PENDAHULUAN
Salah satu buku berbahasa Jawa yang sering dengan tujuan memunculkan ruang berjarak antara Islam dan Jawa adalah kitab “Jangka Sabda Palon”. Umumnya, upaya-upaya yang mengarahkan untuk memicu gap ini lebih banyak disebabkan penafsiran yang kurang memperhatikan pemahaman komprehensif terhadap keseluruhan teks. Kitab jangka tersusun dari rangkaian tembang macapat ini sering disebut secara lengkap sebagai Serat Jangka Jayabaya Sabdo Palon, selanjutnya diingkat sebagai Jangka Sabda Palon. Penamaan ini mungkin disebabkan konten buku ini selain memuat kisah tentang tokoh Sabda Palon, juga berisi tentang mitologi “Prabu Jayabaya”. Serat Jangka Sabdo Palon diyakini merupakan karya R. Ng. Ranggawarsita. Moh. Hari Soewarno, seorang wartawan dan budayawan Jawa, dalam bukunya “Ramalan Jayabaya Versi Sabda Palon”, menjelaskan bahwa dalam jangka tersebut terdapat sandi asma yang menunjukkan bahwa Jangka Sabda Palon merupakan karya R. Ng. Ranggawarsita.[1]
Anggapan yang berkembang saat ini, umumnya, menyatakan bahwa “Jangka Sabda Palon” merupakan sebuah kitab jangka yang berbicara tentang kehancuran Islam di tanah Jawa dan digantikan oleh ajaran “pengganti Islam” setelah 500 tahun keruntuhan Majapahit. Opini ini rupanya telah diamini oleh sejumlah pihak tanpa mencoba bersikap kritis dan mempertanyakannya kembali. Kebanyakan orang yang turut mengiyakan pendapat ini, sering tidak memiliki akses membaca dari sumbernya secara langsung. Hanya ikut arus mengikuti wacana umum yang berkembang secara taken for granted. Hal yang paling dirasakan, akibat kurang totalitasnya pemahaman terhadap substansi Jangka Sabda Palon adalah muncul sejumlah klaim atas penafsirannya. Klaim ini sudah tentu mewakili kepentingan tertentu untuk menjustifikasi bahwa ajaran yang dimaksud sebagai “pengganti Islam” adalah ajaran dari pemilik klaim tersebut. Terkait klaim-klaim yang muncul dari penafsiran Jangka Sabda Palon akan dibahas selanjutnya.
Kesalahpahaman yang telah terjadi ini, tidak jarang masih coba dipertahankan eksistensinya. Beberapa penulis belakangan ini berusaha memancing kembali perdebatan tentang Jangka Sabda Palon. Ruang yang selama ini telah tersekat, sepertinya hendak ditambah sekatnya kembali sehingga kenyamanan dialog yang harusnya terus dibina justru semakin jauh panggang dari api. Bambang Noorsena, misalnya, tokoh Kristen Ortodoks Syiria ini dalam bukunya “Menyongsong Sang Ratu Adil: Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen” merupakan salah satu penulis yang mencoba mengangkat kembali tema “marginalisasi Islam” dengan menggunakan “Jangka Sabda Palon”. Noorsena menggambarkan bahwa Serat Jangka Jayabaya Sabda Palon ini merupakan salah satu gambaran bahwa Penolakan manusia Jawa yang direpresentasikan oleh tokoh Sabda Palon terhadap ajaran Islam karena agama ini dianggap memiliki corak keagamaan yang politis dan doktriner.[2]Selanjutnya, Noorsena membuat pernyataan bahwa Islam di Jawa pun pada akhirnya mengalami asimilasi dengan keyakinan agama terdahulu. Tentu saja, statemen Bambang Noorsena ini juga lahir dari membebek pendapat yang berkembang belaka, bukan didasarkan pada pengkajian secara langsung terhadap materi yang dibahasnya. Lebih jauh, sangat dimungkinkan Bambang Noorsena tidak membaca secara tuntas buku yang digunakan sebagai referensinya, termasuk Serat Jangka Sabda Palon. Perlu diketahui buku Bambang Noorsena ini seringkali menggunakan “Teori Pengaruh” yang tidak terstruktur dengan baik. Kelemahan paling umum yang sering dilakukan oleh penghasung teori pengaruh ialah kecenderungan membuat generalisasi secara terburu-buru, penarikan kesimpulan berdasarkan data yang belum lengkap, memaksakan data yang sebenarnya tidak relevan, dan pengamatannya hanya bersifat parsial.
KLAIM DAN KESALAHPAHAMAN
Isu tentang agama “pengganti Islam” di Jawa sempat menguat dalam Seminar Kebathinan Indonesia I pada 14-15 Nopember 1959 di Jakarta. Ketua Umum badan Kongres Kebathinan Indonesia (BKKI), Mr. Wongsonegoro, dalam pendahuluan seminar melontarkan isu tentang visi nubuatan sumpah Sabda Palon terhadap Prabu Brawijaya. Di antara isi sumpah itu, bahwa 500 tahun kemudian akan berkembang biak gerakan kebatinan di Tanah Jawa.[3] Dapat dikatakan bahwa kaum kebatinan yang ikut terlibat dalam kongres tersebut telah memanfaatkan Serat Jangka Sabdo Palon dengan membuat klaim bahwa ajaran “pengganti Islam” yang dimaksud dalam Jangka Sabda Palon adalah “Kebatinan”. Hal ini merupakan klaim pertama terkait penafsiran Jangka Sabda Palon.
Sedangkan klaim kedua terdapat dalam Serat Darmagandul yang baru ditulis pada 16 Desember 1900 M menyatakan bahwa berakhirnya Agama Islam di tanah Jawa akan digantikan oleh ajaran Kristen. Salah satu bagian dari isi Serat Darmagandul juga menceritakan tentang adanya Jangka Sabda Palon. Dalam Serat Darmagandul ini digambarkan bahwa Prabu Brawijaya yang telah di-Islamkan oleh Sunan Kalijaga, kemudian meminta kepada Sabda Palon, abdinya, agar mengikuti agama barunya. Sabda Palon menolak ajakan Prabu Brawijaya, tuannya. Bahkan diceritakan Sabda Palon lantas mengeluarkan kutukan bahwa akan banyak orang Jawa yang meninggalkan Islam dan berganti dengan agama kawruh.[4]
“Wong Djawa ganti agama, akeh tinggal agama Islam bendjing, aganti agama kawruh …”
(Orang Jawa ganti agama, akeh tinggal agama Islam besok, berganti agama kawruh…)
Ada pun yang dimaksud dengan agama kawruh dalam Serat Darmagandul tersebut, tidak lain adalah Kristen. Pendapat ini sejalan dengan hasil tulisan dua orang akademisi dan orientalis Belanda yaitu G. W. J. Drewes[5] dan Philip van Akkeren.[6]Hal ini dapat dilihat dari isi Serat Darmagandul, salah satunya adalah sebagai berikut:
Lamun seneng bukti, woh wit kadjeng kawruh, Anyebuta asmane Djeng Nabi, Isa kang kinaot, mituruta Gusti agamane,[7]
(Jika suka dengan bukti, buah pohon kayu pengetahuan, (Maka) sebutlah nama beliau Nabi Isa yang termuat, turutilah agamanya, )
Perlu diketahui bahwa cerita Sabda Palon dalam Serat Darmagandul tersebut telah mengambil ide cerita sepenuhnya dari Serat Babad Kadhiri yang ditulis pada 1832 M. Namun demikian terkait dengan “kutukan” bernuansa ramalan dari Sabda Palon bahwa agama Kawruh akan menggantikan ajaran Islam merupakan inisiatif penulis Darmagandul sendiri. Jadi hal ini murni pemikiran pengarang Serat Darmagandul. Harus dipahami bahwa keseluruhan isi Serat Darmagandul memang lebih tepat dikatakan sebagai hasil dari “plagiasi” dari Serat Babad Kadhiri, kecuali pada tema-tema tentang Kristen dan pelecehan terhadap Islam. Serat Darmagandul ini merupakan karya seorang Kristen yang sedang menjalankan proyek orientalisme pada masa penjajahan Belanda.[8]
Dengan demikian telah kita dapatkan dua klaim penafsiran atas substansi dari Jangka Sabda Palon. Di satu pihak, kalangan kebatinan menganggap bahwa Jangka Sabda Palon merupakan visi ke depan tentang eksistensi ajaran kebatinan. Di lain pihak jangka tersebut ditafsirkan sebagai nubuatan “kedatangan” Kristen di Jawa. Kedua penafsiran ini jelas tidak lepas dari motif dan kepentingan masing-masing.
Selain kedua penafsiran di atas, jika Jangka Sabda Palon dimaknai secara tekstual maka akan ditemukan adanya cita-cita menghidupkan Agama Budha kembali. Hal ini dapat dilihat dalam jangka yang bercerita tentang dialog antara Sabda Palon dan Prabu Brawijaya sebagai berikut:
“Klawan Paduka sang Nata, wangsul maring sunya ruri, mung kula matur petungna, ing benjang sak pungkur mami, yen wus prapta kang wanci, jangkep gangsal atus tahun, wit ing dinten punika, kula gantos kang agami, gama Buda kula sebar tanah Jawa”.[9]
(Adapun paduka Sang raja, kembali ke alam baka, hanya saja saya meminta anda memperhitungkan bahwa sepeninggal saya, jika sudah tiba waktunya, genap lima ratus tahun, mulai hari itu, akan saya ganti agama (Islam), agama Budha akan saya sebar di tanah Jawa).
Penafsiran bahwa Jangka Sabda Palon merupakan justifikasi bagi munculnya kembali ajaran Budha maupun kelahiran kebatinan, umumnya lebih banyak dianut oleh sejumlah kalangan di Jawa. Namun dimaksud oleh pengarang tentu adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Maksudnya, dalam hal ini tidak secara harfiah sebagaimana istilah yang digunakan “agama Budha”. Sebab tujuan akhir sang pengarang Serat Jangka Sabda Palon ternyata adalah sebuah proses untuk “menerima” Islam.
EKSISTENSI SABDA PALON
Jika kita telusur lebih jauh, cerita nubuatan semacam sumpah Sabda Palon tidak lebih sekedar sebagai karya sastra saja. Karya ini menggunakan cerita rakyat yang telah banyak beredar di masyarakat. Dalam tradisi oral yang berkembang di sekitar Trowulan, sebuah wilayah yang diyakini sebagai salah satu situs Majapahit, tokoh Sabda Palon dan Naya Genggong merupakan tokoh yang diyakini hidup pada masa Majapahit dan memiliki pekerjaan sebagai abdi dalem Keraton. Cerita-cerita babad kemudian memanfaatkan tradisi lesan yang berkembang ini, dengan meminjam nama Sabda Palon dan Naya Genggong, kemudian memberi peran baru kepada kedua tokoh ini, dan pada giliran selanjutnya diangkat dari derajadnya yang tidak lebih dari abdi dalem biasa menjadi “danyang” Tanah Jawa. Dengan demikian tradisi oral tentang cerita Sabda Palon dan Noyo Genggong telah memiliki nilai baru dan menjadi mitologi. Proses demikian adalah hal biasa terjadi mengingat adanya sejumlah kepentingan yang bermain.
Kenyataannya dalam tradisi lesan yang berkembang di Trowulan, tokoh Sabda Palon dan Noyo Genggong bukan merupakan sosok yang anti Islam. Sabda Palon dan Noyo Genggong yang hidup dalam tradisi oral masyarakat adalah dua orang abdi Majapahit yang telah memeluk agama Islam. Hal ini sudah tentu berbeda dengan sejumlah kisah babad yang menempatkan keduanya sebagai sosok mitologis. Berdasarkan keterangan resmi Pusat Informasi Majapahit (Museum Trowulan), kedua tokoh tersebut merupakan dua di antara 7 (tujuh) dari nama orang yang dimakamkan di situs makam Troloyo yang terletak di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan. Perlu diketahui bahwa ketujuh makam di situs Troloyo tersebut merupakan makam abdi dalem Majapahit yang telah memeluk agama Islam.[10]
Dengan keterangan tersebut, tokoh Sabda Palon dan Noyo Genggong yang hidup dalam cerita rakyat justru merupakan penganut ajaran Islam. Sehingga setelah wafatnya disemayamkan dalam pemakaman Islam pula. Meskipun demikian Cerita tentang keberadaan nama Sabda Palon dan Noyo Genggong di situs Troloyo ini hanya didasarkan kepada tradisi lesan yang berkembang pada masyarakat di sekitar situs itu saja. Kebenarannya sudah tentu sukar diverifikasi. Namun tidak diragukan lagi bahwa cerita-cerita babad yang saat ini beredar, umumnya banyak yang menggali ide ceritanya dari tradisi lesan yang berkembang di suatu masyarakat tertentu. Kemudian tradisi lesan yang ada, diberi muatan nilai baru dan dimodifikasi sesuai pesan yang hendak disampaikan sehingga muncullah mitos tersebut.
KRITIK ATAS PEMAHAMAN
Sebagai sebuah jangka yang dinyatakan memiliki visi ramalan, Jangka Sabda Palon bukannya tanpa kritik. Perlu dimengerti bahwa memahami Jangka Sabda Palon sebagai sebuah “ramalan” sebenarnya lebih banyak ditentukan oleh sebuah pola cara pandang. Bagi seseorang yang menyukai klenik, dengan menghubung-hubungkan Jangka Jayabaya dengan sebuah kepentingan tertentu maka bisa saja didapatkan kesimpulan bahwa jangka ini telah m”meramalkan sesuatu”.
Namun dengan cara demikian jelas banyak kelemahan yang akan ditemui. Sebut saja misalnya Jangka Jayabaya menyebutkan bahwa pada masa berlakunya “ramalan” maka akan terjai sebuah jaman yang paling menyengsarakan penduduk Tanah Jawa. Masa yang dimaksud ditandai dengan sengkalan sebagai “Lawon Sapta Ngesthi Aji”. Jika diterjemahkan ke dalam bentuk angka maka sengkalan tersebut akan menunjukkan tahun 1877 tahun Jawa. Hal ini ditunjukkan dalam Jangka Sabda Palon sebagai berikut:
Sanget-sangeting sangsara, kang tuwuh ing tanah Jawi, sinengkalan tahunira,Lawon sapta Ngesthi Aji, upami nyabrang kali, prapteng tengah-tengahipun, kaline banjir bandhang, jerone nglelebne jalmi, kathah manungsa prapteng pralaya
(Waktu paling sengsara yang terjadi di tanah Jawa terjadi pada sengkalan tahun Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama menyeberang sungai setelah sampai di tengah-tengah, sungainya banjir besar, kedalamannya menenggelamkan manusia, banyak manusia yang tewas)
Pemaknaan atas isi Jangka Sabda Palon tersebut sudah tentu bisa bermacam-macam tergantung cara pandang yang dimiliki penafsirnya. Tradisi Jawa sendiri tidak memiliki metodologi yang jelas dalam berinteraksi dengan bentuk-bentuk teks semacam ini. Salah satu cara pandang yang bisa dikemukakan adalah dengan melihat peristiwa apa saja yang terjadi pada tahun Jawa tersebut. Angka tahun 1877 tahun Jawa jika dikonversi ke dalam penanggalan masehi maka akan didapatkan angka tahun 1945 atau 1946 M.[11] Jika angka tahun tersebut dihubungkan dengan “kesengsaraan yang terjadi di tanah Jawa” maka akan didapatkan hasil yang membingungkan. Sebab diketahui bersama bahwa pada tahun 1945-1946 ini bangsa Indonesia termasuk penduduk tanah Jawa sedang berada dalam suasana kegembiraan karena “ Atas berkat rahmat Allah yang maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur … maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”[12] Tentu saja hal ini bisa ditafsirkan dengan cara yang lain dimana bentuk-bentuk penafsiran tersebut tidak dapat dibatasi dengan satu cara pandang saja. Dengan demikian klaim-klaim terkait penafsirannya bisa saja tidak sepi dari motif dan kepentingan.
Motif dan kepentingan tertentu juga bisa berlaku dalam kasus penafsiran Jangka Sabda Palon sebagai “anti Islam” dan “menubuatkan” lenyapnya Islam di tanah Jawa. Jika diteliti secara mendalam, istilah-istilah seperti agama Buda atau Budi dalam jangka Sabda Palon ternyata tidak menunjukkan adanya eksistensi ajaran Agama Budha sama sekali. Jadi yang dimaksud dengan Agama Buda atau Budi ternyata memiliki makna istilahiy yang lain dari makna aslinya. Hal ini ditunjukkan dalam penghujung akhir Serat Jangka Sabdo Palon sebagai berikut:
Pepesthene nusa tekan janji, yen wus jangkep limang atus warsa, kepetung jaman Islame, musna bali marang ingsun, gami Budi madeg sawiji, …
(Takdir nusa sampai kepada janji, jka sudah genap lima ratus tahun, terhitung jaman Islam, musnah kembali kepadaku, Agama Budi berdiri menjadi satu …)
Justru Jangka Sabda Palon dari segi isinya menunjukan bahwa ada keinginan mendalam dari tokoh “Sabda Palon” untuk menganut Islam pada masa yang akan datang, yaitu pasca lima ratus tahun ramalannya. Dalam pandangan Sabda Palon ajaran Islam yang dibawa oleh para Wali Songo, termasuk Sunan Kalijaga, belum merupakan ajaran Islam yang sempurna. Sabda Palon berkehendak menganut ajaran agama ini jika telah diajarkan secara sempurna, bebas dari sinkretisme. Hal ini ditunjukkan sebagai berikut:
Thathit kliweran ing nusa Jawa, pratandhane wong nuduhna, sampurnakna agamane, yeku agama rasul, anyebarna Islam Sejati, duk jaman Brawijaya, ingsun datan purun, angrasuk agama Islam, marga ingsun uninga agama niki, nlisir saking kang nyata.[13]
Moh. Hari Soewarno, seorang wartawan dan budayawan Jawa, menafsirkan kalimat di atas bahwa pada masa kehidupan Prabu Brawijaya, raja Majapahit, tokoh Sabda Palon belum bersedia menganut Agama Islam dan lebih memilih menganut Agama Budha.[14] Alasannya, Sabda Palon masih menganggap bahwa penganut Islam saat itu masih menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Namun pada saatnya kelak, jika Agama Islam telah diajarkan secara murni, maka Sabda Palon akan bersedia memeluk Agama Islam.[15]
Dalam anggapan Sabda Palon, Islam belum dianggap mencapai kesejatian atau kemurnian jika hanya diamalkan menjadi ibadah ritual belaka tanpa memperhatikan kebersihan jiwa. Juga tidak menjadi murni jika hanya diucapkan dibibir namun tidak menjadi praktek nyata.[16] Bahkan pada bagian akhir Jangka ini tokoh Sabda Palon mengancam “manusia Jawa” jika mereka tidak mengikuti dirinya memeluk agama rasul yaitu islam yang sejati. Maka akan berat tanggungjawabnya kelak. Hal ini ditujukkan sebagai berikut:
Sampurnakna agamane, yeku agama Rasul, Islam kang sejati … Ngelingana he pra umat sami, yen sira tan ngetut kersaning wang, yekti abot panandhange, ingsun pikukuhipun, nuswantara ing saindenging, …[17]
Dengan demikian anggapan bahwa Jangka Sabda Palon merupakan karya sastra yang memperkuat mitos bahwa Islam akan lenyap dari bumi Jawa terbukti tidak benar. Jangka Sabda Palon justru berbicara sebaliknya bahwa Islam akan sampai kepada pemurnian ajarannya dimana Sabda Palon sendiri berkehendak memeluk agama tersebut. Hal demikian memang sulit dipahami, sebab banyak bahasa simbol yang digunakan dalam kitab tersebut.
Kesalahan penafsiran terhadap jangka Sabda Palon, sebagai “nubuatan” Kristen, Budha, maupun kebatinan lebih banyak didasarkan kepada kepentingan tertentu. Juga disebabkan kurang teliti menganalisa Jangka tersebut.
PENUTUP
Lepas dari semua pembahasan di atas, Serat Jangka Jayabaya Sabda Palon hanya merupakan sebuah karya sastra belaka. Kisah-kisah yang ada di dalamnya juga tidak bisa digunakan sebagai sumber bagi kajian sejarah. Beberapa pembahasan yang dihadirkan di dalamnya banyak disemangati oleh nilai-nilai tasawuf. Meskipun demikian juga tidak dalam segala hal harus diterima sebagai karya yang Islami. Juga tidak bisa diremehkan sebagai buku yang ala kadarnya. Hanya saja mungkin, dengan menjernihkan kesalahpahaman ini maka akan tercipta sebuah dinamisasi dialogis yang lebih baik bagi Islam di Jawa.
Serat Jangka Jayabaya Sabda Palon bukan merupakan karya yang harus dikategorikan sebagai karya sastra yang mengambil sikap menetang hukum syariat (murang syarak). Melainkan karya yang mampu menjembatani “kebuntuan” dan kebekuan relasi dialogis yang telah mengungkung selama sekian waktu akibat kurang mendalamnya perhatian di antara kita. Perlu diketahui naskah-naskah berbahasa Jawa yang memperlihatkan sikap murang syarak, secara nominal sebenarnya hanya minoritas saja, sekedar “suara pinggiran”. Hal itupun kadang tidak lepas dari pengaruh “negatif” masa Penjajahan Belanda, tercipta dari kaum yang telah terbeli tekadnya. Hanya saja jumlah yang hanya sedikit dibandingkan karya-karya yang memberikan apresiasi positif terhadap Islam ini, seringkali diangkat secara besar-besaran, sehingga kesannya apresiasi yang terakhir ini mewakili wajah Jawa. Oleh karena itu kewaspadaan hendaknya menjadi bagian dari kesadaran umat seluruhnya di Jawa. [Susiyanto – Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)).
FOOTNOTE
[1] Moh. Hari Soewarno. Ramalan Jayabaya Versi Sabda Palon. (PT. Yudha Gama Corp, Jakarta, 1982). Hal. 35
[2] Lihat Bambang Noorsena. Menyongsong Sang Ratu Adil: Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen. Cetakan II. (Penerbit Andi, Yogyakarta, 2007). Hal. 32, 43
[3] Lihat Kata Pendahuluan dalam Hasil Seminar Kebathinan Indonesia Ke-IDjakarta. (Badan Kongres Kebathinan Indonesia, Jakarta, 1959). Hal. 8
[4] Lihat Anoname. Darmagandul. Cetakan IV. (Tan Khoen Swie, Kediri, 1955). Hal. 63-93
[5] Lihat G. W. J. Drewes. The Struggle Between Javanism and Islam as Illustrated by the Serat Dermagandul. Dalam Bijdragen Tot De Taal,- Land- En Volkenkunde Edisi. 122 No. 3. (S. Gravenhage-Martinus Nijhoff, Leiden, 1966). Hal. 327
[6] Melihat sedemikian kentalnya ajaran kekristenan dalam Serat Darmagandul, sampai-sampai Philip van Akkeren berspekulasi bahwa pengarang serat tersebut adalah Tunggul Wulung, seorang Kristen dari kalangan suku Jawa. Meskipun demikian tidak dapat ditampik bahwa Serat Darmagandul memang hasil karya penganut ajaran Kristen. Lihat Dr. Philip van Akkeren. Serat Darmagandul, Karya Tunggul Wulung dan Pekabaran Injil di Jawa Timur. Dalam wacana akhir buku karya Bambang Noorsena. Menyongsong ... Opcit. Hal. 332
[7] Lihat anoname. Darmagandul. Cetakan IV. (Tan Khoen …). Hal. 4
[8] Lihat Susiyanto. Darmagandul dan Orientalisme. Dalam Jurnal ISLAMIA (Harian REPUBLIKA Edisi Kamis 13 Agustus 2009). Hal. 25
[9] Ramalan Jaya Baya versi Sabda Palon dalam Moh. Hari Soewarno. Ramalan Jayabaya Versi Sabda Palon. (PT. Yudha Gama Corp, Jakarta, 1982). Hal. 29-30
[10] Lihat Brosur Pusat Informasi Majapahit (Museum Trowulan). Drs. I. Made Kusumajaya, M.Si. et. all. Visit Majapahit Kingdom Sites. (Departemen Kebudayaan dan Pariwisata – Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur, Mojokerto). Tentang keberadaan makam Islam di Majapahit tersebut lihat Drs. I. Made Kusumajaya, M. Si, et.all. Mengenal Kepurbakalaan Majapahit di Daerah Trowulan. (Tidak diterbitkan). Juga Denys Lombard. Nusa Jawa : Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu. Bagian II : Jaringan Asia. Cetakan III. (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005). Hal. 34
[11] Terkait cara penghitungan dan konversi tahun baik Hijriyah, Masehi, maupun Tahun Jawa lihat Noname. Almanak 130 Tahun 1870 – 2000. Cetakan II. (CV. Citra Jaya, Surabaya, 1984)
[12] Pembukaan Undang-undang Dasar 1945
[13] Moh. Hari Soewarno. Ramalan Jayabaya versi …Opcit. Hal. 39
[14] Moh. Hari Soewarno. Ramalan Jayabaya versi … Ibid. Hal. 46
[15] Moh. Hari Soewarno. Ramalan Jayabaya versi…. Ibid. Hal. 70
[16] Moh. Hari Soewarno. Ramalan Jayabaya versi … Ibid. Hal. 70
[17] Moh. Hari Soewarno. Ramalan Jayabaya versi … Ibid. Hal. 39