Oleh: Asmu’i*
Masalah penggunaan kata “Allah” seharusnya dikembalikan ke ranah teologis, dan jangan terpancing untuk mengaitkannya dengan wacana politik semata.
Miris, kontroversi penggunaan “kata Allah” di Malaysia digembar-gemborkan sebagai wacana politik semata. Sejumlah tulisan di beberapa media massa ambil bagian dalam upaya ini. Tak ayal, masalah teologis ini menjadi “seakan-akan” tidak memiliki akar yang jelas dalam ranah agama.
Tentu, upaya ini bukan tanpa alasan. Agaknya, pendukung keputusan Mahkamah Tinggi Kuala Lumpur pada 31 Desember 2009 yang membenarkan penggunaan kata ”Allah” oleh surat kabar Katholik Herald-The Catholic Weekly terbitan Gereja Katolik Roma, Malaysia, berusaha menjegal upaya banding pemerintah Malaysia atas keputusan tersebut dengan mengait-ngaitkannya dengan isu politik. Yang mereka inginkan satu, semua orang melihat masalah tersebut hanya dilatarbelakangi oleh kepentingan politk belaka. Jika berhasil, tentu ini akan menjadi tekanan ke pemerintah, sebab wacana yang akan berkembang, bahwa keputusan pemerintah yang tidak mendasar itu telah memicu lahirnya kekerasan.
Kita tahu, masalah penggunaan kata “Allah” menyita perhatian publik internasional, baik umat Islam secara khusus maupun non muslim. Karena itu, mengembalikan masalah tersebut ke akar masalahnya (ranah teologis) adalah satu keniscayaan. Sehingga, semua pihak dapat menilai dan bersikap secara proporsional dan tepat. Untuk itu, tulisan ini akan mengulas ‘mengapa mengatur penggunaan kata “Allah” itu penting. Di sini juga akan dijelaskan ‘posisi’ pemerintah sebagai pihak pengemban amanah.
‘Allah’ Nama Tuhan Agama Tauhid (Islam)
Dalam al-Qur’an, disebutkan bahwa mulai dari Nabi Yunus (QS. Yunus: 72), Nabi Ibrahim (Ali Imran: 67), dan semua Nabi dari Bani Israil (QS. Yunus: 84, QS An-Naml: 44, dan Ali Imran: 52) adalah muslim. Ini menunjukkan bahwa agama mereka adalah Islam, bukan Yahudi atau Kristen misalnya. Sebab, yang dibawa para Nabi itu adalah ajaran Tauhid, menyembah Allah Yang Esa. Rasulullah juga menegaskan ini, sebagaimana sabda beliau, “Aku (Rasulullah SAW) orang paling dekat dengan Nabi Isa bin Maryam di dunia maupun di akhirat. Nabi-Nabi adalah bersaudara, agama mereka adalah satu meskipun ibu-ibu mereka berlainan.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Imam Ahmad). Semua ini dapat kita pahami dan yakini karena sumber kita (al-Qur’an dan al-Hadits) tidak bermasalah. Bagi kita, al-Qur’an dan al-Hadith itu sifatnya tetap dan final.
Wahyu juga menjadi sumber final konsep Ketuhanan dalam Islam. Karena itu, tidak ada unsur-unsur praduga di dalamnya. Hatta, nama Allah telah termaktub secara jelas di dalamnya. Allah subhanawataala berfirman: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Taha: 14). Allah juga berfirman, “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri (QS. 35). Secara implisit, kalimat La Ilaha Illallah dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah itu merupakan nama diri, bukan gelar atau penisbatan tertentu. Yang demikian ini disebut sebagai isim jamid, atau kata benda yang tidak berasal usul dari kata lain sebagaimana isim musytaq (baca: Tafsir al-Qur’an al-’Adzim Juz I). Pendapat ini juga didukung oleh Imam Syafi’i dan Imam al-Ghazali.
Demikian juga dengan cara mengucapkannya, juga berdasarkan sumber yang jelas, yakni ajaran Rasulullah saw. Karena itu, tidak ada perselisihan di kalangan umat Islam tentang hal itu. Selain itu, dalam firman-Nya QS. Al-Isra’: 110, Allah telah melarang kita untuk memanggil-Nya dengan panggilan yang tidak Ia sebutkan dalam kitab-Nya. Jadi, kita hanya boleh memanggil-Nya dengan nama-nama yang ada dalam wahyu-Nya, yang kita kenal sebagai al-asma’ al-husna. Di sini, yang perlu digaris bawahi adalah bahwa nama-nama itu menunjukkan kepada satu Zat Yang Esa, Allah (baca: Tafsir Thabari dan Tafsir al-Qur’an al-Adzim).