assalaamu'alaikum wr. wb.
Baru-baru ini muncul ajaran sesat dari 'pesantren' yang dipimpin oleh seseorang bernama Muhammad Roy. Tokoh yang (berusaha) terkenal ini menyodorkan sebuah konsep yang terdengar baru, tapi sebenarnya tidak terlalu baru juga. Pada intinya, orang yang satu ini merasa kecewa dengan masa lalunya yang tidak pernah mengerti apa yang dibacanya ketika shalat, kemudian menggugatnya dengan sebuah langkah revolusioner : melaksanakan shalat dalam bahasa Indonesia.
Tentu saja, momen yang seperti ini begitu cepat dimanfaatkan oleh kaum misionaris Kristen. Saya tidak akan menyalahkan mereka, karena memang itu adalah pekerjaan mereka. Malah bagus, karena dengan adanya legitimasi atas pekerjaan mereka, berarti umat Islam pun bebas sebebas-bebasnya untuk menyebarluaskan ajarannya. Dan, tentu saja, di akhir cerita, Islam pasti menang. Lihat saja.
Tapi sudahlah. Tidak perlu membicarakan hal yang sudah pasti. Sekarang umat Islam punya kewajiban untuk memberikan jawaban yang benar dan enak di telinga. Kenapa harus enak di telinga? Karena kebenaran yang menyinggung orang lain tentu tidak akan berhasil menarik hati lawan bicara.
Gagasan untuk mengubah bacaan shalat dan Al-Qur'an ke dalam bahasa lokal sebenarnya sudah didengungkan sejak dahulu, dengan bantuan intensif dari kerajaan media massa Yahudi. Pelopornya adalah para pemimpin Turki yang meruntuhkan kekhalifahan Utsmaniyah. Salah satu 'karya' mereka adalah dengan dilantunkannya adzan dalam bahasa lokal, yaitu bahasa Turki. Menurut kaum nasionalis, kalau masih menggunakan bahasa non-Turki, maka kesannya tidak cinta tanah air.
Pertanyaan yang harus diajukan adalah : "Mengapa harus bahasa Arab?". Kalau belum bisa menjawabnya, bolehlah mengubah pertanyaan ini menjadi : "Apa yang akan terjadi kalau diganti ke dalam bahasa lain?".
Kalau ada yang bilang bahwa semua bahasa itu sama, maka orang itu pasti mendapat nilai kurang dalam bahasa Inggris (atau bahasa asing lainnya). Semua orang yang menguasai dua bahasa atau lebih pasti tahu persis bahwa setiap bahasa memiliki karakternya masing-masing, sebagaimana setiap bangsa pun memiliki karakternya masing-masing. Bahkan di antara dua suku yang berbeda di negara yang sama pun memiliki karakter yang berbeda-beda.
Perbedaan yang paling mencolok adalah pada proses penyusunan kalimatnya. Bahasa Inggris disusun dalam berbagai tenses. Cara kita merangkai kalimat yang menggambarkan kejadian di masa lalu berbeda dengan kejadian yang terjadi setiap hari. Dalam bahasa Indonesia, keterangan mengenai waktu cukup ditunjukkan dengan beberapa kata tambahan saja. Misalnya, untuk menceritakan kejadian kemarin, kita tinggal menyisipkan kata "kemarin" pada tempat yang cocok. Predikatnya sendiri tidak berubah sedikit pun.
Bahasa Perancis memiliki tabiat yang berbeda. Setiap benda memiliki sifat yang 'feminin' dan 'maskulin'. Kata-kata yang 'feminin' diperlakukan berbeda dengan kata-kata yang bersifat 'maskulin'. Perbedaan status ini menyebabkan terjadinya perubahan dalam kalimat.
Perbedaan lain yang cukup jelas adalah pada ragam kata dalam bahasa. Terkadang suatu kata dalam bahasa tertentu tidak bisa dengan mudah diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Kata "accept" dan "receive" dalam bahasa Inggris sama-sama diterjemahkan sebagai "menerima" dalam bahasa Indonesia. Kenyataannya, kedua kata ini jelas berbeda.
- I accepted the invitation.
- I received the invitation.
Pada kalimat pertama, artinya adalah "Saya menerima dengan senang hati undangan tersebut dan kemungkinan besar akan hadir." Kalimat kedua - yang menggunakan kata "receive" - bermakna "Saya telah menerima surat undangan tersebut." Masalah surat tersebut diterima dengan senang hati atau dengan bersungut-sungut sama sekali tidak terlihat dari kalimat ini. Kalimat ini juga bersifat netral tanpa menunjukkan keputusan si penerima surat undangan, apakah akan menghadiri undangan tersebut atau tidak.
Perbedaan satu kata saja bisa mengakibatkan banyak perbedaan. Inilah perbedaan yang amat mencolok antara sistem bahasa Inggris dengan sistem bahasa Indonesia. Bagaimana dengan bahasa Arab?
Bahasa Arab bahkan lebih rumit lagi. Dalam bahasa Arab, dikenal sistem tunggal, ganda dan jamak. Selain itu, subjek laki-laki, perempuan atau kumpulan dari laki-laki dan perempuan juga dibedakan. Dalam bahasa Indonesia, kita akan temui sistem sebagai berikut :
- Saya
- Kamu
- Dia
- Kita
- Kami
- Kalian
- Mereka
Dalam bahasa Arab, sistem yang muncul akan lebih rumit lagi karena adanya aturan-aturan di atas. Sistem tersebut adalah sebagai berikut :
- "Ana" ---> Saya
- "Anta" ---> Kamu (untuk laki-laki)
- "Anti" ---> Kamu (untuk perempuan)
- "Huwa" ---> Dia (untuk laki-laki)
- "Hiya" ---> Dia (untuk perempuan)
- "Antum" ---> Kalian (untuk laki-laki)
- "Antunna" ---> Kalian (untuk perempuan)
- dan seterusnya...
Jadi, kalau kita jumpai kata "kalian" dalam bahasa Arab, belum tentu hal tersebut merujuk pada subjek yang sama. Kita perlu meneliti pilihan katanya. Apakah dia bermaksud merujuk pada sekumpulan orang laki-laki ataukah perempuan?
Contoh lain adalah pada kata-kata "Rabb" dan "Ilaah". Keduanya sama-sama diterjemahkan sebagai kata "Tuhan" dalam bahasa Indonesia. Pada kenyataannya, penerjemahan seperti ini sangatlah tidak tepat. Meskipun "Rabb" dan "Ilaah" memang sama-sama merujuk pada Allah SWT, namun kesan yang disampaikannya sangat berbeda. Kata "Rabb" bermakna "pemelihara, pendidik, pembangun" dan segala hal yang bermakna kasih sayang dan peningkatan. Kata "Ilaah" memiliki makna yang sama sekali berbeda, yaitu menggambarkan absolutisme kekuasaan Allah. Kata ini bermakna "yang diharapkan, yang dicintai, yang ditakuti dan yang ditaati". Dengan menyebut kata "Ilaah", kesan yang didapat adalah ketergantungan manusia kepada-Nya.
Pemakaian kata "Rabb" dan "Ilaah" pun jelas berbeda. "Alhamdulillaahi rabbil 'aalamiin" artinya "Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam". Kalimat ini adalah kalimat pujian, sebuah ungkapan takjub atas keindahan perbuatan Allah, sekaligus rasa terima kasih dari hati yang terdalam atas segala kebaikan yang telah Allah berikan. Kalimat ini jelas cocok bila menggunakan kata "Rabb", karena sesuai dengan maknanya. Di sisi lain, ketika menyatakan keislamannya, setiap orang diwajibkan mengucapkan "Asyhaduan laa ilaaha illallaah.." yang artinya "Aku bersaksi bahwasanya tiada Ilaah selain Allah". Pengakuan keislaman seseorang tentu diucapkan dengan sebuah kebanggaan dan keyakinan yang amat tinggi atas kebenaran kata-katanya. Secara tegas, ia menyatakan bahwa tidak ada lagi sandaran hidupnya kecuali Allah. Karena itu, digunakanlah kata "Ilaah", karena memang pas dengan kesan yang dimunculkan oleh kalimat ini.
Keputusan Allah untuk menurunkan Al-Qur'an dengan satu bahasa saja sangatlah tepat, dan keputusan-Nya untuk memilih bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur'an pun sangat tepat. Kalau Al-Qur'an bebas ditulis dalam segala bahasa, maka akan terjadi kebingungan, karena bagaimana pun, setiap bahasa berbeda-beda tabiatnya walaupun ketika menggambarkan sebuah hal yang sama.
Meski demikian, bukan berarti Al-Qur'an tidak boleh diterjemahkan. Terjemahan Al-Qur'an jelas dibutuhkan oleh orang-orang awam yang belum menguasai bahasa Arab. Tapi harus diingat bahwa yang disebut Al-Qur'an adalah wahyu Allah yang diturunkan dalam bahasa Arab, bukan terjemahannya.
Jika kita kembali pada pokok pemikiran Muhammad Roy, sang 'revolusioner' dari Malang itu, maka jelas bahwa masalah yang terjadi pada dirinya adalah karena dia tidak memahami bahasa Arab. Karena ia tidak memahami bahasa Arab, lantas seluruh shalat harus diucapkan dalam bahasa Indonesia. Buruk muka, cermin pun dibelah. Diri sendiri yang kekurangan, mengapa sistem yang harus diubah? Kalau kita tidak bisa membaca, apakah orang lain tidak boleh menulis? Ini bukanlah sikap seorang Muslim sejati. Kalau kita menyadari kekurangan diri sendiri, maka kita harus memperbaikinya.
Sangatlah tidak beralasan jika dikatakan bahwa ia tidak mengerti arti dari bacaan shalatnya. Kalau ia mengeluhkan hal ini kepada saya, insya Allah saya akan segera membelikan buku-buku tuntunan shalat yang disertai terjemahan plus sebuah Al-Qur'an kecil yang juga ada terjemahannya! Semuanya itu tidak akan menghabiskan uang lebih dari Rp 50.000,00. Sayang, Muhammad Roy tidak pernah datang kepada saya.
Bagaimanakah nasib kitab Bible yang disalin secara bebas ke dalam berbagai bahasa? Adakah perubahan makna terjadi dalam proses penyalinan tersebut? Entahlah. Saya rasa mereka lebih tahu.
wassalaamu'alaikum wr. wb.
Sumber :