara diri, orang berusaha, berniaga, bertani, artinya mencari nafkah secara halal. Tetapi karena garizah “ingin memelihara diri” itu pulalah orang mencuri, menipu, merampok dan lain-lain. Karena garizah “ingin tahu” pulalah orang suka mencari-cari aib dan rahasia sesamanya, yang mengakibatkan permusuhan dan persengketaan. Demikianlah seterusnya dengan garizah-garizah yang lain.
Garizah-garizah itu tidak dapat dihilangkan dan tidak ada faedahnya membunuhnya. Ada ahli pikir dan pendidik yang hendak memadamkan garizah karena melihat seginya yang tidak baik (jahat) itu, sebab itu diadakan oleh mereka macam-macam peraturan untuk mengikat kemerdekaan anak-anak supaya garizah itu jangan tumbuh, atau mana yang telah tumbuh menjadi mati. Tetapi perbuatan mereka itu besar bahayanya terhadap pertumbuhan akal, tubuh dan akhlak anak-anak. Dan bagaimanapun orang berusaha hendak membunuh garizah itu, namun ia tidak akan mati.
Boleh jadi karena kerasnya tekanan dan kuatnya rintangan terhadap sesuatu garizah, maka kelihatan dia telah padam tetapi manakala ada yang membangkitkannya, timbullah dia kembali. Oleh karena itu kendatipun garizah itu dasar bagi kebaikan, sebagaimana dia juga dasar bagi kejahatan, tetapi kewajiban manusia bukanlah menghilangkannya, hanya mendidik dan melatihnya, supaya dapat dimanfaatkan dan disalurkan ke arah yang baik.
Allah telah menganugerahkan kepada manusia bermacam-macam garizah untuk jadi hidayah (petunjuk) yang akan dipakai dengan cara bijaksana oleh manusia itu.
2. Hidayah Pancaindra
Karena garizah itu sifatnya belum pasti sebagai disebutkan di atas, maka ia belum cukup untuk jadi hidayah bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Sebab itu oleh Allah swt. manusia dilengkapi lagi dengan pancaindra. Pancaindra itu sangat besar harganya terhadap pertumbuhan akal dan pikiran manusia, sebab itu ahli-ahli pendidikan berkata:
الحواس أبواب المعرفة
Artinya:
Pancaindra itu adalah pintu-pintu pengetahuan.
Maksudnya ialah dengan jalan pancaindra itulah manusia dapat berhubungan dengan alam yang di luar, dengan arti bahwa sampainya sesuatu dari alam yang di luar ini ke dalam otak manusia adalah pintu-pintu pancaindra itu.
Tetapi garizah ditambah dengan pancaindra, juga belum cukup lagi untuk jadi pokok-pokok kebahagiaan manusia. Banyak lagi benda-benda dalam alam ini yang tidak dapat dilihat oleh mata. Banyak macam suara yang tidak dapat didengar oleh telinga. Malah selain dari alam mahsusat (yang dapat ditangkap oleh pancaindra), ada lagi alam ma’qulat (yang hanya dapat ditangkap oleh akal).
Selain dari pancaindra itu hanya dapat menangkap alam mahsusat, tangkapannya tentang yang mahsusat itupun tidak selamanya betul, kadang-kadang salah. Inilah yang dinamakan dalam ilmu jiwa “illusi optik” (tiupan pandangan), dalam bahasa Arab disebut, “khida’an nazar”. Sebab itu manusia membutuhkan lagi hidayah yang kedua itu. Maka dianugerahkan lagi oleh Allah hidayah yang ketiga, yaitu “hidayah akal”.
3. Hidayah akal (pikiran)
a. Akal dan kadar kesanggupannya
Dengan adanya akal itu dapatlah manusia menyalurkan garizah ke arah yang baik agar garizah itu menjadi pokok bagi kebaikan, dan dapatlah manusia membetulkan kesalahan-kesalahan pancaindranya, membedakan buruk dengan baik. Malah sangguplah dia menyusun mukadimah untuk menyampaikannya kepada natijah, mempertalikan akibat dengan sebab, memakai yang mahsusat sebagai tangga kepada yang ma’qulat, mempergunakan yang dapat dilihat, diraba dan dirasai untuk menyampaikannya kepada yang abstrak, maknawi dan gaib, mengambil dalil dari adanya makhluk untuk adanya khalik, dan begitulah seterusnya.
Tetapi akal manusia juga belum lagi memadai untuk membawanya kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat di samping berbagai macam garizah dan pancaindra itu.
Apalagi pendapat akal itu bermacam-macam, yang baik menurut pikiran si A belum tentu baik menurut pandangan si B, malah banyak manusia yang masih mempergunakan akalnya, atau akalnya dikalahkan oleh hawa nafsu dan sentimennya. Hingga yang buruk itu menjadi baik dalam pandangannya dan yang baik itu menjadi buruk.
Dengan demikian nyatalah bahwa garizah ditambah dengan pancaindra ditambah pula dengan akal belum lagi cukup untuk menjadi hidayah yang akan menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup jasmani dan rohani, di dunia dan akhirat.
Oleh karena itu manusia membutuhkan suatu hidayah lagi, di samping pancaindra dan akalnya itu, yaitu hidayah agama yang dibawa oleh para rasul `alaihimus shalatu wassalam.
b. Bibit agama dan akidah tauhid pada jiwa manusia
Dalam pada itu kalau diperhatikan agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang diciptakan oleh manusia (Al-Adyan Al-Wad’iyyah) kelihatan pada jiwa manusia telah ada bibit-bibit suka beragama. Yang demikian itu karena manusia itu mempunyai sifat merasa berhutang budi suka berterima kasih dan membalas budi kepada orang yang berbuat baik kepadanya. Maka di kala diperhatikan dirinya dan alam yang di sekelilingnya, umpamanya roti yang dimakannya, tumbuh-tumbuhan yang ditanamnya, binatang ternak yang digembalakannya, matahari yang memancarkan sinarnya, hujan yang turun dari langit yang menumbuhkan tanam-tanaman, akan merasa berutang budilah dia kepada “suatu Zat” yang gaib yang telah berbuat baik dan melimpahkan nikmat yang besar itu kepadanya.
Didapatnyalah dengan akalnya bahwa Zat yang gaib itulah yang menciptakannya, yang menganugerahkan kepadanya dan kepada jenis manusia seluruhnya, segala sesuatu yang ada di alam ini, segala sesuatu yang dibutuhkannya untuk memelihara diri dan mempertahankan hidupnya.
Karena dia merasa berutang budi kepada suatu Zat Yang Gaib itu, maka dipikirkannyalah bagaimana cara berterima kasih dan membalas budi itu, atau dengan perkataan lain bagaimana cara “menyembah Zat Yang Gaib itu”.
Akan tetapi masalah bagaimana cara menyembah Zat Yang Gaib itu, adalah suatu masalah yang sukar, yang tidak dapat dicapai oleh akal manusia. Sebab itu di dalam sejarah kelihatan bahwa tidak pernah adanya keseragaman dalam hal ini. Bahkan akal pikirannya akan membawanya kepada kepercayaan membesarkan alam di samping membesarkan Zat Yang Gaib itu.
Karena pikirannya masih bersahaja dan karena belum dapat dia menggambarkan di otaknya bagaimana menyembah “Zat Yang Gaib”, maka dipilihlah di antara alam ini sesuatu yang besar, atau yang indah, atau yang banyak manfaatnya, atau sesuatu yang ditakutinya untuk jadi pelambang bagi Zat Yang Gaib itu.
Pernah dia mengagumi matahari, bulan dan bintang-bintang, atau sungai-sungai, binatang dan lain-lain, maka disembahnyalah benda-benda itu, sebagai lambang bagi menyembah Tuhan atau Zat Yang Gaib itu, dan diciptakannyalah cara-cara beribadah (menyembah) benda-benda itu.
Dengan ini timbullah pula suatu macam kepercayaan, yang dinamakan “Kepercayaan menyembah kekuatan alam”, sebagai yang terdapat di Mesir, Kaldania, Babilonia, Assyiria dan di tempat-tempat lain di zaman purbakala.
Dengan keterangan itu kelihatanlah bahwa manusia menurut fitrahnya suka beragama, suka memikirkan dari mana datangnya alam ini, dan ke manakah kembalinya.
Bila dia memikirkan dari mana datangnya alam ini, akan sampailah dia pada keyakinan tentang adanya Tuhan, bahkan akan sampailah dia kepada keyakinan tentang keesaan Tuhan itu (tauhid), karena akidah (keyakinan) tentang keesaan inilah yang lebih mudah, dan lebih lekas dipahami oleh akal manusia. Karena itu dapatlah kita tegaskan bahwa manusia itu menurut nalurinya adalah beragama tauhid.
Sejarah telah menerangkan bahwa bangsa Kaldania pada mulanya adalah beragama tauhid, barulah kemudian mereka menyembah matahari, planet- planet dan bintang-bintang yang mereka simbolkan dengan patung-patung. Sesudah Raja Namruz meninggal, mereka pun mendewakan dan menyembah Namruz itu. Bangsa Assyiria pun pada asalnya beragama tauhid, kemudian mereka telah lupa kepada akidah tauhid itu dan mereka persekutukanlah Tuhan dengan binatang-binatang, dan inilah yang dipusakai oleh orang-orang Babilonia.
Adapun bangsa Mesir, maka bila diperhatikan nyanyian-nyanyian yang mereka nyanyikan dalam upacara-upacara peribadatan, jelaslah bahwa bukan seluruh bangsa Mesir purbakala itu orang-orang musyrik dan wasani, melainkan di antara mereka juga ada orang-orang muwahhidin, penganut akidah tauhid. Di dalam nyanyian-nyanyian itu terdapat ungkapan berikut:
“Dialah Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya”
“Dia mencintai seluruh makhluk, sedang dia sendiri tak ada yang menciptakan-Nya”
“Dialah Tuhan Yang Maha Agung, Pemilik langit dan bumi dan pencipta seluruh makhluk”
Umat manusia yang dengan akalnya itu telah sampai kepada akidah tauhid. Akidah tauhid ini sering menjadi kabur, atau tidak murni lagi, dan jadilah mempersekutukan Tuhan yang menonjol di antara mereka. Biar pun pendeta-pendeta mereka masih tetap dalam ketauhidannya, akan tetapi pendeta-pendeta ini kadang-kadang takut atau segan untuk memberantas kepercayaan mempersekutukan Tuhan itu, bahkan ikut hanyut dalam arus masyarakat, yakni arus mempersekutukan Tuhan.
Dapat ditegaskan bahwa akidah tauhid ini tidak pernah lenyap sama sekali, melainkan kepercayaan kepada adanya suatu Zat Yang Maha Esa itu tetap ada. Dialah Pencipta seluruh yang ada ini. Tuhan-tuhan atau dewa-dewa yang lain itu mereka anggap hanyalah sebagai pembantu dan pelayan atau simbol Yang Maha Esa itu.
c. Pendapat Bangsa Arab sebelum Islam tentang Khalik (Pencipta)
Bangsa Arab sendiri pun sebelum datang agama Islam, kalau ditanyakan kepada mereka, “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi ini?” Mereka menjawab, “Allah.” Dan kalau ditanyakan, “Adakah Al-Lata dan Al-Uzza itu menjadikan sesuatu yang ada alam ini”? Mereka menjawab, “Tidak.” Mereka sembah dewa-dewa itu hanya untuk mengharapkan perantaraan dan syafaat dari mereka terhadap Tuhan yang sebenarnya. Allah swt. berfirman menceritakan perkataan musyrikin Arab itu: مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى Artinya:
Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan (kedudukan) kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. (Q.S Az Zumar: 3)
d. Kepercayaan tentang akhirat bisa dicapai oleh akal
Manakala manusia itu memikirkan ke manakah kembalinya alam ini, akan sampailah dia pada keyakinan bahwa di balik hidup di dunia yang fana ini akan ada lagi hidup di hari kemudian yang kekal dan abadi. Tetapi dapatkah manusia dengan akal dan pikirannya semata-mata mengetahui apakah yang perlu dikerjakan atau dijauhinya sebagai persiapan untuk kebahagiaan di hari kemudian (hari akhirat) itu? Jawabnya tentu saja tidak, sejarah pun telah membuktikan hal ini.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa manusia telah diberi Allah akal untuk jadi hidayah baginya, di samping garizah dan pancaindra. Tetapi hidayah akal itu belumlah mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat.
Begitu juga manusia mempunyai tabiat suka beragama, dan dengan akalnya dia kadang-kadang telah sampai kepada tauhid. Akan tetapi tauhid yang telah dicapainya dengan akalnya itu sering pula menjadi kabur dan tidak murni lagi.
Dalam pada itu manusia dengan mempergunakan akalnya juga dapat sampai kepada kesimpulan tentang adanya akhirat, akan tetapi hidayah akal itu belumlah mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat. Maka untuk menyampaikan manusia kepada akidah tauhid yang murni, yang tidak dicampuri sedikit juga oleh kepercayaan-kepercayaan menyembah dan membesarkan selain Allah, dan untuk membentangkan jalan yang benar yang akan ditempuhnya dalam perjalanan mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat dan untuk jadi pedoman bagi hidupnya di dunia ini, dia membutuhkan hidayah yang lain di samping hidayah-hidayah yang telah disebutkan itu. Maka didatangkanlah oleh Allah hidayah yang keempat yaitu “agama” yang dibawa oleh para rasul.
4. Hidayah agama
a. Pokok-pokok agama ketuhanan
Karena hal-hal yang disebutkan itu, maka diutuslah oleh Allah rasul-rasul untuk membawa agama yang akan menunjukkan kepada manusia jalan yang harus mereka tempuh untuk kebahagiaan mereka dunia dan akhirat.
Adalah yang mula-mula ditanamkan oleh rasul-rasul itu kepercayaan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, guna membersihkan iktikad manusia dari kotoran syirik (mempersekutukan Tuhan).
Rasul membawa manusia kepada kepercayaan tauhid itu dengan melalui akal dan logika, yaitu dengan mempergunakan dalil-dalil yang tepat dan logis. (Ingatlah kepada soal-jawab antara Nabi Ibrahim dengan Namruz, Nabi Musa dengan Firaun, dan seruan-seruan Alquran kepada kaum musyrikin Quraisy agar mereka mempergunakan akal).
Di samping kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa, rasul-rasul juga membawa kepercayaan tentang akhirat dan malaikat-malaikat.
Percaya kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya, serta adanya malaikat dan hari kemudian itu, itulah yang dinamakan Al-Iman bil Gaib (percaya kepada yang gaib). Dan itulah yang jadi pokok bagi semua agama Ketuhanan, dengan arti bahwa semua agama yang datangnya dari Tuhan mempercayai keesaan Tuhan, serta malaikat dan hari akhirat.
Di samping `aqaid (kepercayaan-kepercayaan) yang disebutkan itu, rasul-rasul juga membawa hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan pelajaran-pelajaran.
Hukum-hukum dan peraturan-peraturan ini berlain-lainan, artinya apa yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim tidak sama dengan yang diturunkan kepada Nabi Musa, dan apa yang dibawa oleh Nabi Isa tidak serupa dengan yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Sebabnya ialah karena hukum-hukum dan peraturan-peraturan itu haruslah sesuai dengan keadaan tempat dan masa. Maka syariat yang dibawa oleh nabi-nabi itu adalah sesuai dengan masanya masing-masing. Jadi yang berlain-lainan itu ialah hukum-hukum furu` (cabang-cabang), sedangkan pokok-pokok hukum agama seperti akidah adalah sama.
Berhubung Muhammad saw. adalah seorang nabi penutup maka syariat yang dibawanya, diberi oleh Tuhan sifat-sifat tertentu agar sesuai dengan segala masa dan keadaan.
b. Hidayah yang dimohonkan kepada Tuhan
Agama Islam sebagai hidayah dan senjata hidup yang penghabisan, atau jalan kebahagiaan yang terakhir, telah dianugerahkan Tuhan, tetapi adakah orang pandai mempergunakan senjata itu, dan adakah semua hamba Allah sukses dalam menempuh jalan yang dibentangkan oleh Tuhan.
Tidak banyak manusia yang pandai menerapkan agama, beribadat (menyembah Allah) sebagai yang diridai oleh yang disembah, bahkan pelaksanaan syariat tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh Pembuat syariat itu.
Karena itu kita diajari Allah memohonkan kepada-Nya agar diberi-Nya ma`unah, dibimbing dan dijaga-Nya selama-lamanya serta diberi-Nya taufik agar dapat memakai semua macam hidayah yang telah dianugerahkan-Nya itu menurut semestinya. Garizah-garizah supaya dapat disalurkan ke arah yang baik, pancaindra supaya berfungsi betul, akal supaya sesuai dengan yang benar, tuntunan-tuntunan agama agar dapat dilaksanakan menurut yang dimaksud oleh yang menurunkan agama itu dengan tidak ada cacat, janggal dan salah.
Tegasnya manusia yang telah diberi Tuhan bermacam-macam hidayah yang disebutkan di atas (garizah-garizah, pancaindra, akal dan agama) belum dapat mencukupkan semata-mata hidayah-hidayah itu saja, tetapi dia masih membutuhkan ma`unah dan bimbingan dari Allah (yaitu taufik-Nya).
Maka ma`unah dan bimbingan itulah yang kita mohonkan dan kepada Allah sajalah kita hadapkan permohonan itu.
Dengan perkataan lain, Allah telah memberi kita hidayah-hidayah tersebut, tak ubahnya seakan-akan Dia telah membentangkan di muka kita jalan raya yang menyampaikan kepada kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi, maka yang dimohonkan kepada-Nya lagi ialah “membimbing kita dalam menjalani jalan yang telah terbentang itu”.
Dengan ringkas hidayah dalam ayat “ihdinassiratal mustaqim” ini berarti “taufik” (bimbingan), dan taufik itulah yang dimohonkan di sini kepada Allah.
Taufik ini dimohonkan kepada Allah sesudah kita berusaha dengan sepenuh tenaga, pikiran dan ikhtiar, karena berusaha dengan sepenuh tenaga adalah kewajiban kita, tetapi sampai berhasil sesuatu usaha adalah termasuk kekuasaan Allah. Dengan ini kelihatanlah pertalian ayat ini dengan ayat yang sebelumnya. Ayat yang sebelumnya Allah mengajari hamba-Nya supaya menyembah memohonkan pertolongan kepada-Nya, sedangkan pada ayat ini Allah menerangkan apa yang akan dimohonkan, dan bagaimana memohonkannya.
Maka tak ada pertentangan antara kedua firman Allah tersebut dan firman Allah yang ditujukan kepada Nabi yang berbunyi: وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ Artinya:
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Q.S Asy Syura: 52)
Dan firman-Nya: إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ Artinya:
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi tetapi Allahlah yang dapat memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (Q.S Al Qasas: 56)
Sebab yang dimaksud dengan hidayah pada ayat pertama, ialah menunjukkan jalan yang harus ditempuh, dan ini memang adalah tugas nabi. Tetapi yang dimaksud dengan hidayah pada ayat kedua ialah membimbing manusia dalam menempuh jalan itu dan memberikan taufik agar sukses dan berbahagia dalam perjalanannya, dan ini tidaklah masuk dalam kekuasaan Nabi, hanya adalah hak Allah semata-mata. الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) Artinya:
Jalan yang lurus (yang menyampaikan kepada yang dituju). (Q.S Al Fatihah: 6)
Apakah yang dimaksud dengan jalan lurus itu?
Di atas telah diterangkan bahwa rasul-rasul telah membawa `aqaid (kepercayaan-kepercayaan) hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak, dan pelajaran-pelajaran. Pendeknya telah membawa segala sesuatu yang perlu untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Maka aqaid, hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan pelajaran-pelajaran itulah yang dimaksud dengan jalan lurus itu, karena dialah yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sebagai disebutkan.
Jadi dengan menyebut ayat ini seakan-akan kita memohon kepada Tuhan: “Bimbing dan beri taufiklah kami, ya Allah dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama kami. Betulkanlah kepercayaan kami. Bimbing dan beri taufiklah kami dalam melaksanakan kepercayaan kami. Bimbing dan beri taufiklah kami dalam melaksanakan hukum, peraturan-peraturan, serta pelajaran-pelajaran agama kami. Jadikanlah kami mempunyai akhlak yang mulia, agar berbahagia hidup kami di dunia dan akhirat”. |