Al Quran memiliki fungsi sebagai mushadiq terhadap kitab-kitab yang ada sebelumnya. Kedudukannya adalah sebagai korektor sekaligus pelanjut bagi kitab-kitab sebelumnya yang telah habis masa berlakunya dan diubah-ubah oleh tangan –tangan manusia. Al Quran datang guna membersihkan nama para Nabi yang tercemari oleh semangat “penipuan” dan rasa fanatisme suatu bangsa. Boleh dikatakan sebagian besar isi dari Al Quran adalah bersifat kritik dan peringatan terhadap sifat-sifat suatu bangsa yang jahat di mata Allah.
Berbagai upaya menyudutkan Islam dengan menggunakan sejumlah logika menyesatkan seringkali terjadi. Para ulama dan tokoh muslim telah banyak yang memberikan jawaban terhadap permasalahan tersebut. Namun selalu saja tuduhan tersebut diulang-ulang seolah-olah hal itu adalah sebuah kebenaran yang nyata. Bahkan mengesankan bahwa kajian mereka terhadap Islam tidak pernah berkembang dan ‘perbendaharaan’ tuduhan mereka memang hanya ‘itu-itu saja’. Penyakit yang timbul akibat melemahnya kreatifitas dan inisiatif atau bahkan pembelaan diri yang lahir dari “keputus asaan”.
Sebut saja misalnya tokoh misterius yang menggunakan nama pena John Gilchrist. Tokoh ini berusaha mengulang-ulang tuduhan orentalis pada era awal dalam memandang Islam. Pemikiran dari “John Gilchrist” sendiri agaknya tidak mewakili pendapat satu orang, namun representasi dari sebuah kelompok yang berusaha merumuskan “serangan yang mengancam” terhadap ajaran Islam. Gilchrist selalu diposisikan sebagai aktor pembela Kristen yang berusaha menjawab semua pertanyaan yang ditujukan terhadap kekristenan. Akan tetapi boleh dikatakan bahwa hampir semua jawaban tersebut hanya sekedar bersifat apologetik dan bahkan sophist. Sebut saja misalnya ketika menghadapi pertanyaan Ahmed Deedat tentang “dilema perzinaan Daud”, Gilchrist justru melarikan diri dari permasalahan dan balik menuduh Al Quran sebagai memiliki dilema yang sama.
Tanggapan penulis ini bukan dimaksudkan bahwa tulisan-tulisan John Gilchrist tersebut memiliki kualitas yang bagus. Karyanya telah diwarnai dengan sejumlah kekacauan ilmiah seperti pemotongan ayat, pemalsuan matan hadits, dan sejumlah kecurangan lainnya. Boleh dikatakan tulisan ini hanya mengkungkapkan salah satu modus ‘penyelewengan’ penafsiran Al Quran bagi kepentingan missi penginjilan. Modus ini merupakan salah satu metode yang selalu diulang-ulang dari waktu-ke waktu sehingga penting bagi setiap muslim untuk memahaminya. Jadi tulisan ini lebih merupakan jawaban atas syubhuhat yang dikeluarkannya, mengingat karya tersebut telah disebarkan secara masif di kalangan kaum muslimin yang masih awam. Penulis sendiri mendapatkan buku ini dari seorang petani yang pergi ke kota untuk menjual hasil buminya. Secara kebetulan dia berpapasan dengan serombongan anak-anak muda yang membagikan buku tersebut kepada semua orang yang ditemui.
Perlu dipahami sebelumnya bahwa pengertian, kedudukan, dan penghargaan terhadap pribadi “Nabi” dalam Islam dan Kristen adalah berbeda. Islam menempatkan nabi sebagai sosok teladan yang terbimbing dan harus mendapatkan penghormatan yang selayaknya sebagai utusan Allah. Sedangkan dalam kekristenan kata “Nabi” digunakan untuk menyebut abdi (penyembah) Dewa Baal, nabi orang Israel, lembaga yang dibuat oleh para dukun dan tukang sihir, pegawai Dawud, dan lain sebagainya.[1]
DAWUD DIPERTANYAKAN
Nabi Dawud adalah seorang rasul yang dimuliakan dalam Islam. Termasuk diantara 25 Nabi dan Rasul yang diberitakan dalam Al Quran. Kedudukannya sebagai nabi dan rasul mendapatkan penghormatan yang selayaknya dari umat Islam.
Ada pun Surat Shad, 38 : 21-25 yng dipermasalahkan oleh John Gilcrist adalah sebagai berikut :
21. Dan Adakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara ketika mereka memanjat pagar?
22. Ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu ia terkejut Karena kedatangan) mereka. mereka berkata: “Janganlah kamu merasa takut; (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain; Maka berilah Keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus.
23. Sesungguhnya saudaraku Ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan Aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: “Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan Aku dalam perdebatan”.
24. Daud berkata: “Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini”. dan Daud mengetahui bahwa kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.
25. Maka kami ampuni baginya kesalahannya itu. dan Sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi kami dan tempat kembali yang baik.
KISAH “PERZINAAN” DAWUD
Berawal dari Ahmed Deedat yang berupaya mempersoalkan sejumlah perilaku seksual yang tidak mendidik dan diungkapkan secara vulgar dalam Bible beserta konsekuensi moralitasnya.[2] Upaya yang dilakukan oleh Ahmed Deedat tersebut nyatanya telah menimbulkan sejumlah reaksi di kalangan Kristen. Umumnya sikap dunia Kristen terhadap Ahmed Deedat adalah beragam mulai dari geram hingga segan. Sejumlah pembelaan pun mulai dari apalogetik hingga sophist bermunculan, tidak terkecuali di dalamnya berwujud dukungan. Dalam kondisi demikian, muncul sosok misterius bernama John Gilchrist, yang tidak pernah diketahui identitas aslinya, ikut tampil dalam memberikan pembelaan. Namun cara pembelaannya bukannya dilakukan secara wajar, ksatria, dan apa adanya. Justru Gilchrist bersikap membela diri dengan menyalahkan pihak lain. Hal ini dapat digali dalam buku Gilchrist berjudul ”The Textual History of the Quran and The Bible” yang berusaha menjawab berbagai pertanyaan Ahmed Deedat dalam tulisannya yang berjudul “Is the Bible God’s Word ?”.
John Gilchrist justru menuduh Ahmed Deedat terlalu membesar-besarkan masalah. Bible, menurut Gilchrist, hanya melukiskan keadaan manusia secara “apa adanya”. Penggambaran manusia dari terbaik sampai yang terburuk secara detail, dalam pandangan Gilchrist justru menunjukkan kesempurnaan Tuhan dalam kemampuan-Nya mengungkapkan dosa-dosa manusia.[3] Buku Gilcrist tersebut memang diusahakan untuk merumuskan jawaban dari sejumlah pernyataan yang dilontarkan oleh Ahmed Deedat. Akan tetapi jawaban-jawaban tersebut boleh dikatakan tidak ‘mampu’ mengcover semua permasalahan. Bahkan semua jawaban yang ada pun tidak lebih sekedar jawaban dengan “logika buatan”.
Nampak bahwa Gilchrist hanya berfikir sebatas ”pembelaan diri” yang mampu dilakukannya. Upaya defensif yang tidak mempertimbangkan kekhawatiran akan dampak negatif penggambaran seksualitas Bible bagi pembacanya. Padahal fakta-fakta seksual dalam kitab tersebut teramat jelas dan vulgar, meski sebagian bersifat metafor. Sehingga sangat dikhawatirkan pengaruhnya bagi nilai peradaban dan moralitas, terutama jika dibaca oleh anak-anak.[4] Hal inilah mungkin yang mendasari George Bernard Shaw untuk berpendapat bahwa Bible adalah ”Buku paling berbahaya di dunia. Jagalah agar tetap tertutup rapat dan terkunci. Jauhkan Bible dari jangkauan anak-anak”. Senada dengan Shaw, jurnal The Plain Truth, sebuah Majalah Kristen, edisi Oktober 1977 menyatakan ”Membacakan cerita dari Bible kepada anak-anak bisa membuka kesempatan untuk mendiskusikan moral seks. Suatu kitab Bible yang belum dibersihkan pasti mendapat rating X dari badan sensor’.[5] Pernyataan satir yang secara jelas, tegas, dan tepat menggambarkan kondisi sebuah kitab suci dari penganutnya sendiri.
Pada bagian lain, Gilchrist juga menanggapi ayat II Samuel 11 yang menggambarkan bahwa Daud telah berzina dengan perempuan bersuami bernama Batsyeba dan mengatur pembunuhan suaminya yaitu Uria. Gilchrist lantas membuat pararelisasi bahwa substansi II Samuel tersebut sejalan dengan Al Quran Surat Shaad ayat 21 sampai 25. Ayat yang dimaksud berkisah tentang dua orang yang meminta keadilan kepada Dawud; salah seorang yang memiliki 99 kambing betina menginginkan satu-satunya kambing betina milik pihak lain menjadi miliknya. Dawud memutuskan bahwa pemilik 99 kambing sebagai pihak yang salah karena menginginkan sesuatu yang bukan haknya. Daud kemudian tahu bahwa Allah mengujinya melalui peristiwa tersebut, Daud pun bersujud dan bertaubat sehingga Allah kemudian mengampuninya.[6]
Gilchrist mempersoalkan mengapa Allah harus menguji Daud untuk membuatnya bertaubat dan diampuni. Menurutnya, taubat dan ampunan bagi daud menandakan bahwa Daud telah berdosa. Dosa Daud tersebut timbul karena Daud telah berzina dengan Batsyeba. Hanya saja, menurut Gilchrist, Al-Quran tidak menceritakan kisah tersebut meski mengakuinya secara tidak langsung.[7]
Ungkapan Gilchrist tersebut jelas mengada-ada. Prof. DR. Hamka menjelaskan bahwa penyebab taubat yang dilakukan oleh Daud dan ampunan Allah terhadap beliau telah secara jelas terdapat dalam Al Quran itu sendiri. Dalam ayat 21 Surah Shaad tersebut digambarkan bahwa ada dua orang yang berperkara memanjat pagar mihrab untuk menemui Dawud. Menurut Prof. DR. Hamka, kedatangan kedua orang yang berperkara secara tidak sewajarnya yaitu tanpa memberikan berita sebelumnya dan tidak melalui pintu biasanya tersebut, telah membuat Nabi Dawud berprasangka bahwa keduanya memiliki niatan jahat. Lantas setelah Nabi Dawud memahami bahwa peristiwa tersebut merupakan ujian maka bersujudlah ia atas lepasnya ujian dalam mengadili kedua pihak berperkara dan bertaubat atas purbasangka yang dimilikinya sebelumnya.[8] Bahkan Tengku Muh. Hasbi Ash Shiddieqy secara tegas menolak riwayat-riwayat israiliyat yang secara substansial merendahkan kedudukan Nabi termasuk kisah perzinaan Dawud sebagaimana termaktub dalam Perjanjian Lama tersebut.[9] Umumnya sejumlah penafsiran terkait ayat tersebut, juga memberikan jawaban bahwa penyebab Dawud bersujud dan bertaubat telah ada jawabannya dalam Al Quran itu sendiri, bukannya berada dalam Perjanjian Lama sebagaimana anggapan John Gilchrist.
Sikap para penulis Kristen terhadap pornografi dalam Perjanjian lama cukup beragam. Denis Green, pendeta dan dosen sebuah seminari di Malang, misalnya mengungkapkan bahwa ayat-ayat ”panas” dalam Kidung Agung merupakan gambaran tentang cinta kasih manusia antara lelaki dan perempuan. Tubuh manusia yang digambarkan secara erotis dianggapnya sebagai karya terbaik Tuhan agar manusia dapat menikmatinya dalam pernikahan.[10] Dr. C. Groenen menyikapi permasalahan ‘ayat-ayat vulgar’ tersebut secara dingin pula. Dikatakan bahwa Daud adalah seorang yang saleh namun lemah, kurang tegas, dan dapat dipermainkan. Daud adalah raja yang berbudi luhur dan berkuasa akan tetapi bukannya tanpa noda. Pengungkapan perzinaan secara vulgar tersebut tidak lebih dari sekedar upaya “Tuhan” untuk memberikan pelajaran kepada manusia. Hikmahnya, kesalahan Daud tersebut harus ditebus dengan konflik berdarah-darah dari keturunan Daud itu sendiri. “Oleh karena itu pedang tidak akan menyingkir dari keturunanmu sampai selamanya oleh karena engkau telah menghina Aku” (2 Samuel 12: 9-10).[11] Salah satu wujud ajaran bahwa bukan hanya dosa yang dapat diwariskan namun juga meliputi hukuman dan kutukan.
Akademisi seperti Dr. J. Blommendaal bahkan menerima kisah dalam II Samuel 11 tentang perzinahan antara Dawud dan Batsyeba serta konspirasi Daud untuk membunuh Uria di atas dengan mengesankan sebuah “keterpaksaan”. Dikatakan bahwa “Ada hubungan erat antara cerita-cerita ini dengan fasal-fasal sebelumnya sebab Mefibosyeth, Yoab, Abyatar, dan Yonatan juga disebut-sebut di dalam fasal-fasal sebelum II Sam 11, sehingga terpaksa kita mengakui kesatuan sejarah ini dengan cerita-cerita sebelumnya”.[12] Lain halnya dengan buku A Dictionary of the Bible yang menyoroti bahwa Daud memiliki kejanggalan perilakunya yang secara diametral bersifat kontradiktif, di satu sisi merupakan icon standar moral yang tinggi dan pada sisi yang lain merupakan sosok “pendosa besar”. Kehidupan Daud ini diungkapkan dengan cara sebagai berikut : “The great sins of his life, his adultery with Batsheba and murder of Uriah, are perhaps but the common crimes of an oriental despot; but so far as we can judge, they were not common to Israel, and David as well as his subjects knew of a higher moral standard.”[13]
Dengan demikian telah jelas bahwa upaya paralelisasi cerita Bible dan kisah Al-Qur’an tidak lebih sebagai usaha defensif yang menyedihkan. Bahkan lebih menampakkan sikap putus asa atas substansi kitab suci miliknya dengan menuduhkan kitab suci agama lain memiliki ”derajad pornografi” juga.
LOGIKA BAGI DERAJAD ALQURAN DAN BIBLE
Penalaran yang digunakan oleh John Gilchrist dalam “membedah” Al Quran, didasarkan pada pemikiran bahwa Bible adalah sudah benar dari awal. Sehingga layak menjadi ukuran bagi sebuah persoalan yang datang kemudian. Logika yang digunakan adalah kitab yang datang terlebih dahulu menjadi penguji bagi yang datang kemudian. Hal ini sama dengan logika yang digunakan oleh Robert Morey bahwa The Old Tests The New yaitu otoritas yang terdahulu digunakan untuk mengukur otoritas yang lebih baru.[14] Melalui Penalaran ini, baik Gilchrist maupun Morey seolah menempatkan dirinya dalam posisi yang mirip dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia yang menggunakan UUD 1945 sebagai sumber dan penguji bagi peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Dari kenampakannya logika ini seolah-olah memang kuat. Namun jika ditinjau secara mendalam, pada hakikatnya, logika tersebut sebenarnya tidak berdasar, terutama dalam kasus antara Al Quran dan Bible. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, jika Undang-undang yang telah diuji ternyata tidak bertentangan dengan UUD 1945, maka UU tersebut akan digunakan sebagai bahan acuan dan memiliki konsekuensi hukum bagi setiap warga negara. Sedangkan dalam kasus pengujian dengan Bible, hal ini tidak diberlakukan. Sejak awal, pengujinya tidak berinisiatif menggunakan Al Quran sebagai sumber kebenaran sekalipun telah terbukti. Bahkan seandainya pun terdapat kebenaran dalam Al Quran maka akan dimunculkan sejumlah dalih untuk menolak kebenaran itu dengan argumen – argumen semacam kebetulan belaka, hasil pinjaman dari konsep lain, berakar dari budaya Yunani, mengadopsi dari Bible, dan sebagainya.
Alasan kedua yang tidak kalah urgennya adalah terkait dengan derajad sumber yang dikaji. Keberatan utama muslim adalah terkait dengan keabshan sumber yang berasal dari Bible ketika disejajarkan dengan nash Al Quran. Standar kebenaran sumber dalam Islam yang paling utama adalah mengandalkan sumber dari khabar shadiq. Khabar shadiq ini pun memiliki tingkatan-tingkatan, dimana yang tertinggi adalah mutawatir. Sedangkan derajad Al Quran adalah dari khabar shadiq yang mutawatir. Sedangkan hadits memiliki derajad yang berbeda-beda. Sebagiannya juga mencapai derajad khabar shadiq yang mutawatir tersebut. Lawan dari khabar shadiq adalah khabar kadzib (berita dusta). Beberapa hadits sengaja diciptakan oleh orang-orang belakangan sehingga menempati kedudukan sebagai khabar kadzib sebab tidak berasal dari perkataan Rasulullah dan memiliki konsekuensi hukum tersendiri yang tidak sesuai dengan Al Quran dan As shunnah. Seringkali kalangan muslim menyebut khabar ini sebagai “hadits palsu” yang maknanya, bukan hadits dalam arti sebenarnya.
Beberapa tokoh seringkali membandingkan bahwa cerita-cerita Bible dari segi periwayatannya memiliki karakteristik yang sama dan sederajad dengan Hadits. Dr. Maurice Bucaille, misalnya, menyatakan bahwa Bible memiliki persamaan dengan Hadits, sebab keduanya berisi kisah-kisah tentang Nabi dan orang shalih berserta ajarannya. Perjanjian Baru juga mirip dengan hadits sebab ditulis oleh orang-orang beberapa puluh tahun setelah wafatnya Isa.[15] Pendapat Dr. Bucaille ini sudah tentu terlalu berlebihan, sebab hadits jelas tidak bisa dibandingkan dengan Bible. Beberapa penulis muslim juga sering memberikan perbandingan antara ayat-ayat Bible dan hadits. Dikatakan bahwa Bible setara dengan hadits maudlu’ (hadits palsu), kalaupun mungkin hanya akan mencapai derajad hadits dha’if (hadits lemah).[16] Sebagian ulama berpendapat, dalam kasus hadits yang lemah karena perawinya sudah tua sehingga terkendala dengan hafalan yang menurun karena usia, derajadnya bisa menjadi hadits hasan (baik) jika terdapat kondisi bahwa terdapat perawi lain yang memiliki kondisi sama yang juga meriwayatkan hadits yang sama. Sehingga hadits tersebut dikenal sebagai hadits hasan li ghairihi artinya hadits tersebut bernilai baik karena ditopang dan dikuatkan oleh keberadaan hadits yang lain. Akan tetapi ayat-ayat Bible tidak akan pernah dapat mencapai tingkatan derajad yang demikian. Sebab sejak awal memang tidak memiliki tradisi pengujian keshahihan yang terpercaya.
Hadits memiliki sistem verifikasi validitas yang sangat ketat. Sebenarnya, hadits palsu bahkan derajadnya adalah lebih tinggi dari Bible, sebab hadits palsu (hadits maudlu’) terkadang masih memiliki sejumlah informasi yang menyebutkan jalur periwayatan tertentu yang bisa dirunut beserta pengenalan terhadap jalur-jalur tersebut. Sedangkan Bible termasuk bagian Perjanjian Barunya sama sekali tidak memiliki metode telaah yang bersifat demikian. Sebut saja misalnya Pentateuckh, kebanyakan umat Kristiani menganggap kelima kitab tersebut merupakan karya dari Musa. Akan tetapi tidak ada satu pun jalur periwayatan yang dapat digunakan untuk membuktikan bahwa Pentateuch memang benar-benar merupakan karya Musa. Justru jika dianggap sebagai karya Musa, maka Pentateuch menyisakan sejumlah kejanggalan. Diantaranya adalah cerita tentang kematian Musa sendiri yang tidak mungkin dikisahkan oleh Musa secara pribadi.[17]
Contoh lainnya, sebut saja ayat yang seringkali digunakan sebagai dasar paham trinitas yaitu Surat Kiriman Yohanes Pertama (I Yohannes) Pasal 5 ayat 6-8 yang berbunyi :
5:7 Sebab ada tiga yang memberi kesaksian [di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu.
5:8 Dan ada tiga yang memberi kesaksian di bumi]: Roh dan air dan darah dan ketiganya adalah satu.[18]
Penggunaan tanda kurung dalam kedua ayat tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa ayat tersebut palsu. Artinya ayat tersebut baru ditambahkan kemudian pada era-era terakhir. Hal ini bisa dibuktikan dengan melakukan perbandingan versi Bible yang lain, misalnya The Holy Bible Contemporary English Version yang berbunyi :
5:6 Water and blood came out from the side of Jesus Christ. It wasn’t just water, but water and blood. The Spirit tells about this, because the Spirit is truthful.
5:7 In fact, there are three who tell about it.
5:8 They are the Spirit, the water, and the blood, and they all agree.[19]
The Holy Bible Contemporary English Version ini bukannya satu-satunya versi yang memiliki perbedaan dengan Bible yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Versi tanpa penambahan, juga bisa dibaca dalam The Holy Bible New International Version[20] dan The Holy Bible Today’s English Version[21]. Lantas, mengapa terdapat versi yang berbeda dalam ayat-ayat yang dianggap sebagai dalil tentang trinitas tersebut ? Tokoh Gereja yaitu Dr. G. C. Van Niftrik dan D. S. B. J. Boland menyatakan :
“Di dalam Alkitab tidak diketemukan suatu istilah yang dapat diterjemahkan dengan kata “tritunggal” ataupun ayat-ayat tertentu yang mengandung dogma tersebut, mungkin terdapat dalam I Yahya (I Yohanes) 5 : 6-8. Tetapi sebagian besar ayat ini agaknya belum tertera dalam naskah aslinya. Bagian itu setidak-tidaknya harus diberi kurung.“[22]
Dari tulisan kedua tokoh gereja di atas dapat diketahui bahwa tambahan kalimat “Bapa, Firman, dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu” yang menunjuk kepada 3 (tiga) oknum trinitas, sebenarnya adalah suatu bentuk pengubahan dan penambahan terhadap kitab yang dianggap suci atau dengan kata lain adalah pemalsuan teks kitab. Hal ini sudah tentu dilakukan oleh para penginjil dari era belakangan yang memerlukan “dalil” tegas bagi apa yang mereka percayai, sebuah dalil buatan. Terkait ayat di atas tokoh Kristen terkemuka Amerika, Jerry Falwell, bahkan secara terbuka dan terang-terangan mengungkapkan bahwa ayat 7 dan 8 dari I Yohanes adalah tidak original dan bukan wahyu (firman Tuhan). Hal ini diungkapkan sebagai berikut :
“The rest of verse 7 and the first nine words of verse 8 are not original, and are not to be considered as a part of the words of God.”[23]
Akademisi Kristen seperti Dr. C. Groenen bahkan mengungkapkan secara tegas bahwa nash-nash yang dianggap sebagai dasar teologis dogma trinitas justru merupakan tambahan dari era belakangan. Nash tambahan tersebut sengaja dimasukkan ke dalam Perjanjian Baru karena perdebatan seputar ketuhanan tritunggal mengalami masa-masa yang kritis dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan selesai. Maka kemudian dibuatlah nash “Trinitas” yang dimasukkan ke dalam naskah-naskah Perjanjian Baru. Nash ini baru muncul pada abad IV di Spanyol. Nash tentang trinitas itu lazim disebut dengan nama “Comma Johanneum”. Salah satu nashnya adalah I Yohanes 5 : 7. Hal tersebut diungkapkan oleh Dr. C. Groenen sebagai berikut :
“ Di zaman umat Kristen berdebat-debat mengenai Allah Tritunggal, sangat terasa bahwa dalam Perjanjian baru tidak ditemukan suatu nas yang jelas mengungkapkan dogma itu, sehingga mudah dapat dipindahkan ke dalam alam pikiran filsafat dan teologi Yunani. Maka suatu nas “trinitas” yang jelas dibuat dan dimasukkan ke dalam naskah-naskah Perjanjian Baru. Nas itu lazimnya disebut “Comma Johanneum” (1 Yoh 5 : 7 menurut Vlg.). Sejak abad IV nas itu mulai muncul, mula-mula di daerah Spanyol. Nas itu menyusup ke dalam naskah-naskah terjemahan Latin (Vlg. Naskah-naskah terjemahan Latin yang paling tua belum memuat 1 Yoh 5:7). Akhirnya diterjemahkan ke dalam naskah-naskah Yunani. Tetapi naskah-naskah yang memuat 1 Yoh 5:7 semua dari masa belakangan.”[24]
Dalam catatan kakinya, Dr. C. Groenen menambahkan bahwa hanya ada 3 (tiga) naskah Yunani yang memuat teks I Yohanes 5:7. Teks itu pun baru dibuat selama abad XIV dan XVI M. Congregatio S. Officili pada tanggal 13 Januari 1897 pernah mempertahankan ayat I Yohanes 5:7 sebagai asli. Tetapi keputusan tersebut dicabut kembali pada tanggal 2 Juni 1927.[25] Namun belakangan ini Perjanjian Baru, termasuk yang beredar di Indonesia, memuat kembali penambahan teks I Yohannes 5: 7 yang sebelumnya pernah dihapuskan dari gereja. Hal ini sudah tentu karena gereja membutuhkan dalil tersebut sebagai legitimasi atau sebenarnya justifikasi keyakinan yang dimilikinya, walaupun hakikatnya bisa dibuktikan hanya merupakan dalil buatan dan hasil perumusan semata. Perlu ditegaskan bahwa doktrin trinitas merupakan jantung utama paham Kristianitas. Namun ternyata ajaran tersebut hanya merupakan paham yang didukung oleh ayat-ayat “buatan” pada masa-masa kemudian. Selain itu banyak ayat-ayat lain dalam Bible yang telah dibuktikan oleh teolog sebagai ayat-ayat tambahan yang sepenuhnya “baru”.
Oleh karena itu salah apabila Bible hendak didudukkan sama atau bahkan sederajad dengan hadits apalagi dengan Al Quran. Maka keberatan kaum muslimin terkait penggunaaan metode pengujian sebagaimana yang diungkapkan Gilchrist dan Morey adalah Al Quran tidak seharusnya diuji dengan kitab yang derajadnya jauh berada di bawah hadits palsu. Sedangkan hadits palsu, dalam Islam, sudah jelas ditolak penggunaannya. Apalagi yang kualitasnya berada di bawahnya. Karena itulah maka logika pengujian Al Quran dengan Bible ini gagal memberikan solusi dan dinilai lemah sebagai metodologi pengujian.
BERAWAL DARI PROBLEMA HISTORIS
Sebenarnya, usaha destruktif sebagaimana dilakukan baik oleh Morey maupun tokoh misterius semacam Gilchrist, tidak dapat dilepaskan dari pengalaman kekristenan sendiri. Teori yang diimajinasikan Barat bahwa Islam banyak berhutang dari kekristenan bukan merupakan barang baru. Dalam perjalanan sejarah, Kristen bukan merupakan ajaran agama yang telah final sejak awal. Dr. Harun Hadiwiyono, seorang akademisi Kristen misalnya, sejak awal membedakan gambaran antara istilah “iman Kristen” dan “agama Kristen”. Iman Kristen, menurutnya adalah sesuatu yang tidak berubah dan tidak dapat dipengaruhi oleh hal apa pun. Sedangkan agama Kristen dapat dipengaruhi oleh adat-istiadat, kebiasaan, dan kebudayaan manusia yang memeluknya. Sehingga sangat memungkinkan bahwa agama Kristen mengandung peraturan-peraturan buatan manusia, yang tidak sesuai dengan maksud Tuhan yang dinyatakan dalam iman Kristen.[26] Dalam hal ini Kristen tidak memiliki konsep tsawabit dan mutaghayirat, ushul dan furu’, atau mahdhah dan ghairu mahdhah sebagaimana yang dimiliki oleh Islam. Oleh karena itu hal-hal yang terkait dengan apa yang diistilahkan oleh Dr. Harun Hadiwiyono sebagai “iman Kristen”, sebenarnya bisa saja berubah sebab tidak memiliki patokan dan pedoman secara pasti. Para teolog dan sejumlah ilmuwan di Barat telah meletakkan sejumlah teori dan bukti bahwa Kristen dalam perkembangan awalnya banyak mengambil konsep dari ajaran agama paganisme yang berkembang sebelumnya dan pada perkembangan selanjutnya banyak meminjam konsep dari budaya-budaya dimana kekristenan berkembang. Boleh dikatakan bahwa kekristenan merupakan residu akhir dari sebuah perjalanan tambal sulam dalam pembentukan konsep mendasarnya.
Sebut saja Lynn Picknett dan Clive Prince, peneliti tentang okultisme dan sejarah agama, menyebutkan bahwa salah satu sakramen yang dikembangkan gereja hingga hari ini yaitu pembaptisan merupakan unsur pinjaman yang diambil oleh Kristen dari ajaran okultisme di Mesir. Pembaptisan sebagai simbol pembaruan spiritual dan transformasi batin, memiliki ciri has yang hidup dan berkembang dalam dunia Helenistik dimana Yesus hidup. Tradisi ini memiliki tradisi panjang yang berakar kuat dalam ajaran pagan berupa penyembahan dan kultus terhadap Isis di Mesir Kuno. Penting dicatat bahwa ritual pembaptisan ini awalnya dilakukan di Sungai Nil didahului dengan penyesalan dan pengakuan dosa di hadapan imam.[27] Menariknya para pemuja Isis ini memiliki simbol berupa salib yang belakangan ini biasa dikenal sebagai “salib okultis” yaitu bentuk salib dengan bagian atas atau kepala berupa lingkaran. Padahal sakramen pembaptisan merupakan upacara pokok kekristenan yang dipercaya sebagai syarat diberikannya berkat-berkat Tuhan.[28] Ritual pembaptisan jelas tidak akan dapat ditemukan dalam kehidupan keagamaan bangsa Israel. Perjanjian Baru menggambarkan bahwa seolah-olah Yohannes adalah salah satu penganut ritus kuno Mesir yang melakukan pembaptisan dan Yesus adalah salah satu muridnya (pengikut) yang sedang mendapatkan prosesi pemberkatan.[29] Dr. C. Groenen OFM ketika membahas tentang salah satu dalil bagi pembaptisan yaitu Matius 28 ayat 19 yang berbunyi “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”[30] mengungkapkan bahwa ayat ini bukan ucapan atau perintah Yesus dalam makna sebenarnya (secara historis), tetapi merupakan ayat yang ditambahkan kemudian dan diambil dari tradisi upacara pembaptisan yang dilakukan oleh jemaat Kristen Palestina dan Siria. Upacara tersebut lantas dimasukkan ke dalam redaksi terakhir Matius.[31] Artinya ayat tentang baptisan sendiri sebenarnya tidak dikenal sebagai sakramen kekristenan awal dan baru ditambahkan kemudian berdasarkan tradisi pemeluk agama yang telah sedikit banyak bersentuhan dengan paganisme, yaitu ketika bangsa Israel di Palestina pernah bersentuhan dengan peadaban Mesir Kuno maupun peradapan Helennis.
Sejarah panjang kekristenan ini pulalah yang telah secara intensif mempengaruhi pola pikir Barat dalam memandang Islam. Sejak awal Barat telah mewarisi sebuah dugaan yang dalam jangka panjang telah berakumulasi dan berkulminasi menciptakan imajinasi yang seolah menjadi gambaran sebuah kebenaran. Islam, dalam gambaran imajinasi ini, dianggap telah banyak meminjam konsep dari kekristenan maupun tradisi Yahudi. Seandainya pun tidak, maka Islam tetap harus ditempatkan sebagai “pesakitan” yang memiliki problema yang sama. Seandainya Islam telah meminjam dari Kristen, maka sebenarnya harus ada banyak bukti yang dikeluarkan oleh mereka. Terlalu banyak pertanyaan yang harus mereka jawab dan buktikan. Padahal kesamaan sebuah ide atau cerita tidak selalu merupakan hasil dari proses pinjam meminjam. Bible juga tidak pernah berbicara tentang kosmos, tiga kegelapan kandungan, penyaliban Yesus adalah semu, kesalahan Trinitas, dan sebagainya.[32] Tentu Islam tidak mengambil hal-hal tersebut dari ajaran sebelumnya.
Bahkan terdapat indikasi kuat bahwa Bible justru pernah mengalami pengeditan dengan melibatkan dan meminjam konsep-konsep yang berasal dari Al Quran. Sejarah telah mencatat bahwa pada tahun 382 M, Paus Gregorius XII memerintahkan Anibra untuk mengedit ulang kitab Hexapla dan Vulgata karya Santo Jerome yang dalam Bahasa Latin disebut Eusebius Hieronymus (328 – 420 M), dengan memasukkan ayat-ayat Al Quran, terutama ayat-ayat yang berhubungan dengan gambaran eskatologis dalam ilmu teologi Antiokia dan tertera dalam Perjanjian Lama. Hal ini kemudian baru diterima secara resmi oleh gereja pada tanggal 13 Desember 1545.[33] Adapun ayat-ayat yang dijiplak tersebut antara lain Al Fatihah ayat 6 ditiru dalam Mazmur 27 : 11, Al Anbiya’ ayat 105 dijiplak dalam Mazmur 37 : 29, Surah An Nahl ayat 10 dicontek guna ditempatkan pada Mazmur 104 ayat 10 dan Mazmur 104 ayat 14, Surah Al A’raf ayat 179 ditiru dalam Yeremia 5 ayat 21, dan lain sebagainya sampai berjumlah sedikitnya 13 (tiga belas) point.[34] Lantas, mengapa orang-orang seperti Morey maupun Gilchrist serta tokoh-tokoh lainnya justru menuduh bahwa Islam banyak meminjam konsep dari agama yang menjadi keyakinan mereka ?. Itu merupakan hal biasa, sebuah pelarian dan semacam pre-emptive attack yang lahir dari sejenis perasaan bersalah. (***)
FOOTNOTE
[1] Selengkapnya baca Dr. C. Groenen OFM. Pengantar ke dalam Perjanjian Lama. Cetakan I. Edisi 2. (Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1992). Hal. 232-233
[2] Ahmed Deedat. The Choice: Dialog Islam – Kristen. (Terj.). (Al-Kautsar, Jakarta, 2001). Hal 386.
[3] John Gilchrist. The Textual History of the Quran and the Bible. (Ind. : Sejarah Naskah Al-Qur;an dan Al-Kitab). (Jalan Al Rahmat, Jakarta, 1996). Hal. 68-69.
[4] Wahyudi, SA. Sex in the Bible. (Bina Ilmu, Surabaya, 2004). Hal. 77.
[5] Ahmed Deedat, Opcit. Hal 281 dan 287.
[6] John Gilchrist. Opcit. Hal 70
[7] John Gilchrist. Opcit. Hal 71 – 73
[8] Prof. DR. Hamka. Tafsir Al Azhar Juz XXIII. (Pustaka Islam, Surabaya, 1976). Hal. 234-235
[9] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Tafsir Al Quranul Majid An Nuur juz 23. Cet. II. (Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000). Hal. 3506
[10] Denis Green. Pembimbing Pada Pengenalan Perjanjian Lama. (Gandum Mas, Malang, 1984). Hal. 144
[11] Dr. C. Groenen OFM. Pengantar ……. Opcit. Hal. 152
[12] Dr. J. Blommendaal. Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Cetakan IV. (PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988). Hal. 81
[13] James Hastings (ed.). A Dictionary of the Bible. Vol. 1. (T&T Clark, Edinburg, 1910). Hal. 572
[14] Robert Morey. Islamic Invasion : Confronting the World’s Fastest Growing Religion. (Christian Scholar Press, Las Vegas, 1992). Hal. 5
[15] Dr. Maurice Bucaille. La Bible le Coran et la Science. (Editions Seghers, Paris, 1976). Edisi Indonesia : Bible, Qur-an, dan Sains Modern. Terjemah oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi. Cetakan II. (Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1979). Hal. 17
[16] Lihat misalnya Masyhud SM. Al Qur’an Mengajak Kristen Jujur Beragama. Dalam Majalah Modus Vol. 1 No. 8 Th. II/ 2004. hal. 28
[17] Lihat pembahasannya secara lengkap dalam Dr. Maurice Bucaille. Opcit. Hal. 35-41
[18] I Yohanes 5 : 7-8. Alkitab Terjemahan Baru. (Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1974)
[19] I John : 6-8. The Holy Bible Contemporary English Version. (ABS, 1995)
[20] Lihat New York International Bible Society. The Holy Bible New International Version. (Zondervan Bible Publishers – Grand Rapids, Michigan, 1981). Hal. 926
[21] Lihat. The Holy Bible Today’s English Version : New Testament. (ABS, 1992)
[22] DR. G. C. Van Niftrik dan D. S. B. J. Boland. Dogmatika Masa Kini. (BPK, Jakarta, 1967). Hal. 418
[23] Jerry Falwell. Liberty Bible Commentary. (Thomas Nelson Publisher-Nashvhille Camden, New York, 1983). Hal. 2638 dalam Masyhud SM. Al Quran Mengajak … Opcit. Hal. 25. Artinya : “ Kalimat terakhir ayat 7 dan sembilan kata pertama pada ayat 8 adalah tidak asli (orisinal) dan tidak bisa dianggap sebagai wahyu (firman Tuhan)”.
[24] Dr. C. Groenen OFM. “He Dynamis Tou Pneumatos” Kitab Suci Tentang Roh Kudus dan Hubungannya dengan Allah Bapa dan Allah Anak. (Lembaga Biblika Indonesia – Penerbit Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1982). Hal. 64
[25] U. Lebreton. Histoire du dogme de la Trinite I: Les Origines du dogme de la Trinite. Hal. 645-647; W. Thiele. Beobachtungen zum Comma Joanneum. ZNT 50 (1959). Hal. 61-63 dalam Dr. C. Groenen OFM. “He Dynamis Tou … Ibid. Hal. 64
[26] Dr. Harun Hadiwiyono. Kebatinan dan Injil. Cetakan IV. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1982). Hal. 163
[27] Lynn Picknett dan Clive Prince. The Templar Revelation : Secret Guardians of The True Identity of Christ. Edisi Indonesia : The Templar Revelation : Para Pelindung Sejati Identitas Kristus. (Bantam Press, 1997). Terjemah oleh FX Dono Suhadi. Cetakan II. (PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2006). Hal. 491-492
[28] Howard M. Gering. Ensiklopedia Alkitab. Cetakan II. (Toko Buku Immanuel, Jakarta, 1970). Hal. 402
[29] Beberapa pakar telah membuat analisa bahwa Yesus merupakan salah satu murid atau pengikut Yohanes yang kemudian mendirikan mahzabnya sendiri. Pendirian mahzab ini sebenarnya merupakan wujud “pemberontakan” yang dilakukan oleh Yesus kepada gurunya. Sebagian pakar lagi melihat bahwa juru selamat yang lebih memenuhi nubuat adalah Yohannes, bukan Yesus. Selengkapnya baca Lynn Picknett dan Clive Prince. The Templar … Opcit. Hal. 544-581
[30] Matius 28 : 19. Alkitab Terjemahan Baru. (Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1974)
[31] Dr. C. Groenen OFM. “He Dynamis … Opcit. Hal. 64
[32] Terkait dengan tuduhan bahwa Al Quran telah meminjam banyak konsep dari Yahudi, Nashrani, dan dari kebudayaan lainnya telah dijawab oleh sejumlah pakar. Di antaranya Dr. Syauqi Abu Khalil. Al Islam fi Qafshi Al Ittiham. Cetakan V. (Dar al Fikr, Damaskus, 2002). Lihat juga misalnya Dr. Jabal Muhammad Buaben. Image of the Prophet Muhammad in the West : A Study of Muir, Margoliouth, and Watt. (The Islamic Foundation, Leicester, 1997).
[33] KH. Bahaudin Mudhary. Dialog Masalah Kebenaran Bibel. (Pustaka Da’i, Jakarta, 2005). Hal. 72. Juga Artikel berjudul Ayat-ayat Al Quran Dijiplak Alkitab. Dalam Majalah Modus Vol. II No. 3 Th. II / 2005. Hal. 4
[34] KH. Bahaudin Mudhary. Opcit Hal. 73-78. Juga Artikel Ayat-ayat Al Qur’an Dijiplak … Opcit. Hal. 5-7
Sebut saja misalnya tokoh misterius yang menggunakan nama pena John Gilchrist. Tokoh ini berusaha mengulang-ulang tuduhan orentalis pada era awal dalam memandang Islam. Pemikiran dari “John Gilchrist” sendiri agaknya tidak mewakili pendapat satu orang, namun representasi dari sebuah kelompok yang berusaha merumuskan “serangan yang mengancam” terhadap ajaran Islam. Gilchrist selalu diposisikan sebagai aktor pembela Kristen yang berusaha menjawab semua pertanyaan yang ditujukan terhadap kekristenan. Akan tetapi boleh dikatakan bahwa hampir semua jawaban tersebut hanya sekedar bersifat apologetik dan bahkan sophist. Sebut saja misalnya ketika menghadapi pertanyaan Ahmed Deedat tentang “dilema perzinaan Daud”, Gilchrist justru melarikan diri dari permasalahan dan balik menuduh Al Quran sebagai memiliki dilema yang sama.
Tanggapan penulis ini bukan dimaksudkan bahwa tulisan-tulisan John Gilchrist tersebut memiliki kualitas yang bagus. Karyanya telah diwarnai dengan sejumlah kekacauan ilmiah seperti pemotongan ayat, pemalsuan matan hadits, dan sejumlah kecurangan lainnya. Boleh dikatakan tulisan ini hanya mengkungkapkan salah satu modus ‘penyelewengan’ penafsiran Al Quran bagi kepentingan missi penginjilan. Modus ini merupakan salah satu metode yang selalu diulang-ulang dari waktu-ke waktu sehingga penting bagi setiap muslim untuk memahaminya. Jadi tulisan ini lebih merupakan jawaban atas syubhuhat yang dikeluarkannya, mengingat karya tersebut telah disebarkan secara masif di kalangan kaum muslimin yang masih awam. Penulis sendiri mendapatkan buku ini dari seorang petani yang pergi ke kota untuk menjual hasil buminya. Secara kebetulan dia berpapasan dengan serombongan anak-anak muda yang membagikan buku tersebut kepada semua orang yang ditemui.
Perlu dipahami sebelumnya bahwa pengertian, kedudukan, dan penghargaan terhadap pribadi “Nabi” dalam Islam dan Kristen adalah berbeda. Islam menempatkan nabi sebagai sosok teladan yang terbimbing dan harus mendapatkan penghormatan yang selayaknya sebagai utusan Allah. Sedangkan dalam kekristenan kata “Nabi” digunakan untuk menyebut abdi (penyembah) Dewa Baal, nabi orang Israel, lembaga yang dibuat oleh para dukun dan tukang sihir, pegawai Dawud, dan lain sebagainya.[1]
DAWUD DIPERTANYAKAN
Nabi Dawud adalah seorang rasul yang dimuliakan dalam Islam. Termasuk diantara 25 Nabi dan Rasul yang diberitakan dalam Al Quran. Kedudukannya sebagai nabi dan rasul mendapatkan penghormatan yang selayaknya dari umat Islam.
Ada pun Surat Shad, 38 : 21-25 yng dipermasalahkan oleh John Gilcrist adalah sebagai berikut :
21. Dan Adakah sampai kepadamu berita orang-orang yang berperkara ketika mereka memanjat pagar?
22. Ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu ia terkejut Karena kedatangan) mereka. mereka berkata: “Janganlah kamu merasa takut; (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain; Maka berilah Keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus.
23. Sesungguhnya saudaraku Ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan Aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: “Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan Aku dalam perdebatan”.
24. Daud berkata: “Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini”. dan Daud mengetahui bahwa kami mengujinya; Maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.
25. Maka kami ampuni baginya kesalahannya itu. dan Sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi kami dan tempat kembali yang baik.
KISAH “PERZINAAN” DAWUD
Berawal dari Ahmed Deedat yang berupaya mempersoalkan sejumlah perilaku seksual yang tidak mendidik dan diungkapkan secara vulgar dalam Bible beserta konsekuensi moralitasnya.[2] Upaya yang dilakukan oleh Ahmed Deedat tersebut nyatanya telah menimbulkan sejumlah reaksi di kalangan Kristen. Umumnya sikap dunia Kristen terhadap Ahmed Deedat adalah beragam mulai dari geram hingga segan. Sejumlah pembelaan pun mulai dari apalogetik hingga sophist bermunculan, tidak terkecuali di dalamnya berwujud dukungan. Dalam kondisi demikian, muncul sosok misterius bernama John Gilchrist, yang tidak pernah diketahui identitas aslinya, ikut tampil dalam memberikan pembelaan. Namun cara pembelaannya bukannya dilakukan secara wajar, ksatria, dan apa adanya. Justru Gilchrist bersikap membela diri dengan menyalahkan pihak lain. Hal ini dapat digali dalam buku Gilchrist berjudul ”The Textual History of the Quran and The Bible” yang berusaha menjawab berbagai pertanyaan Ahmed Deedat dalam tulisannya yang berjudul “Is the Bible God’s Word ?”.
John Gilchrist justru menuduh Ahmed Deedat terlalu membesar-besarkan masalah. Bible, menurut Gilchrist, hanya melukiskan keadaan manusia secara “apa adanya”. Penggambaran manusia dari terbaik sampai yang terburuk secara detail, dalam pandangan Gilchrist justru menunjukkan kesempurnaan Tuhan dalam kemampuan-Nya mengungkapkan dosa-dosa manusia.[3] Buku Gilcrist tersebut memang diusahakan untuk merumuskan jawaban dari sejumlah pernyataan yang dilontarkan oleh Ahmed Deedat. Akan tetapi jawaban-jawaban tersebut boleh dikatakan tidak ‘mampu’ mengcover semua permasalahan. Bahkan semua jawaban yang ada pun tidak lebih sekedar jawaban dengan “logika buatan”.
Nampak bahwa Gilchrist hanya berfikir sebatas ”pembelaan diri” yang mampu dilakukannya. Upaya defensif yang tidak mempertimbangkan kekhawatiran akan dampak negatif penggambaran seksualitas Bible bagi pembacanya. Padahal fakta-fakta seksual dalam kitab tersebut teramat jelas dan vulgar, meski sebagian bersifat metafor. Sehingga sangat dikhawatirkan pengaruhnya bagi nilai peradaban dan moralitas, terutama jika dibaca oleh anak-anak.[4] Hal inilah mungkin yang mendasari George Bernard Shaw untuk berpendapat bahwa Bible adalah ”Buku paling berbahaya di dunia. Jagalah agar tetap tertutup rapat dan terkunci. Jauhkan Bible dari jangkauan anak-anak”. Senada dengan Shaw, jurnal The Plain Truth, sebuah Majalah Kristen, edisi Oktober 1977 menyatakan ”Membacakan cerita dari Bible kepada anak-anak bisa membuka kesempatan untuk mendiskusikan moral seks. Suatu kitab Bible yang belum dibersihkan pasti mendapat rating X dari badan sensor’.[5] Pernyataan satir yang secara jelas, tegas, dan tepat menggambarkan kondisi sebuah kitab suci dari penganutnya sendiri.
Pada bagian lain, Gilchrist juga menanggapi ayat II Samuel 11 yang menggambarkan bahwa Daud telah berzina dengan perempuan bersuami bernama Batsyeba dan mengatur pembunuhan suaminya yaitu Uria. Gilchrist lantas membuat pararelisasi bahwa substansi II Samuel tersebut sejalan dengan Al Quran Surat Shaad ayat 21 sampai 25. Ayat yang dimaksud berkisah tentang dua orang yang meminta keadilan kepada Dawud; salah seorang yang memiliki 99 kambing betina menginginkan satu-satunya kambing betina milik pihak lain menjadi miliknya. Dawud memutuskan bahwa pemilik 99 kambing sebagai pihak yang salah karena menginginkan sesuatu yang bukan haknya. Daud kemudian tahu bahwa Allah mengujinya melalui peristiwa tersebut, Daud pun bersujud dan bertaubat sehingga Allah kemudian mengampuninya.[6]
Gilchrist mempersoalkan mengapa Allah harus menguji Daud untuk membuatnya bertaubat dan diampuni. Menurutnya, taubat dan ampunan bagi daud menandakan bahwa Daud telah berdosa. Dosa Daud tersebut timbul karena Daud telah berzina dengan Batsyeba. Hanya saja, menurut Gilchrist, Al-Quran tidak menceritakan kisah tersebut meski mengakuinya secara tidak langsung.[7]
Ungkapan Gilchrist tersebut jelas mengada-ada. Prof. DR. Hamka menjelaskan bahwa penyebab taubat yang dilakukan oleh Daud dan ampunan Allah terhadap beliau telah secara jelas terdapat dalam Al Quran itu sendiri. Dalam ayat 21 Surah Shaad tersebut digambarkan bahwa ada dua orang yang berperkara memanjat pagar mihrab untuk menemui Dawud. Menurut Prof. DR. Hamka, kedatangan kedua orang yang berperkara secara tidak sewajarnya yaitu tanpa memberikan berita sebelumnya dan tidak melalui pintu biasanya tersebut, telah membuat Nabi Dawud berprasangka bahwa keduanya memiliki niatan jahat. Lantas setelah Nabi Dawud memahami bahwa peristiwa tersebut merupakan ujian maka bersujudlah ia atas lepasnya ujian dalam mengadili kedua pihak berperkara dan bertaubat atas purbasangka yang dimilikinya sebelumnya.[8] Bahkan Tengku Muh. Hasbi Ash Shiddieqy secara tegas menolak riwayat-riwayat israiliyat yang secara substansial merendahkan kedudukan Nabi termasuk kisah perzinaan Dawud sebagaimana termaktub dalam Perjanjian Lama tersebut.[9] Umumnya sejumlah penafsiran terkait ayat tersebut, juga memberikan jawaban bahwa penyebab Dawud bersujud dan bertaubat telah ada jawabannya dalam Al Quran itu sendiri, bukannya berada dalam Perjanjian Lama sebagaimana anggapan John Gilchrist.
Sikap para penulis Kristen terhadap pornografi dalam Perjanjian lama cukup beragam. Denis Green, pendeta dan dosen sebuah seminari di Malang, misalnya mengungkapkan bahwa ayat-ayat ”panas” dalam Kidung Agung merupakan gambaran tentang cinta kasih manusia antara lelaki dan perempuan. Tubuh manusia yang digambarkan secara erotis dianggapnya sebagai karya terbaik Tuhan agar manusia dapat menikmatinya dalam pernikahan.[10] Dr. C. Groenen menyikapi permasalahan ‘ayat-ayat vulgar’ tersebut secara dingin pula. Dikatakan bahwa Daud adalah seorang yang saleh namun lemah, kurang tegas, dan dapat dipermainkan. Daud adalah raja yang berbudi luhur dan berkuasa akan tetapi bukannya tanpa noda. Pengungkapan perzinaan secara vulgar tersebut tidak lebih dari sekedar upaya “Tuhan” untuk memberikan pelajaran kepada manusia. Hikmahnya, kesalahan Daud tersebut harus ditebus dengan konflik berdarah-darah dari keturunan Daud itu sendiri. “Oleh karena itu pedang tidak akan menyingkir dari keturunanmu sampai selamanya oleh karena engkau telah menghina Aku” (2 Samuel 12: 9-10).[11] Salah satu wujud ajaran bahwa bukan hanya dosa yang dapat diwariskan namun juga meliputi hukuman dan kutukan.
Akademisi seperti Dr. J. Blommendaal bahkan menerima kisah dalam II Samuel 11 tentang perzinahan antara Dawud dan Batsyeba serta konspirasi Daud untuk membunuh Uria di atas dengan mengesankan sebuah “keterpaksaan”. Dikatakan bahwa “Ada hubungan erat antara cerita-cerita ini dengan fasal-fasal sebelumnya sebab Mefibosyeth, Yoab, Abyatar, dan Yonatan juga disebut-sebut di dalam fasal-fasal sebelum II Sam 11, sehingga terpaksa kita mengakui kesatuan sejarah ini dengan cerita-cerita sebelumnya”.[12] Lain halnya dengan buku A Dictionary of the Bible yang menyoroti bahwa Daud memiliki kejanggalan perilakunya yang secara diametral bersifat kontradiktif, di satu sisi merupakan icon standar moral yang tinggi dan pada sisi yang lain merupakan sosok “pendosa besar”. Kehidupan Daud ini diungkapkan dengan cara sebagai berikut : “The great sins of his life, his adultery with Batsheba and murder of Uriah, are perhaps but the common crimes of an oriental despot; but so far as we can judge, they were not common to Israel, and David as well as his subjects knew of a higher moral standard.”[13]
Dengan demikian telah jelas bahwa upaya paralelisasi cerita Bible dan kisah Al-Qur’an tidak lebih sebagai usaha defensif yang menyedihkan. Bahkan lebih menampakkan sikap putus asa atas substansi kitab suci miliknya dengan menuduhkan kitab suci agama lain memiliki ”derajad pornografi” juga.
LOGIKA BAGI DERAJAD ALQURAN DAN BIBLE
Penalaran yang digunakan oleh John Gilchrist dalam “membedah” Al Quran, didasarkan pada pemikiran bahwa Bible adalah sudah benar dari awal. Sehingga layak menjadi ukuran bagi sebuah persoalan yang datang kemudian. Logika yang digunakan adalah kitab yang datang terlebih dahulu menjadi penguji bagi yang datang kemudian. Hal ini sama dengan logika yang digunakan oleh Robert Morey bahwa The Old Tests The New yaitu otoritas yang terdahulu digunakan untuk mengukur otoritas yang lebih baru.[14] Melalui Penalaran ini, baik Gilchrist maupun Morey seolah menempatkan dirinya dalam posisi yang mirip dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia yang menggunakan UUD 1945 sebagai sumber dan penguji bagi peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Dari kenampakannya logika ini seolah-olah memang kuat. Namun jika ditinjau secara mendalam, pada hakikatnya, logika tersebut sebenarnya tidak berdasar, terutama dalam kasus antara Al Quran dan Bible. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, jika Undang-undang yang telah diuji ternyata tidak bertentangan dengan UUD 1945, maka UU tersebut akan digunakan sebagai bahan acuan dan memiliki konsekuensi hukum bagi setiap warga negara. Sedangkan dalam kasus pengujian dengan Bible, hal ini tidak diberlakukan. Sejak awal, pengujinya tidak berinisiatif menggunakan Al Quran sebagai sumber kebenaran sekalipun telah terbukti. Bahkan seandainya pun terdapat kebenaran dalam Al Quran maka akan dimunculkan sejumlah dalih untuk menolak kebenaran itu dengan argumen – argumen semacam kebetulan belaka, hasil pinjaman dari konsep lain, berakar dari budaya Yunani, mengadopsi dari Bible, dan sebagainya.
Alasan kedua yang tidak kalah urgennya adalah terkait dengan derajad sumber yang dikaji. Keberatan utama muslim adalah terkait dengan keabshan sumber yang berasal dari Bible ketika disejajarkan dengan nash Al Quran. Standar kebenaran sumber dalam Islam yang paling utama adalah mengandalkan sumber dari khabar shadiq. Khabar shadiq ini pun memiliki tingkatan-tingkatan, dimana yang tertinggi adalah mutawatir. Sedangkan derajad Al Quran adalah dari khabar shadiq yang mutawatir. Sedangkan hadits memiliki derajad yang berbeda-beda. Sebagiannya juga mencapai derajad khabar shadiq yang mutawatir tersebut. Lawan dari khabar shadiq adalah khabar kadzib (berita dusta). Beberapa hadits sengaja diciptakan oleh orang-orang belakangan sehingga menempati kedudukan sebagai khabar kadzib sebab tidak berasal dari perkataan Rasulullah dan memiliki konsekuensi hukum tersendiri yang tidak sesuai dengan Al Quran dan As shunnah. Seringkali kalangan muslim menyebut khabar ini sebagai “hadits palsu” yang maknanya, bukan hadits dalam arti sebenarnya.
Beberapa tokoh seringkali membandingkan bahwa cerita-cerita Bible dari segi periwayatannya memiliki karakteristik yang sama dan sederajad dengan Hadits. Dr. Maurice Bucaille, misalnya, menyatakan bahwa Bible memiliki persamaan dengan Hadits, sebab keduanya berisi kisah-kisah tentang Nabi dan orang shalih berserta ajarannya. Perjanjian Baru juga mirip dengan hadits sebab ditulis oleh orang-orang beberapa puluh tahun setelah wafatnya Isa.[15] Pendapat Dr. Bucaille ini sudah tentu terlalu berlebihan, sebab hadits jelas tidak bisa dibandingkan dengan Bible. Beberapa penulis muslim juga sering memberikan perbandingan antara ayat-ayat Bible dan hadits. Dikatakan bahwa Bible setara dengan hadits maudlu’ (hadits palsu), kalaupun mungkin hanya akan mencapai derajad hadits dha’if (hadits lemah).[16] Sebagian ulama berpendapat, dalam kasus hadits yang lemah karena perawinya sudah tua sehingga terkendala dengan hafalan yang menurun karena usia, derajadnya bisa menjadi hadits hasan (baik) jika terdapat kondisi bahwa terdapat perawi lain yang memiliki kondisi sama yang juga meriwayatkan hadits yang sama. Sehingga hadits tersebut dikenal sebagai hadits hasan li ghairihi artinya hadits tersebut bernilai baik karena ditopang dan dikuatkan oleh keberadaan hadits yang lain. Akan tetapi ayat-ayat Bible tidak akan pernah dapat mencapai tingkatan derajad yang demikian. Sebab sejak awal memang tidak memiliki tradisi pengujian keshahihan yang terpercaya.
Hadits memiliki sistem verifikasi validitas yang sangat ketat. Sebenarnya, hadits palsu bahkan derajadnya adalah lebih tinggi dari Bible, sebab hadits palsu (hadits maudlu’) terkadang masih memiliki sejumlah informasi yang menyebutkan jalur periwayatan tertentu yang bisa dirunut beserta pengenalan terhadap jalur-jalur tersebut. Sedangkan Bible termasuk bagian Perjanjian Barunya sama sekali tidak memiliki metode telaah yang bersifat demikian. Sebut saja misalnya Pentateuckh, kebanyakan umat Kristiani menganggap kelima kitab tersebut merupakan karya dari Musa. Akan tetapi tidak ada satu pun jalur periwayatan yang dapat digunakan untuk membuktikan bahwa Pentateuch memang benar-benar merupakan karya Musa. Justru jika dianggap sebagai karya Musa, maka Pentateuch menyisakan sejumlah kejanggalan. Diantaranya adalah cerita tentang kematian Musa sendiri yang tidak mungkin dikisahkan oleh Musa secara pribadi.[17]
Contoh lainnya, sebut saja ayat yang seringkali digunakan sebagai dasar paham trinitas yaitu Surat Kiriman Yohanes Pertama (I Yohannes) Pasal 5 ayat 6-8 yang berbunyi :
5:7 Sebab ada tiga yang memberi kesaksian [di dalam sorga: Bapa, Firman dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu.
5:8 Dan ada tiga yang memberi kesaksian di bumi]: Roh dan air dan darah dan ketiganya adalah satu.[18]
Penggunaan tanda kurung dalam kedua ayat tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa ayat tersebut palsu. Artinya ayat tersebut baru ditambahkan kemudian pada era-era terakhir. Hal ini bisa dibuktikan dengan melakukan perbandingan versi Bible yang lain, misalnya The Holy Bible Contemporary English Version yang berbunyi :
5:6 Water and blood came out from the side of Jesus Christ. It wasn’t just water, but water and blood. The Spirit tells about this, because the Spirit is truthful.
5:7 In fact, there are three who tell about it.
5:8 They are the Spirit, the water, and the blood, and they all agree.[19]
The Holy Bible Contemporary English Version ini bukannya satu-satunya versi yang memiliki perbedaan dengan Bible yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Versi tanpa penambahan, juga bisa dibaca dalam The Holy Bible New International Version[20] dan The Holy Bible Today’s English Version[21]. Lantas, mengapa terdapat versi yang berbeda dalam ayat-ayat yang dianggap sebagai dalil tentang trinitas tersebut ? Tokoh Gereja yaitu Dr. G. C. Van Niftrik dan D. S. B. J. Boland menyatakan :
“Di dalam Alkitab tidak diketemukan suatu istilah yang dapat diterjemahkan dengan kata “tritunggal” ataupun ayat-ayat tertentu yang mengandung dogma tersebut, mungkin terdapat dalam I Yahya (I Yohanes) 5 : 6-8. Tetapi sebagian besar ayat ini agaknya belum tertera dalam naskah aslinya. Bagian itu setidak-tidaknya harus diberi kurung.“[22]
Dari tulisan kedua tokoh gereja di atas dapat diketahui bahwa tambahan kalimat “Bapa, Firman, dan Roh Kudus; dan ketiganya adalah satu” yang menunjuk kepada 3 (tiga) oknum trinitas, sebenarnya adalah suatu bentuk pengubahan dan penambahan terhadap kitab yang dianggap suci atau dengan kata lain adalah pemalsuan teks kitab. Hal ini sudah tentu dilakukan oleh para penginjil dari era belakangan yang memerlukan “dalil” tegas bagi apa yang mereka percayai, sebuah dalil buatan. Terkait ayat di atas tokoh Kristen terkemuka Amerika, Jerry Falwell, bahkan secara terbuka dan terang-terangan mengungkapkan bahwa ayat 7 dan 8 dari I Yohanes adalah tidak original dan bukan wahyu (firman Tuhan). Hal ini diungkapkan sebagai berikut :
“The rest of verse 7 and the first nine words of verse 8 are not original, and are not to be considered as a part of the words of God.”[23]
Akademisi Kristen seperti Dr. C. Groenen bahkan mengungkapkan secara tegas bahwa nash-nash yang dianggap sebagai dasar teologis dogma trinitas justru merupakan tambahan dari era belakangan. Nash tambahan tersebut sengaja dimasukkan ke dalam Perjanjian Baru karena perdebatan seputar ketuhanan tritunggal mengalami masa-masa yang kritis dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan selesai. Maka kemudian dibuatlah nash “Trinitas” yang dimasukkan ke dalam naskah-naskah Perjanjian Baru. Nash ini baru muncul pada abad IV di Spanyol. Nash tentang trinitas itu lazim disebut dengan nama “Comma Johanneum”. Salah satu nashnya adalah I Yohanes 5 : 7. Hal tersebut diungkapkan oleh Dr. C. Groenen sebagai berikut :
“ Di zaman umat Kristen berdebat-debat mengenai Allah Tritunggal, sangat terasa bahwa dalam Perjanjian baru tidak ditemukan suatu nas yang jelas mengungkapkan dogma itu, sehingga mudah dapat dipindahkan ke dalam alam pikiran filsafat dan teologi Yunani. Maka suatu nas “trinitas” yang jelas dibuat dan dimasukkan ke dalam naskah-naskah Perjanjian Baru. Nas itu lazimnya disebut “Comma Johanneum” (1 Yoh 5 : 7 menurut Vlg.). Sejak abad IV nas itu mulai muncul, mula-mula di daerah Spanyol. Nas itu menyusup ke dalam naskah-naskah terjemahan Latin (Vlg. Naskah-naskah terjemahan Latin yang paling tua belum memuat 1 Yoh 5:7). Akhirnya diterjemahkan ke dalam naskah-naskah Yunani. Tetapi naskah-naskah yang memuat 1 Yoh 5:7 semua dari masa belakangan.”[24]
Dalam catatan kakinya, Dr. C. Groenen menambahkan bahwa hanya ada 3 (tiga) naskah Yunani yang memuat teks I Yohanes 5:7. Teks itu pun baru dibuat selama abad XIV dan XVI M. Congregatio S. Officili pada tanggal 13 Januari 1897 pernah mempertahankan ayat I Yohanes 5:7 sebagai asli. Tetapi keputusan tersebut dicabut kembali pada tanggal 2 Juni 1927.[25] Namun belakangan ini Perjanjian Baru, termasuk yang beredar di Indonesia, memuat kembali penambahan teks I Yohannes 5: 7 yang sebelumnya pernah dihapuskan dari gereja. Hal ini sudah tentu karena gereja membutuhkan dalil tersebut sebagai legitimasi atau sebenarnya justifikasi keyakinan yang dimilikinya, walaupun hakikatnya bisa dibuktikan hanya merupakan dalil buatan dan hasil perumusan semata. Perlu ditegaskan bahwa doktrin trinitas merupakan jantung utama paham Kristianitas. Namun ternyata ajaran tersebut hanya merupakan paham yang didukung oleh ayat-ayat “buatan” pada masa-masa kemudian. Selain itu banyak ayat-ayat lain dalam Bible yang telah dibuktikan oleh teolog sebagai ayat-ayat tambahan yang sepenuhnya “baru”.
Oleh karena itu salah apabila Bible hendak didudukkan sama atau bahkan sederajad dengan hadits apalagi dengan Al Quran. Maka keberatan kaum muslimin terkait penggunaaan metode pengujian sebagaimana yang diungkapkan Gilchrist dan Morey adalah Al Quran tidak seharusnya diuji dengan kitab yang derajadnya jauh berada di bawah hadits palsu. Sedangkan hadits palsu, dalam Islam, sudah jelas ditolak penggunaannya. Apalagi yang kualitasnya berada di bawahnya. Karena itulah maka logika pengujian Al Quran dengan Bible ini gagal memberikan solusi dan dinilai lemah sebagai metodologi pengujian.
BERAWAL DARI PROBLEMA HISTORIS
Sebenarnya, usaha destruktif sebagaimana dilakukan baik oleh Morey maupun tokoh misterius semacam Gilchrist, tidak dapat dilepaskan dari pengalaman kekristenan sendiri. Teori yang diimajinasikan Barat bahwa Islam banyak berhutang dari kekristenan bukan merupakan barang baru. Dalam perjalanan sejarah, Kristen bukan merupakan ajaran agama yang telah final sejak awal. Dr. Harun Hadiwiyono, seorang akademisi Kristen misalnya, sejak awal membedakan gambaran antara istilah “iman Kristen” dan “agama Kristen”. Iman Kristen, menurutnya adalah sesuatu yang tidak berubah dan tidak dapat dipengaruhi oleh hal apa pun. Sedangkan agama Kristen dapat dipengaruhi oleh adat-istiadat, kebiasaan, dan kebudayaan manusia yang memeluknya. Sehingga sangat memungkinkan bahwa agama Kristen mengandung peraturan-peraturan buatan manusia, yang tidak sesuai dengan maksud Tuhan yang dinyatakan dalam iman Kristen.[26] Dalam hal ini Kristen tidak memiliki konsep tsawabit dan mutaghayirat, ushul dan furu’, atau mahdhah dan ghairu mahdhah sebagaimana yang dimiliki oleh Islam. Oleh karena itu hal-hal yang terkait dengan apa yang diistilahkan oleh Dr. Harun Hadiwiyono sebagai “iman Kristen”, sebenarnya bisa saja berubah sebab tidak memiliki patokan dan pedoman secara pasti. Para teolog dan sejumlah ilmuwan di Barat telah meletakkan sejumlah teori dan bukti bahwa Kristen dalam perkembangan awalnya banyak mengambil konsep dari ajaran agama paganisme yang berkembang sebelumnya dan pada perkembangan selanjutnya banyak meminjam konsep dari budaya-budaya dimana kekristenan berkembang. Boleh dikatakan bahwa kekristenan merupakan residu akhir dari sebuah perjalanan tambal sulam dalam pembentukan konsep mendasarnya.
Sebut saja Lynn Picknett dan Clive Prince, peneliti tentang okultisme dan sejarah agama, menyebutkan bahwa salah satu sakramen yang dikembangkan gereja hingga hari ini yaitu pembaptisan merupakan unsur pinjaman yang diambil oleh Kristen dari ajaran okultisme di Mesir. Pembaptisan sebagai simbol pembaruan spiritual dan transformasi batin, memiliki ciri has yang hidup dan berkembang dalam dunia Helenistik dimana Yesus hidup. Tradisi ini memiliki tradisi panjang yang berakar kuat dalam ajaran pagan berupa penyembahan dan kultus terhadap Isis di Mesir Kuno. Penting dicatat bahwa ritual pembaptisan ini awalnya dilakukan di Sungai Nil didahului dengan penyesalan dan pengakuan dosa di hadapan imam.[27] Menariknya para pemuja Isis ini memiliki simbol berupa salib yang belakangan ini biasa dikenal sebagai “salib okultis” yaitu bentuk salib dengan bagian atas atau kepala berupa lingkaran. Padahal sakramen pembaptisan merupakan upacara pokok kekristenan yang dipercaya sebagai syarat diberikannya berkat-berkat Tuhan.[28] Ritual pembaptisan jelas tidak akan dapat ditemukan dalam kehidupan keagamaan bangsa Israel. Perjanjian Baru menggambarkan bahwa seolah-olah Yohannes adalah salah satu penganut ritus kuno Mesir yang melakukan pembaptisan dan Yesus adalah salah satu muridnya (pengikut) yang sedang mendapatkan prosesi pemberkatan.[29] Dr. C. Groenen OFM ketika membahas tentang salah satu dalil bagi pembaptisan yaitu Matius 28 ayat 19 yang berbunyi “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”[30] mengungkapkan bahwa ayat ini bukan ucapan atau perintah Yesus dalam makna sebenarnya (secara historis), tetapi merupakan ayat yang ditambahkan kemudian dan diambil dari tradisi upacara pembaptisan yang dilakukan oleh jemaat Kristen Palestina dan Siria. Upacara tersebut lantas dimasukkan ke dalam redaksi terakhir Matius.[31] Artinya ayat tentang baptisan sendiri sebenarnya tidak dikenal sebagai sakramen kekristenan awal dan baru ditambahkan kemudian berdasarkan tradisi pemeluk agama yang telah sedikit banyak bersentuhan dengan paganisme, yaitu ketika bangsa Israel di Palestina pernah bersentuhan dengan peadaban Mesir Kuno maupun peradapan Helennis.
Sejarah panjang kekristenan ini pulalah yang telah secara intensif mempengaruhi pola pikir Barat dalam memandang Islam. Sejak awal Barat telah mewarisi sebuah dugaan yang dalam jangka panjang telah berakumulasi dan berkulminasi menciptakan imajinasi yang seolah menjadi gambaran sebuah kebenaran. Islam, dalam gambaran imajinasi ini, dianggap telah banyak meminjam konsep dari kekristenan maupun tradisi Yahudi. Seandainya pun tidak, maka Islam tetap harus ditempatkan sebagai “pesakitan” yang memiliki problema yang sama. Seandainya Islam telah meminjam dari Kristen, maka sebenarnya harus ada banyak bukti yang dikeluarkan oleh mereka. Terlalu banyak pertanyaan yang harus mereka jawab dan buktikan. Padahal kesamaan sebuah ide atau cerita tidak selalu merupakan hasil dari proses pinjam meminjam. Bible juga tidak pernah berbicara tentang kosmos, tiga kegelapan kandungan, penyaliban Yesus adalah semu, kesalahan Trinitas, dan sebagainya.[32] Tentu Islam tidak mengambil hal-hal tersebut dari ajaran sebelumnya.
Bahkan terdapat indikasi kuat bahwa Bible justru pernah mengalami pengeditan dengan melibatkan dan meminjam konsep-konsep yang berasal dari Al Quran. Sejarah telah mencatat bahwa pada tahun 382 M, Paus Gregorius XII memerintahkan Anibra untuk mengedit ulang kitab Hexapla dan Vulgata karya Santo Jerome yang dalam Bahasa Latin disebut Eusebius Hieronymus (328 – 420 M), dengan memasukkan ayat-ayat Al Quran, terutama ayat-ayat yang berhubungan dengan gambaran eskatologis dalam ilmu teologi Antiokia dan tertera dalam Perjanjian Lama. Hal ini kemudian baru diterima secara resmi oleh gereja pada tanggal 13 Desember 1545.[33] Adapun ayat-ayat yang dijiplak tersebut antara lain Al Fatihah ayat 6 ditiru dalam Mazmur 27 : 11, Al Anbiya’ ayat 105 dijiplak dalam Mazmur 37 : 29, Surah An Nahl ayat 10 dicontek guna ditempatkan pada Mazmur 104 ayat 10 dan Mazmur 104 ayat 14, Surah Al A’raf ayat 179 ditiru dalam Yeremia 5 ayat 21, dan lain sebagainya sampai berjumlah sedikitnya 13 (tiga belas) point.[34] Lantas, mengapa orang-orang seperti Morey maupun Gilchrist serta tokoh-tokoh lainnya justru menuduh bahwa Islam banyak meminjam konsep dari agama yang menjadi keyakinan mereka ?. Itu merupakan hal biasa, sebuah pelarian dan semacam pre-emptive attack yang lahir dari sejenis perasaan bersalah. (***)
FOOTNOTE
[1] Selengkapnya baca Dr. C. Groenen OFM. Pengantar ke dalam Perjanjian Lama. Cetakan I. Edisi 2. (Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1992). Hal. 232-233
[2] Ahmed Deedat. The Choice: Dialog Islam – Kristen. (Terj.). (Al-Kautsar, Jakarta, 2001). Hal 386.
[3] John Gilchrist. The Textual History of the Quran and the Bible. (Ind. : Sejarah Naskah Al-Qur;an dan Al-Kitab). (Jalan Al Rahmat, Jakarta, 1996). Hal. 68-69.
[4] Wahyudi, SA. Sex in the Bible. (Bina Ilmu, Surabaya, 2004). Hal. 77.
[5] Ahmed Deedat, Opcit. Hal 281 dan 287.
[6] John Gilchrist. Opcit. Hal 70
[7] John Gilchrist. Opcit. Hal 71 – 73
[8] Prof. DR. Hamka. Tafsir Al Azhar Juz XXIII. (Pustaka Islam, Surabaya, 1976). Hal. 234-235
[9] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Tafsir Al Quranul Majid An Nuur juz 23. Cet. II. (Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000). Hal. 3506
[10] Denis Green. Pembimbing Pada Pengenalan Perjanjian Lama. (Gandum Mas, Malang, 1984). Hal. 144
[11] Dr. C. Groenen OFM. Pengantar ……. Opcit. Hal. 152
[12] Dr. J. Blommendaal. Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Cetakan IV. (PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988). Hal. 81
[13] James Hastings (ed.). A Dictionary of the Bible. Vol. 1. (T&T Clark, Edinburg, 1910). Hal. 572
[14] Robert Morey. Islamic Invasion : Confronting the World’s Fastest Growing Religion. (Christian Scholar Press, Las Vegas, 1992). Hal. 5
[15] Dr. Maurice Bucaille. La Bible le Coran et la Science. (Editions Seghers, Paris, 1976). Edisi Indonesia : Bible, Qur-an, dan Sains Modern. Terjemah oleh Prof. Dr. H. M. Rasjidi. Cetakan II. (Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1979). Hal. 17
[16] Lihat misalnya Masyhud SM. Al Qur’an Mengajak Kristen Jujur Beragama. Dalam Majalah Modus Vol. 1 No. 8 Th. II/ 2004. hal. 28
[17] Lihat pembahasannya secara lengkap dalam Dr. Maurice Bucaille. Opcit. Hal. 35-41
[18] I Yohanes 5 : 7-8. Alkitab Terjemahan Baru. (Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1974)
[19] I John : 6-8. The Holy Bible Contemporary English Version. (ABS, 1995)
[20] Lihat New York International Bible Society. The Holy Bible New International Version. (Zondervan Bible Publishers – Grand Rapids, Michigan, 1981). Hal. 926
[21] Lihat. The Holy Bible Today’s English Version : New Testament. (ABS, 1992)
[22] DR. G. C. Van Niftrik dan D. S. B. J. Boland. Dogmatika Masa Kini. (BPK, Jakarta, 1967). Hal. 418
[23] Jerry Falwell. Liberty Bible Commentary. (Thomas Nelson Publisher-Nashvhille Camden, New York, 1983). Hal. 2638 dalam Masyhud SM. Al Quran Mengajak … Opcit. Hal. 25. Artinya : “ Kalimat terakhir ayat 7 dan sembilan kata pertama pada ayat 8 adalah tidak asli (orisinal) dan tidak bisa dianggap sebagai wahyu (firman Tuhan)”.
[24] Dr. C. Groenen OFM. “He Dynamis Tou Pneumatos” Kitab Suci Tentang Roh Kudus dan Hubungannya dengan Allah Bapa dan Allah Anak. (Lembaga Biblika Indonesia – Penerbit Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1982). Hal. 64
[25] U. Lebreton. Histoire du dogme de la Trinite I: Les Origines du dogme de la Trinite. Hal. 645-647; W. Thiele. Beobachtungen zum Comma Joanneum. ZNT 50 (1959). Hal. 61-63 dalam Dr. C. Groenen OFM. “He Dynamis Tou … Ibid. Hal. 64
[26] Dr. Harun Hadiwiyono. Kebatinan dan Injil. Cetakan IV. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1982). Hal. 163
[27] Lynn Picknett dan Clive Prince. The Templar Revelation : Secret Guardians of The True Identity of Christ. Edisi Indonesia : The Templar Revelation : Para Pelindung Sejati Identitas Kristus. (Bantam Press, 1997). Terjemah oleh FX Dono Suhadi. Cetakan II. (PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2006). Hal. 491-492
[28] Howard M. Gering. Ensiklopedia Alkitab. Cetakan II. (Toko Buku Immanuel, Jakarta, 1970). Hal. 402
[29] Beberapa pakar telah membuat analisa bahwa Yesus merupakan salah satu murid atau pengikut Yohanes yang kemudian mendirikan mahzabnya sendiri. Pendirian mahzab ini sebenarnya merupakan wujud “pemberontakan” yang dilakukan oleh Yesus kepada gurunya. Sebagian pakar lagi melihat bahwa juru selamat yang lebih memenuhi nubuat adalah Yohannes, bukan Yesus. Selengkapnya baca Lynn Picknett dan Clive Prince. The Templar … Opcit. Hal. 544-581
[30] Matius 28 : 19. Alkitab Terjemahan Baru. (Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1974)
[31] Dr. C. Groenen OFM. “He Dynamis … Opcit. Hal. 64
[32] Terkait dengan tuduhan bahwa Al Quran telah meminjam banyak konsep dari Yahudi, Nashrani, dan dari kebudayaan lainnya telah dijawab oleh sejumlah pakar. Di antaranya Dr. Syauqi Abu Khalil. Al Islam fi Qafshi Al Ittiham. Cetakan V. (Dar al Fikr, Damaskus, 2002). Lihat juga misalnya Dr. Jabal Muhammad Buaben. Image of the Prophet Muhammad in the West : A Study of Muir, Margoliouth, and Watt. (The Islamic Foundation, Leicester, 1997).
[33] KH. Bahaudin Mudhary. Dialog Masalah Kebenaran Bibel. (Pustaka Da’i, Jakarta, 2005). Hal. 72. Juga Artikel berjudul Ayat-ayat Al Quran Dijiplak Alkitab. Dalam Majalah Modus Vol. II No. 3 Th. II / 2005. Hal. 4
[34] KH. Bahaudin Mudhary. Opcit Hal. 73-78. Juga Artikel Ayat-ayat Al Qur’an Dijiplak … Opcit. Hal. 5-7