- BELENGGU KEBANGSAAN DAN BAHASA
(TUHAN adalah milik bangsaku, TUHAN berbicara dalam bahasaku!”
Itulah yang ingin disampaikan oleh sang penulis. Artinya, bahasa dan bangsa tidak membelenggu Tuhan. Menurutnya, Ibrahimlah/Abraham menjadi manusia pertama yang menyembah Tuhan Yang Benar. Pendapatnya ini dikuatkan olehnya dengan mengutip firman Allah dalam Qs. Al-Zukhruf [43]: 27-28.[5]
Secara halus, sang penulis menyindir umat Islam. Dia menulis:
“Contoh: Bangsa Yahudi menganggap diri mereka adalah bangsa pilihan TUHAN, dan tidak ada bangsa lain seperti mereka. Mereka menetapkan bahwa umat yang ingin beroleh keselamatan dunia-akhirat harus menjadi orang Yahudi lebih dulu. Harus belajar bahasa Ibrani. Lebih jauh lagi penyimpangan mereka: bahasa Ibrani mereka anggap sebagai bahasa sorga. Contoh lebih mirip adalah orang-orang Arab, yang menuntut semua pengikut agama Arab harus mengucapkan pengakuan-iman dan bahasa Arab! Doa-doa harus dipanjatkan di dalam bahasa Arab, baru sah. Kitab Suci merekapun dipertahankan dalam bahasa Arab. Bahkan umat dianjurkan melakukan peziarahan ke Tanah Arab.”[6]
Penulis menyamkana Islam dengan “Arab”. Artinya, umat Islam memaksakan bahasa Arab kepada pemeluk agama lain, agar mengadopsinya seratus persen. Tentu saja bahasa Al-Qur’an “wajib” berbahasa Arab. Menurut Allah s.w.t. Al-Qur’an memang harus dalam bahasa Arab, agar mudah dipahami. Bukan untuk membelenggu dan membentengi TUHAN dalam satu bahasa. “Sesungguhnya Kami turunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab agar kalian mengetahui (memahami dengan mudah).” (Qs. Yusuf [ ]: ). Ziarah ke Tanah Arab, maksudnya adalah menunaikan Ibadah Haji ke Mekah al-Mukarramah. Ini adalah perintah Allah kepada nabi Ibrahim a.s., sebagai “Bapak Tauhid”. (Qs. Al-Hâj []: ). Jika penulis memahami ajaran Ibrahim a.s. dia tidak akan berani menyalahkan orang-orang Muslim yang berangkat setiap tahun ke Tanah Suci Mekah yang mulia. Penulis lupa –atau pura-pura lupa—bahwa Ibrahim/Abraham dan anaknya Isma’il yang melakukan renovasi rumah Allah, Mekah, di Arab Saudi. Bagaimana mungkin fakta sejarah ini luput dari seseorang yang sudah mempelajari Al-Qur’an selama 40 tahun.
Setelah itu, penulis membela Kristen. Dia menulis:
“Perhatikan pula bahasa Yesus-Anak-Manusia, yang tidak berbangsa Yahudi atau Arab (sebab Yesus ber-Bapak-kan TUHAN, Pemilik Sorga), juga tidak mengharuskan pengikut-Nya untuk berbahasa tertentu. Sebab semua bahasa sah di hadapan TUHAN. Yesus membebaskan para pengikut-Nya untuk menggunakan bahasa masing-masing di dalam menyeru TUHAN. Sebab TUHAN mengerti segala bahasa.”[7]
Inilah satu satu bentuk kontradiksi pendapat yang dimiliki sang penulis. Katanya di awal dia mengatakan menganut ajaran Injil Yesus yang asli, sebelum zaman Kekristenan. Nyatanya, dia mengakui bahwa Yesus adalah “Anak Tuhan (Son of God). Inilah ajaran Trinitas, bin Tri Tunggal alias Three in One. Padahal selama hidupnya, Yesus tidak pernah menyatakan bahwa dirinya “Anak Tuhan”.
Benar bahwa TUHAN tidak mengkhususkan satu bahasa. Tapi untuk Kitab Suci, Allah pasti memilih satu bahasa khusus untuk kitab-Nya. Kenapa? Agar dia dapat dipahami oleh umat-Nya. Yesus tidak menyuruh orang Kristen menggunakan satu bahasa khusus? Benar, dalam hal rutinitas tertentu, bukan untuk Kitab Suci. Kitab Suci wajib menggunakan satu bahasa, kecuali terjemahan. Terjemah Kitab Suci boleh tidak menggunakan bahasa aslinya.
Sepertinya sang penulis kecewa berat, karena Injil kehilangan bahasa aslinya. Bahasa Ibrani (Hebrew) tidak mampu diselamatkan.[8] Konon lagi mereka mau menyelamatkan Bible. Sungguh hal yang menyedihkan. Dia ingin mengelabui umat Islam, agar tidak usah belajar bahasa Arab. Apa jadinya, jika umat Islam tidak ada yang belajar Al-Qur’an, Tauhid, hadits dll. Padahal sumbernya adalah bahasa Arab. Karena dia frustasi, maka dia mengusulkan agar TUHAN tidak dibelenggu oleh “satu bahasa resmi”.
- BELENGGU KITAB SUCI
Dalam hal ini, sang penulis menolak klaim suatu agama bahwa Kitab Sucinya yang paling “benar”. Dengan nada intimidatif, sang penulis mencatat:
“Masing-masing pemimpin agama ini cenderung menganggap Kitab Suci yang dipegangnya yang paling benar; bahkan ada kecenderungan untuk menuding bahwa Kitab Suci yang lain sudah tidak asli, atau sudah rusak, atau bahkan sudah hilang yang aslinya. Inipun suatu belenggu tersamar: “TUHAN tidak mampu memelihara kebenaran yang sudah diwahyukanNya!” Penulis tidak menyembah TUHANyang demikian lemah![9]
Benar! Setiap agama memang mengakui Kitab Sucinya lah yang paling benar. Mungkin karena penulis mencoba untuk mengikuti Injil yang asli, yang sudah tak diketahui identitasnya dengan jelas, jadi dia mengusulkan agar tidak ada klaim kebenaran (truth claim) terhadap masing-masing Kitab Suci kaum beragama. Contoh: umat Yahudi mengakui bahwa di dalam Perjanjian Lama diakui ada 5 kitab pertama disanggap sebagai Taurat Musa, karena menurut mereka Musa lah yang menulisnya.[10] Tapi ternyata Kitab ini tidak biasa dianggap Firman Allah 100 %, karena banyak yang errorsdan tidak benar jika dinisbatkan kepada Allah s.w.t. Contoh: dalam Kitab Ulangan 34: 5-6 disebutkan:
“Lalu matilah Musa, hamba TUHAN itu, di sana di tanah Moab, sesuai dengan Firman TUHAN. Dan dikuburkan-Nyalah dia di suatu lembah di tanah Moab, di tentangan Bet-
Peor, dan tidak ada orang yang tahu kuburnya sampai hari ini.”
Orang yang kritis membaca dua Kitab Ulangan di atas, akan menyimpulkan bahwa tidak mungkin Musa yang menulisnya. Apakah dapat diterima oleh akal seseorang sudah tahu tanggal kematiannya, dan juga sudah tahu dimana dia akan dikuburkannya. Ini mengindikasikan bahwa ada “orang ketiga” yang menuliskan ayat Kitab Ulangan di atas. Maka tidak heran, jika Barukh Spinoza (1632-1677), mengkritik kelima kitab Musa tersebut. Contoh kritik Spinoza, misalnya:
“Bible tidak hanya menceritakan Musa dengan kata ganti orang ketiga, tetapi lebih dari itu dia memberikan banyak kesaksian mengenai dirinya, seperti: “TUHAN berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka.” (Keluaran 33: 11), “Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang ada di atas muka bumi.” (Bilangan 12: 3), “Maka gusarlah Musa kepada para pemimpin tentatara itu.” (Bilangan 31: 14), “Lalu matilah Musa, hamba TUHAN itu, di sana di tanah Moab, sesuai dengan Firman TUHAN.” (Ulangan 34: 5).[11]
Tentu saja kesaksian ‘orang ketiga’ di atas tidak dapat dikatakan sebagai sabda Musa a.s. Dengan demikian, batallah klaim yang menyatakan bahwa kitab Keluaran merupakan tulisan Musa a.s.
Sang penulis juga menyatakan:
“Maka kelirulah umat dan para pemimpin Agama yang berselisih paham mengenai Kitab Suci yang paling suci, dan paling sempurna, dan paling sah. Semuanya itu sia-sia, jika tidak berjumpa dengan Tokoh yang berwenang menuntun ke Sorga. Lebih jauh lagi, Tokoh itu haruslah Pemilik Sorga sendiri, Yang Maha Tinggi, atau (barangkali) ada Tokoh lain yang diberi wewenang untuk menuntun umat ke Sorga. Hal ini akan menjadi jelas nanti.”[12] Karena menurutnya Kitab hanyalah suatu benda, yang berisi petunjuk belaka; bukan menentukan masuk/tidaknya seseorang ke dalam Sorga.[13]
Oleh karenanya, ia mengusulkan agar TUHAN tidak dibelenggu. Dia menulis:
“Jangan pula TUHAN dibelenggu, seolah-olah TUHAN hanya berfirman di dalam Kitab2 dari Agama Samawi (Yahudi-Kristen-Islam). TUHAN berfirman juga di luar Kitab-kitab yang dianggap suci itu. Bahkan di dalam Kitab Weda (Veda), TUHAN sudah mencatatkan kebenaranNya, untuk mencairkan kesombongan yang merebak di tengah-tengah umat Tuhan.”[14]
Di sini, sang penulis tampil bebas, “tanpa agama”. Ia benar-benar multi-agama. Inilah faham “multi-kulturalisme”. Semua kitab suci menurutnya “sama”: sama-sama benar, karena sama-sama Firman Allah. Inilah logika ngawur. Setiap agama, pasti mengklaim bahwa Kitab Sucinya lah yang paling benar. Ini hal yang aksioma. Yang perlu dilakukan adalah “verifikasi”. Apakah benar kitab yang diklaimnya itu suci, benar atau tidak. Benarkah agamanya itu mengajak kepada kebenaran: Allah yang Mahabenar, keimana yang benar, dan ajaran yang benar. Itu yang penting. Bukan hanya klaim “kosong” bahkan “dusta” tanpa bukti nyata. Dalam hal ini, Al-Qur’an sangat terbuka dan fair. Al-Qur’an sendiri mengajak siapa saja yang tidak percaya akan kebenaran yang dikandungnya untuk “mentadabburinya”. Dengan jelas, Allah s.w.t. menawarkan untuk memberikan verifikasi terhadap Al-Qur’an ini:
“Apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an? Sekiranya Al-Qur’an itu berasal dari selain Allah, niscaya mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya.”(Qs. Al-Nisa’ [4]: 82).
Dalam ayat yang lain, Allah s.w.t. menjelaskan: “Apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an, atau hati mereka benar-benar terkunci?” (Qs. Muhammad [48]: 24).
Untuk mendukung argumentasinya, sang penulis mengambil contoh dari Sloka 9:11: Orang bodoh mengejek diriku bila AKU menurun dalam bentuk diri manusia, karena mereka tidak mengerti bentuk rohankiKU sebagai TUHAN YANG MAHA ESA yang berkuasa atas segala sesuatu yang ada.
Sloka ini, menurutnya, memperkenalkan TUHAN YANG MAHA ESA, tanpa nama-pribadi. Yakni TUHAN yang rohani, tidak terbuat dari kayu ataupun batu; TUHAN yang berkuasa atas segala sesuatu
Sloka ini juga adalah nubuatan tentang menurunnya atau menitisnya TUHAN, tampil dalam bentuk manusia. Lalu orang-orang bodoh mengejek. Satu-satunya manusia yang menyandang ciri titisan TUHAN adalah Yesus-Anak-Manusia, yang diejek, bahkan disalibkan oleh orang-orang yang (beragama, namun) tidak mengerti tentang ROH TUHAN![15]
Ketika menjelaskan tentang ajaran “menitis” (titisan) ini, sang penulis menjelaskan dalam catatan kakinya: “Ada kebenaran tertentu di dalam pengajaran tentang ‘penitisan’ ini. Jika umat beragama mengakui bahwa TUHAN adalah Yang Maha Kuasa, tentu Yang Maha Kuasa atau Yang Maha Pencipta mampu melakukan penitisan. Siapa yang berani melarang TUHAN?[16]
Jelas sekali, sang penulis mendukung dogman “penitisan” dalam agama Hindu. Dimana Tuhan menurut keyakinan mereka ber-inkarnasi dalam tubuh seorang manusia yang bernama “Krishna”. Penulis juga ingin mendukung ajaran Kristen, yang menyatakan bahwa Tuhan ber-inkarnasi dalam tubuh ‘anak tunggal-Nya’: Yesus Kristus. Lagi-lagi sang penulis ingin menampilkan superioritas Yesus Kristus. Inilah yang ditolak habis-habisan oleh agama Islam. Karena jika Allah menitis dalam diri seorang makhluk-Nya, maka tidak tidak menjadi Tuhan yang murni lagi. Dia sudah menyerupai makhluk, dan ini sangat mencederai kesucian Allah s.w.t. Na‘udzu billah min dzalik.
“Laysa kamitslihi syai’un wa huwas sami’ul bashir” (Allah adalah Tuhan yang tidak ada sesuatupun yang seperti-Nya. Dan dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat).[17] “(Allah) adalah Tuhan yang tiada seseorangpun yang setarara dengan-Nya.”[18]
Sang penulis kemudian mengutip Sloka kembali. Sloka 9: 2: Orang-orang yang menyembah dewa-dewa akan dilahirkan di antara dewa-dewa, orang yang menyembah leluhur akan pergi kepada leluhur, orang yang menyembah hantu dan roh halus akan lahir di tengah makhluk seperti itu dan orang yang menyembah AKU akan hidup bersama AKU di dalam KERAJAANKU.
Kemudian sang penulis menyatakan bahwa menyembah TUHAN, akan masuk ke dalam kerajaan TUHAN. Yesus adalah satu-satunya utusan Sorga yang memperkenalkan Injil Kerajaan Sorga [Matius 4: 17; Matius 24: 14, dll]. Inginkah Saudara memasuki Sorga? Sembahlah TUHAN yang tidak terbelenggu, bukan Tuhan-lokal![19]
Lihat, sang penulis kembali menampilkan superioritas Yesus Kristus sebagai “utusan kerajaan sorga”. Tapi dia poles sikap ‘munafik’nya lewat ajaran Sloka, agar tidak diketahui orang maksud jahatnya. Semua nabi-nabi Allah utusan dari Tuhan yang menjelaskan bagaimana kerajaan sorga. Karena setiap nabi pasti membicarakan tentang alam Akhirat: surga neraka. Dan itu tidak didominasi oleh Yesus Kristus.
Selanjutnya, sang penulis kembali mengutip Sloka. Sloka 18: 66: Tinggalkanlah segala jenis darma agamamu dan hanya menyerahkan diri kepadaKU; AKU akan menyelamatkan kamu dari segala reaksi dosa, jangan takut.
Lalu, kata sang penulis: “Segala macam darma, ibadah, kebaktian {bahasa Quraan: syariat}, bukan persiapan yang cukup untuk beroleh keselamatan dari akibat dosa. Yang benar: penyerahan diri kepada TUHAN {bahasa Quraan: Tauchid} dan pengampunan dari dosa, yang juga bersumber dari TUHAN.
Yesus-Anak-Manusia, seperti Ibrahim dan Sloka-sloka ini, tidak menetapkan pelbagai syariat (di kemudian hari, pemimpin agama Kristen menetapkannya). Yesus menjanjikan juga pengampunan (dari TUHAN) dan penyelamatan dari dampak dosa atau neraka.[20]
Kembali lagi, sang penulis menyatakan bahwa Yesus juga menjanjikan pengampunan dan penyelamatan. Karena menurutnya, Yesus adalah satu-satunya “Juruselamat”. Walaupun sudah kita buktikan bahwa Yesus memang Juruselamat, tapi khusus untuk Bani Isra’il, tidak lebih.
Sang penulis juga melakukan manipulasi ajaran Islam. Dia menggunakan bahasa Al-Qur’an untuk kebaktian sebagai “syariat”, yang menurutunya bukan persiapan yang cukup untuk beroleh keselamatan. Karena keselamatan menurutnya adalah dengan cara “penyerahan diri” kepada Tuhan. Lagi-lagi dia mengatakan bahwa dalam bahasa Al-Qur’an, penyerahan itu disebut dengan “Tauchid”. Padahal, dalam Al-Qur’an penyerahan yang tulus itu adalah menjadi seorang Muslim. Orang Muslimlah (pemeluk agama Islam) yang sangat diharapkan oleh Allah menghadap kepada-Nya. Orang yang kembali kepada-Nya tidak membawa agama Islam, alias kafir dan musyrik, tidak akan diterima. Oleh karena itu, Allah s.w.t. mensyaratkan kepada segenap orang beriman untuk bertakwa dan tidak mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (al-Muslimun):
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Dan janganlah kalian mati, melainkan dalam keadaan sebagai Muslim.”[21]
Dalam Kristen pun demikian. Keataan kepada Yesus harus dibuktikan dengan cara melaksanakan ajarannya, bukan hanya penyerahan diri kepada Tuhan. Masalah hariSabat (Sabtu) saja sampai hari ini masih terus menjadi kontroversi yang berkepanjangan. Kristen Katolik dan Protestan tetap menghadiri hari Minggu sebagai hari “peribadatan” mereka. Sementara Kristen Advent pergi ke gereja pada hari “Sabtu”: setiap kepada ajaran Allah yang termaktub dalam Ten Comandements[22] yang diterima oleh Musa a.s. Sebagaimana diketahui, bahwa Yesus tidak akan pernah menghapuskan hukum Taurat, satu noktah pun. Lalu bagaimana orang yang mengaku taat kepada Allah dan Yesus, tapi menyelewengkan ajaran-ajaran-Nya. Kemudian ibadah dan syariat itu tidak cukup untuk beroleh keselamatan, karena yang penting adalah “penyerahan diri kepada Tuhan”. Justru jalan yang diberikan untuk menyerahan diri setiap hamba-Nya adalah lewat syariatnya. Jika tidak, kenapa harus adalah shalat, puasa, dll dalam setiap agama (khususnya Yahudi-Kristen-Islam).
- BELENGGU AGAMAWI
Tujuan sang penulis adalah: “Belenggu itu nampak dari fakta bahwa sebagian umat beragama meng-claim: “Agama kamilah yang benar! Agama kamilah yang menyembah TUHAN, satu-satunya Tuhan (prinsip Monotheisme). Agama kamilah satu-satunya yang diridhai TUHAN.” Mereka cenderung menganggap bahwa Agama lain tidak mengenal TUHAN, Agama sesat![23]
Setiap agama yang ada, wajar saja jika menganggap agamanya paling benar. Itulah “fanatik”. Dan satu agama dapat berkembang dan bertahan dengan kokoh, karena di dalamnya ada “fanatisme” dari para penganutnya. Ini adalah penting. Hindu, Budha, Shintoisme, Konfusianisme, Taoisme, dll, juga menganggap ajaran mereka paling benar dan sahih. Ada yang salah disana? Tidak, sama sekali tidak! Tapi yang perlu adalah dibuktikan dahulu. Truth-claim dalam setiap agama itu alami, natural sekali.
Bagi seorang Muslim, agama Islamlah paling benar. Dan ini diakui sendiri oleh Allah s.w.t. dalam Al-Qur’an. Dan ini sifatnya paten dan permanent. Tidak bisa diubah lagi:
“Hari ini telah Aku sempurnakan agamamu, dan telah telah aku sempurnakan agamamu untukmu. Dan Aku telah ridha “Islam” itu menjad agama bagimu.”[24]Karena siapa saja yang mencari agama selain Islam ini, akan ditolak (tidak diterima). Bukan hanya itu, di Akhirat kelak dia akan merugi. “Barangsiapa yang mencari agama selain “Islam”, maka tidak akan pernah diterima dan di akhirat nanti dia termasuk orang-orang yang merugi.”[25] Dan tidak dapat dirubah, sehingga setiap Muslim mengakui bahwa agama di luar agama mereka juga “benar”. Ini tidak akan pernah terjadi dari seorang Muslim.
Menurut sang penulis: “Sikap umat membelenggu TUHAN di dalam Agama adalah kebathilan!
Seolah-olah TUHAN menganut Agama tertentu. Ini kekeliruan karena belum mengekui bahwa TUHAN tidak perlu agama. Berarti umat sedang memperlakukan TUHAN sebagai manusia, makhluk ciptaan. Berarti memerosotkan martabat TUHAN.”[26]
Pendapat sang penulis yang menyatakan bahwa bahwa sikap membelenggu TUHAN dalam agama adalah “kebatilan” merupakah “khayalan” kosong tak bermakna. Penulis berasumsi bahwa sang penulis terlalu memaksakan kehendak ‘nafsunya’ untuk menghancurkan ajaran seluruh agama yang ada, yang memahami konsep Tuhan lewat agamanya masing-masing. Benar bahwa Tuhan tidak butuh agama. Tapi Tuhan harus dikenal lewat agama. Dalam Islam, Allah s.w.t. diperkenalkan oleh Rasulullah lewat agama: “Islam”. Bahkan, agama pamungkas yang diridhainya adalah “Islam”, bukan Budha, Hindu, Yahudi, Kristen ataupun Shinto. Karena Islamlah agama yang sempurna. Tidak ada yang lebih sempurna dari agama Islam. Dan Islam adalah agama seluruh nabi Allah: sejak zaman Adam hingga Rasulillah s.a.w. Maka merugilah orang-orang yang menolak Islam, apalagi sampai tidak beragama. Prof. Dr. Joe Leigh Simpson[27], bertutur tentang Islam ini: ““Agama dapat menjadi petunjuk yang berhasil untuk pencarian ilmu pengetahuan. Dan agama Islam dapat mencapai sukses dalam hal ini. Tidak ada pertentangan antara ilmu genetika dan agama. Kenyataan di dalam al-Quran yang ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan menjadi valid. AI-Quran yang berasal dari Allah mendukung ilmu pengetahuan.”
Dan sampai hari ini, tidak ada seorang penganut agama manapun yang mengklaim bahwa Allah (Tuhan) menganut satu agama. Inilah khayalan berlebihan dari sang penulis. Hanya dialah yang berilusi serendah ini. Sejatinya, dialah yang mencoba memerosotkan martabat Tuhan, lewat khayalan-khayalannya yang irasional itu.
- BELENGGU KEYAKINAN (“Tidak mungkin manusia menjadi Tuhan”)[28]
Klaimnya ini adalah repetisi (pengulangan) dari pendapat sebelumnya. Sang penulis di sini membela agama Budha, untuk meluluskan dogma Kristen tentang inkarnasi Tuhan dalam tubuh Kristus. Padahal kita tahu, bahwa setiap agama yang mengangkat seorang manusia ke derajat Tuhan adalah “agama khayalan”. Ingin memuliakan seseorang, tapi berlebihan dan menghina Tuhan.
Sang penulis mencatat dengan geram:
“Seringkali kalimat ini dimanfaatkan untuk menyangkali iman umat Buddhis, yang dianggap menyembah Budha. Buddha adalah anak seorang Raja, jadi tadinya adalah manusia biasa, lalu meningkat secara spiritual, dan dipandang sudah memasuki kekekalan tanpa meninggal dunia (mokca). Maka Buddha dianggap layak disembah/diikuti. Kwan Im Pousat, yang dipercaya sudah menjadi Dewi (setara Tuhan), juga disangkali oleh paham ini: Tidak mungkin manusia menjadi Tuhan, menjadi Sesembahan.”[29]
Penulis sendiri bingung melihat gaya berpikirnya yang zig-zag seperti ini. Buddha, atau Sidharta Gautama, adalah seorang manusia: anak seorang Raja. Kemudian mengasingkan diri mencari ketenangan, sampai akhirnya mencapai derajat orang mulia. Lalu siapa yang mengangkatnya menjadi Tuhan?! Penulis booklet inipun terjebak dengan pikirannya sendiri, ketika menyatakan: “….lalu meningkat secara spiritual, dan dipandang sudah memasuki kekekalan tanpa meninggal dunia (mokca).” Pertanyaan adalah: siapa yang punya pandangan seperti itu? Buddha kah? Atau orang-orang Buddha? Kalau Buddha, dia tidak pernah mengklaim sudah mencapai derajat Tuhan. Jika penganutnya, itulah yang penulis maksud dengan “khayalan” alias “ilusi”. Agama yang penuh khayalan akan berakhir seperti itu. Ujung-ujungnya, sang penulis ingin mengatakan: jika Yesus adalah jelmaan dan titisan Tuhan, siapa yang mau melarang? Logika ngawur yang sama bisa saja kita tawarkan di sini: jika Allah tidak mau “menjelma” dan “menitis” dalam diri manusia, SIAPA YANG MAU MELARANG?