Cartoon by Carlos Latuff
===========================================
Agresi militer Israel ke Jalur Gaza, Palestina, dikutuk semua bangsa. Berikut wawancara dengan Presiden PKS Tifatul Sembiring yang kemarin turun langsung memimpin aksi solideritas ribuan kadernya kemarin:
Keberanian Israel menggempur Palestina, khususnya basis Hamas di Gaza, tampaknya karena melihat peluang banyaknya tokoh Palestina sendiri yang tidak senang pada Hamas. Apa komentar Anda?
Kalau dikatakan banyak tokoh tidak senang pada Hamas, saya kira tidak. Serangan itu memang sudah direncanakan Israel. Tokoh-tokoh Palestina justru mayoritas Hamas. Israel sejak dulu memang melakukan strategi pecah belah untuk melemahkan rakyat Palestina. Dan memang harus diakui, banyak tokoh Fatah yang terpengaruh dan ”bermain”. Israel melihat peluang pecah belah itu sejak lama dan sampai sekarang strategi mengadu domba tersebut terus dilakukan.
Pemerintah Palestina, tampaknya, sulit meyakinkan kelompok Hamas. Apakah kedua kelompok itu memang tidak bisa bersatu lagi?
Harus dipahami, Hamas yang didirikan pada 1987 dilandasi kegemasan rakyat Palestina terhadap pemerintahannya sendiri. Hamas populer karena mereka menjawab langsung kebutuhan rakyat. Mereka yang mendampingi rakyat saat krisis bertahun-tahun. Sekarang, jika Hamas dipaksa gencatan senjata, sementara Israel terus memblokade jalur makanan dan obat-obatan, itu berarti mereka dipaksa mati pelan-pelan.
Israel sangat gembira jika pertikaian Fatah dengan Hamas terus berlangsung. Sebab, itu melemahkan perjuangan mereka. Kita juga melihat banyak tokoh Fatah yang dekat dengan petinggi Israel. Sebuah laporan bahkan menyebutkan mereka mendapatkan bantuan finansial tetap dari Israel.
Mereka berbeda pendapat soal keberadaan Israel sebagai negara. Apakah ada perbedaan yang lebih penting dari itu?
Saat terjadi penyerangan dan pengusiran warga Palestina, kita membaca bahwa banyak tokoh Fatah yang mengungsi. Misalnya, dalam kasus Shabra dan Shatila. Sedangkan Hamas tetap tinggal bersama rakyat. Hamas juga sama sekali menolak bantuan apa pun dari Israel dan negara kroni-kroninya.
Bagi Hamas, tanah rakyat Palestina itu mulai Laut Tengah di selatan sampai Sungai Jordan di utara, sedangkan Israel memecah-mecah wilayah Palestina. Mereka mendirikan negara di tengah-tengah dan mengusir rakyat Palestina. Hamas juga melawan politik pecah belah dan adu domba Israel. Gerakan mereka untuk semua warga, baik muslim maupun Kristen.
Hamas pernah memenangi pemilu secara demokratis, tapi tidak diakui AS. Apakah itu yang membuat Hamas merasa lebih besar dan sah menyuarakan rakyat Palestina?
Itulah sikap besar hati Hamas. Ketika AS dan seluruh kroninya mendesak agar ada pemilu di Palestina, Hamas pun bersedia. Mereka terpilih secara demokratis hingga meraih suara mutlak 70 persen. Itu namanya absolute majority atau mayoritas mutlak.
Rakyat memilih Hamas karena tahu persis apa yang dikerjakan Hamas saat krisis terjadi. Tapi, hasil pemilu yang demokratis tersebut diingkari Amerika. Itu bukti sikap ganda mereka. Tidak perlu merasa lebih besar. Kenyataannya, mayoritas rakyat Palestina adalah pendukung utama Hamas.
Karena kita harus mendukung Palestina, sebaiknya sebagai muslim Indonesia, kita mendukung Hamas atau Fatah? Mengapa?
Yang jelas, jalur Gaza itu semua dikuasai Hamas. Mutlak. Sedangkan yang di West Bank (Tepi Barat), itu masih ada suplai bantuan dari Israel. Tapi, mari kita lihat bukan dari membantu Hamas atau Fatah dari sisi kemanusiaan. Selain itu adalah perintah agama, kita lihat dalam pembukaan UUD 1945, kita ini bangsa anti penjajahan.
Karena itu, kita mendukung Palestina karena Israel adalah penjajah. Dukungan tersebut ada sejak Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung. Karena itu, kita membela Palestina bukan melihat mereka sebagai Fatah atau Hamas, melainkan melihat mereka sebagai rakyat yang terjajah dan sedang ditindas Israel.
Apakah ada tokoh Indonesia yang bisa mendamaikan kedua kelompok itu?
Posisi kita ini agak sulit karena kita orang luar ya. Kita memang sangat gemas pada sikap bangsa Arab karena komitmen persatuan itu sangat susah diwujudkan. Pernah saya tanyakan kepada tujuh pimpinan organisasi-organisasi di Arab, mengapa Anda tak bisa bersepakat melawan Israel?
Mereka menjawab karena kami ini memang bertujuh. Saya juga pernah sampaikan kepada Presiden Mahmoud Abbas saat dia berkunjung ke sini. Saya bilang kepada dia, pakaian kotor tidak perlu dicuci di rumah tetangga. Artinya, jika ada permasalahan internal, tak perlu melibatkan Israel. Mereka itu licik dan memanfaatkan itu untuk adu domba.
Bukankah perpecahan Palestina tersebut menyulitkan muslim Indonesia untuk mendukung Palestina? Bagaimana kita harus bersikap?
Sekarang ini kondisinya darurat. Rakyat di Palestina benar-benar tak berdaya. Semua jalur obat-obatan dan makanan diblokade Israel. Karena itu, bantuan yang sangat dibutuhkan adalah makanan dan obat-obatan. Kami sudah mengirim dua dokter ke sana. Mereka lapor bahwa penjagaan di Rafah (perbatasan Mesir-Gaza) dijaga ketat oleh dua lapis tentara. Lapis pertama tentara Mesir, lapis kedua tentara Israel.
Jadi, Israel memang benar-benar mempersulit semua akses masuk ke sana. Tapi, kami tidak menyerah. Kami akan mengirim 20 relawan lagi ke Mesir untuk berkoordinasi dengan jaringan kami di sana. Rakyat Palestina sedang memasuki musim dingin sampai Februari nanti. Mereka butuh pakaian hangat dan selimut. Dukungan dana kita sekecil apa pun, insya Allah, akan sangat berguna di sana.
Menurut Anda, mungkinkah konflik Palestina diselesaikan kalau dua kelompok tersebut masih bertikai?
Sulit, Mas. Ini masih akan lama dan panjang.
Israel adalah anak laki-laki AS di Timur Tengah. Pada pemerintahan Obama nanti, kalau berubah, Israel tetap saja menjadi anak, walau mungkin anak perempuan. Setujukah Anda?
Dalam surat saya dan tadi saya tegaskan lagi dalam orasi. Obama, kami mengamati Anda. Anda bersemboyan Change We Believe In, maka buktikan perubahan itu di Timur Tengah. Tapi, memang kami agak pesimistis karena memang Obama sangat dekat dengan komunitas Yahudi. Dia juga aktif berkampanye di basis-basis suara kaum Yahudi di Amerika. Karena itu, kami tidak berharap banyak. (rdl/kim)