Bagi sebagian kalangan muslim memunculkan kajian terhadap ‘keberterimaan’terhadap ramalan sudah tentu akan memantik sebuah polemik. Betapa tidak, konsep Islam dalam memandang ramalan pada dimensi supranatural telah tegas dan jelas. Umat Islam dikenai larangan atas sejumlah pengharapan spekulatif, seperti mengundi suatu pilihan dengan anak panah, berjudi, dan termasuk di dalamnya dengan jalan mempercayai ramalan. Apa yang penulis maksudkan dengan ramalan ini sudah tentu bukan merupakan sebuah upaya perkiraan masa depan dengan sejumlah metode ilmiah semacam metode forecasting penilaian kelayakan bisnis dalam perekonomian atau sejenisnya. Namun lebih kepada ramalan yang berorientasi pada klenik dan atau mengarah praktek kebatinan. Efek ramalan sendiri biasanya berlainan pada tiap-tiap individu yang berbeda. Akan tetapi umumnya, ramalan akan membuat manusia terjebak oleh angan-angan, bahkan secara negatif menjerumuskan pada kemusyrikan.
Namun harus menjadi sebuah kesadaran bahwa realitas yang lain tentang berkembangnya ramalan, akhir-akhir ini, justru semakin marak menyeruak. Semakin canggih piranti teknologi, kemudahan menikmati hidup, dan terbuka lebarnya akses informasi bukannya mengikis kepercayaan manusia modern terhadap model klenik yang satu ini. Ramalan justru seperti memanfaatkan kondisi dengan berperan mengisi kekosongan jiwa “manusia modern” dari kemiskinan spiritualitas. Ramalan bukan lagi identik dengan asap kemenyan pedupaan, spekulasi kartu tarot, bola kristal, pendulum, atau benda-benda yang dianggap memiliki tuah magis lainnya. Akan tetapi berkembang dengan menyelusup melalui layanan jasa komunikasi yang bisa diakses melalui piranti elektronik dengan biaya relatif terjangkau oleh masyarakat luas.
Di kelas menegah ke bawah, kebangkitan ramalan ditandai dengan menguatnya isu-isu lawas tentang pentahapan jaman. Kondisi perubahan sosial kemasyarakatan yang terus didera oleh berbagai kesulitan hidup, krisis kemanusiaan berkepanjangan, dan dekadensi moral telah menumbuhkan angan-angan dan penantian akan kemunculan sosok ‘ratu adil’. Tidak terkecuali, ramalan seringkali menjadi pelarian atas kehidupan yang dianggap semakin tidak pasti.
Bagi masyarakat Jawa khususnya, ramalan Jayabaya (baca: Joyoboyo) merupakan ramalan yang dianggap memiliki akurasi tinggi dalam menerangkan berbagai pertanda perubahan jaman. Ramalan ini sering diagung-agungkan sebagai memiliki gambaran tentang masa depan secara jelas dan meyakinkan. Anehnya, masyarakat yang mempercayai “kebesaran” ramalan Jayabaya, umumnya tidak memiliki pengenalan mendalam tentang keyakinannya berdasarkan sumber ‘resmi’ ramalan Jayabaya. Sikap taken for granted yang mereka tunjukkan umumnya terbentuk hanya melalui proses oral dengan sumber informasi yang tidak jarang sukar dipertanggungjawabkan. Tidak jarang mereka hanya berpatokan kepada ‘kata orang’. Demikian juga sejumlah pihak yang memposisikan diri sebagi penolak ramalan Jayabaya, umumnya juga tidak membangun sikapnya berdasarkan pengetahuan ataupun proses kajian yang jelas. Bahkan kadangkala hanya didasarkan atas sikap mula-mula yang sudah antipati terhadap istilah ‘ramalan’, maka menjadi justifikasi bahwa ramalan Jayabaya pun memiliki kadar ‘negatif’ sebagaimana penilaian awalnya.
Hadirnya tulisan terkait ramalan Jayabaya ini bukan merupakan usaha untuk melegalkan praktek ramalan. Namun lebih merupakan upaya informatif bagi para pembaca guna bersama memahami hakikat ramalan Jayabaya. Sehingga kejelasan sikap dan tindakan pembaca, terutama sebagai seorang muslim, akan terbangun berlandaskan sebuah pemahaman yang nyata. Sekaligus dalam hal ini penulis berharap, akan tumbuh sikap bahwa baik dalam posisi menerima maupun menolak terhadap hakikat sesuatu hendaknya didasarkan pada sebuah pengetahuan dan bukan hanya berdasarkan penilaian awal yang belum tentu benar apalagi sekedar ‘kata orang’.
PENULIS RAMALAN JAYABAYA
Perlu diketahui, Ramalan Jayabaya merupakan kumpulan ramalan yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa. Ramalan yang sering disebut dengan istilah Jangka Jayabaya (baca: jongko joyoboyo) tersebut dinilai oleh banyak kalangan sebagai hasil karya pujangga yang memiliki akurasi tinggi dalam menggambarkan jaman dan kondisi masa depan yang diprediksi. Dengan kata lain sejumlah ‘orang Jawa’ sangat mempercayai ketepatan dan kesesuaian Jangka Jayabaya dalam menggambarkan masa depan.
Jangka Jayabaya memiliki banyak versi, minimal ada 9 (sembilan) macam versi. Umumnya kitab-kitab tentang ramalan Jayabaya tersebut merupakan hasil karya abad XVII atau XIX Masehi. Dari beragam versi Jangka Jayabaya tersebut, secara substansial kebanyakan memiliki kesamaan ide dan gagasan. Kemungkinan besar hal ini disebabkan beragam versi tersebut sebenarnya mengambil dari sebuah sumber induk yang sama yaitu kitab yang disebut Musarar atau Asrar. Oleh karena itulah maka penulis memutuskan untuk membatasi kajian ini berdasarkan Serat Pranitiwakya Jangka Jayabaya saja. Kitab diyakini merupakan karya Raden Ngabehi Ranggawarsita (baca: Ronggowarsito).[1] Serat Pranitiwakya ini dapat dikatakan mewakili ramalan Jayabaya dalam wujud yang bersifat lebih ringkas.
TOKOH JAYABAYA MENURUT SERAT PRANITI WAKYA
Jayabaya yang dimaksud dalam Jangka Jayabaya tidak lain adalah Prabu Jayabaya, raja Kediri, yang dianggap memiliki kemampuan luar biasa dalam meramal masa depan. Nama Prabu Jayabaya sendiri bagi masyarakat Jawa sering menjadi inspirasi dalam menciptakan gambaran tentang ratu adil. Keberadaannya kerap kali dikaitkan sebagi penitisan Dewa Wisnu yang terakhir di tanah Jawa.[2] Hal yang terakhir ini menjelaskan bahwa Prabu Jayabaya hidup pada atmosfer jaman Hindhuisme dimana seorang raja besar yang pernah hidup digambarkan memiliki hubungan dengan dunia mistik, sebagi wujud inkarnasi Dewa dalam rangka menjaga kelangsungan kehidupan di mayapada (bumi).
Akan tetapi pesan utama yang hendak disampaikan ramalan Jayabaya tentang sosok prabu Jayabaya, hakekatnya justru tidak mengkaitkan sang raja dengan Hindhuisme. Dalam Serat Praniti Wakya, Prabu Jayabaya digambarkan sebagai seorang yang telah menganut agama Islam. Bahkan dalam versi Serat Jayabaya yang lain digambarkan bahwa keislaman yang paling mendekati praktek Nabi adalah keislaman Prabu Jayabaya pada masa itu. “Yen Islama kadi Nabi, Ri Sang Jayabaya…” (Jika ingin melihat keislaman yang yang mendekati ajaran Nabi (Muhammad saw), orang demikian adalah Sang Jayabaya).[3] Gambaran keislaman yang dianggap terbaik demikian, jika memang benar terjadi, pembandingnya tentu adalah praktek keagamaan pada jaman Hindhuisme yang mendominasi tersebut. Parbu Jayabaya dianggap sebagai tokoh Muslim dengan parktek keislaman terbaik mendekati parktek Nabi dibandingkan banyak manusia pada masa itu yang masih mempraktekkan ajaran Hindhu.
Terkait dengan ‘keislaman’ Prabu Jayabaya, Serat Praniti Wakya menjelaskan bahwa raja Kediri tersebut telah berguru kepada Maulana Ngali Syamsujen yang berasal dari negeri Rum. Yang dimaksud dengan tokoh tersebut tentu adalah Maulana ‘Ali Syamsu Zein, seorang sufi yang kemungkinan besar berasal dari Damaskus. Pabu Jayabaya, digambarkan dalam Praniti Wakya sebagai sangat patuh menjalankan ajaran gurunya yang beragama Islam tersebut.
Lantas, apakah ‘keislaman’ Prabu Jayabaya yang hidup dalam atmosfer jaman kehindhuan ini dapat dipertanggungjawabkan sebagai informasi yang shahih ? Hal ini merupakan persoalan yang sulit diverifikasi kebenarannya. Sebab tidak terlalu banyak bahan yang dapat digunakan untuk merekonstruksi kehidupan keagamaan pada masa hidup Prabu Jayabaya. Bahkan tidak sedikit yang menggambarkan bahwa sosok Prabu Jayabaya tidak lain hanya sekedar tokoh fiktif belaka. Penulisan beragam versi Jangka Jayabaya pun, umumnya berasal dari masa belakangan, dimana Islam telah berkembang sebagai ajaran masyarakat. Namun hal ini penting dimengerti, terutama bagi para da’i yang berdakwah kepada kaum kebatinan dan kejawen, bahwa klaim mereka tentang Jangka Jayabaya merupakan kitab milik kaum kebatinan dan kejawen adalah salah. Sebab kitab ini sesungguhnya kitab ini dihasilkan berdasarkan pengaruh ajaran Islam.
Terkait keberadaan penganut agama Islam pada masa yang diyakini sebagai ‘Jaman’ Jayabaya, bukan merupakan persoalan yang mustahil. Prabu Jayabaya diyakini hidup pada abad XII, pada masa antara tahun 1135 dan 1157 M.[5] Sedangkan pada masa sebelumnya, yaitu era pemerintahan Erlangga, abad XI, di Leran, sekitar 8 (delapan) kilometer dari Gresik, telah ditemukan batu nisan dari makam seorang bernama Fathimah binti Maimun bin Hibatullah yang memberikan informasi bahwa wanita yang diyakini beragama Islam tersebut meninggal pada tanggal 7 Rajab 475 H atau tahun 1082 M.[6] Bahkan menurut Prof. Dr. Hamka jauh-jauh hari sebelumnya, dalam catatan China, disebutkan bahwa raja Arab telah mengirimkan duta untuk menyelidiki seorang ratu dari Holing (Kalingga) yang bernama Ratu Shi Ma yang diyakini telah melaksanakan hukuman had. Ratu tersebut ditahbiskan antara tahun 674-675 M. Prof. Dr. Hamka menyimpulkan bahwa raja Arab yang dimaksud adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang hidup pada masa itu dan wafat pada 680 M.[7] Demikan juga hasil kesimpulan Seminar Masuknya Islam ke Indonesia menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pertama kali adalah abad I H atau abad VII-VIII M.[8]
Karya sastra yang ditulis pada masa yang diperkirakan sebagai era Jayabaya, juga memiliki kecenderungan terpengaruh oleh keberadaan ajaran Islam. Disertasi Dr. Sucipta Wiryosuparto menyebutkan bahwa Kakawin Gatutkacasraya karya Mpu Panuluh, banyak menggunakan kata-kata dari Bahasa Arab.[9] Penggunaan kosa kata Arab yang serupa juga dapat ditemukan dalam Serat Baratayuddha, karya bersama Mpu Panuluh dan Mpu Sedah. Tulisan pujangga yang demikian tentu tidak mungkin terjadi kecuali telah terjadi interaksi dengan penganut agama Islam. Hal ini membuktikan bahwa telah ada komunitas umat Islam di Tanah Jawa pada masa yang diyakini sebagai era Jayabaya. Dengan demikian dakwah kepada penguasa, termasuk kepada Prabu Jayabaya pun bukan merupakan perihal yang mustahil. Demikian juga tentang keislaman sang raja Jayabaya merupakan persoalan yang sangat mungkin terjadi. Apalagi Jangka Jayabaya seringkali disebut-sebut diturunkan dari sejumlah karya yang lebih tua.
SUBSTANSI JANGKA JAYABAYA
Boleh dikatakan bahwa hampir sebagian besar isi Serat Praniti Wakya berbicara tentang “masa depan” Pulau Jawa dalam visi Jayabaya. Namun bila dicermati lebih mendalam, akan nampak bahwa Serat Praniti Wakya banyak mengambil isnpirasi penulisan dari sumber-sumber Islam berupa Al Quran dan Hadits. Berita-berita tentang akhir jaman dari kedua pusaka umat Islam tersebut kemudian diolah dalam redaksi pengarang Serat Praniti Wakya (dalam hal ini diyakini sebagai karya R. Ng. Ranggawarsita). Sehingga sifat universal dari ajaran Islam tentang berita akhir jaman kemudian diterangkan dan diterapkan dalam lingkup Jawa. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar ajaaran islam dalam Serat tersebut telah mengalami proses yang disebut ‘jawanisasi’. Namun demikian, substansi Islam itu sendiri masih nampak bersifat tetap dan tidak hilang.
Simak misalnya, penuturan Jayabaya tentang kiamat. Sang Prabu menyatakan bahwa kiamat adalah “kukuting djagad lan wiji kang gumelar iki, iku tekane djajal laknat …”.[10] Sorotan lain Serat Praniti Wakya juga membahas tentang pandangan Prabu Haji Jayabaya tentang akan datangnya Yakjuja wa Makjuja[11] (Ya’juj dan Ma’juj), kiamat kubra[12] (kiamat besar), lochil ma’pule[13] (lauh al mahfudz), dan lain sebagainya.
Konsep-konsep yang termuat dalam Serat Paraniti Wakya tersebut di atas jelas tidak dapat diingkari berasal dari ajaran Islam. Deskripsi beberapa terminologi Islam dalam Praniti Wakya sebagian memang tidak bersifat lugas dan jelas. Pembabakan Jaman menjadi 3 bagian seperti jaman kaliswara, kaliyoga, dan kalisengara jelas bukan merupakan visi ajaran Islam. Demikian juga beberapa ramalan tentang ‘akan’ munculnya sejumlah kerajaan di Jawa seperti Pajajaran, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Kartasura, dan Surakarta. Namun hal tersebut bukan tidak dapat dijelaskan. Penjelasan pertama, sangat mungkin sang pengarang Praniti Wakya, yaitu R. Ng. Ranggawarsita bermaksud menggambarkan pemahaman sang tokoh Prabu Jayabaya secara apa adanya, yaitu seorang muslim yang masih hidup dalam atmosfer Hindhuisme. Namun dengan penjelasan kedua, hal tersebut bisa saja timbul dari pemikiran pengarang sendiri. Saat menulis sejumlah versi ramalan Jayabaya, jelas Ranggawarsita telah hidup pada masa dimana dia bisa mengikuti sejumlah perkembangan terkait jatuh bangunnya sejumlah kerajaan pada masa lampau, seperti Pajajaran, Majapahit, Demak, Pajang, dan seterusnya. Penjelasan awal tersebut memiliki konsekuensi memungkinkan terjadinya pembenaran bahwa Ramalan Jayabaya memang seolah terbukti akurat. Namun mengingat bahwa tidak ada catatan pasti yang menyatakan bahwa Prabu Jayabaya merupakan sosok yang memang ‘pintar’ meramal masa depan, maka penjelasan kedua ini lebih dapat digunakan sebagai argumentasi. Sedang terkait banyaknya konsep Islam dalam ramalan Jayabaya yang kadang terlihat ‘kurang’ islami lagi, mungkin hal ini disebabkan pemahaman R. Ng. Ranggawarsita yang kurang tuntas dalam memahami Syariat Islam.
Ranggawarsita pernah belajar di Pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo, dibawah asuhan Kyai Hasan Bashori atau sering disebut Kyai Kasan Besari dalam lidah Jawa. Sebelum berangkat ke pondok, sebenarnya Ranggawarsita telah pandai membaca Al Quran. Oleh karena pengajaran awal di pondok Pesantren Tegalsari, adalah pelajaran tentang kajian Al Quran dan Fiqih maka Ranggawarsita menjadi jengkel. Bahkan untuk melampiaskan kekesalannya, dia sering keluar dari lingkungan pondok untuk berjudi mengadu ayam. Kyai Kasan Besari akhirnya mengetahui kekesalan Ranggawarsita, maka kepada sang Ranggawarsita kemudian diajarkan ilmu tassawuf.[14] Agaknya hal ini sangat berpengaruh terhadap pemahaman syariat Ranggawarsita pada masa selanjutnya.
Sedangkan ‘ramalan’ bersifat futuristik yang seolah memiiliki kesesuaian dengan jaman yang diramalkan, hal tersebut bukannya tidak dapat dijelaskan. Misalnya ungkapan bahwa “… Nusa Jawa bakal kinalungan wesi” (Pulau Jawa akan dikalungi besi). Sebagian penafsir memaknai ungkapan tersebut berkaitan bahwa di Jawa akan timbul industrialisasi. Ada pula yang memaknai bahwa kalung besi yang dimaksud adalah penggambaran bentuk rel kereta api. Jika penafsiran ini benar, maka perlu diketahui bahwa Ranggawarsita hidup pada masa penjajahan Belanda, dimana pengaruh Belanda dalam lingkungan Keraton telah merasuk sedemikian kuatnya. Sedangkan di bumi Eropa sendiri, dimulai dari Perancis dan menyebar ke seluruh Eropa termasuk Belanda, telah mengalami Revolusi industri sehingga industrialisasi maupun transportasi darat menggunakan kereta api sudah umum keberadaannya. Cerita-cerita demikian tentu dapat didengar di wilayah Keraton yang secara intens terlibat dalam pergaulan bangsa Belanda. Sudah tentu dalam pandangan Ranggawarsita, jika Jawa berada dalam genggaman Belanda, maka tidak urung ‘kalung besi’ akan mengitari Jawa. Hal itu bisa berupa industrialisasi maupun wujud rel kereta api.
Menariknya, serat Praniti Wakya sebagai buah karya R. Ng. Ranggawarsita, mediskripsikan pandangan Prabu Jayabaya terhadap tradisi kepemimpinan pendeta. Telah banyak diketahui bahwa para pendeta dalam sistem kasta Hindhu memiliki strata kedudukan paling tinggi secara sosial. Lebih tinggi dari kasta para raja dan bangsawan yang masuk ke strata kedua, yaitu kasta Ksatria. Diceritakan bahwa setelah selesai belajar kepada Maulana ‘Ali Syamsu Zain, Prabu Jayabaya bersama putranya yang bernama Prabu Anom Jayamijaya berniat mengantar kepulangan sang guru ke negeri Rum hingga ke pelabuhan. Sepulang dari pelabuhan, Prabu Jayabaya dan putranya menyempatkan diri singgah dipertapaan seorang pendeta bernama Ajar Subrata, saudara seperguruan sang Prabu namun masih menganut ajaran Hindhu. Sang pendeta bermaksud mencobai Prabu Jayabaya yang dikenal sebagi titisan Bathara Wisnu dengan memberi suguhan berupa 7 (tujuh) jenis yaitu kunyit satu rimpang, jadah (makanan dari beras ketan ditumbuk) darah, kejar sawit, bawang putih, bunga melati, dan bunga seruni masing-masing satu takir (wadah yang dibuat dari daun pisang, biasanya untuk meletakkan sesaji).[15]
Suguhan tersebut bagi Prabu Jayabaya, memiliki makna tersandi atau arti tersembunyi yang berada disebalik suguhan tersebut. Apalagi Prabu Jayabaya dan Ajar Subrata pernah menjadi saudara seperguruan sehingga dimungkinkan mereka memiliki pengetahuan yang kurang lebih sama. Suguhan tersebut membuat sang Prabu sangat marah dan akhirnya membunuh sang pendeta sekaligus putrinya yang menjadi istri dari Prabu Anom Jayamijaya, putranya. Pasca peristiwa tersebut Jayabaya menerangkan bahwa pembunuhan tersebut dilakukan untuk menghukum kekurangajaran sang pendeta yang secara tersandi berniat mengakhiri kekuasaan raja-raja di Jawa. Suguhan tersebut memiliki makna bahwa jika Prabu Jayabaya memakannya maka kekuasaan akan tetap berada ditangan pendeta dan jaman baru, termasuk di dalamnya berkembangnya ajaran Islam, tidak akan pernah terjadi.
Demikianlah pandangan Serat Praniti Wakya, bahwa Prabu Jayabaya adalah titisan Wisnu yang hanya tinggal dua kali akan turun ke Marcapada. Pasca Prabu Jayabaya, dikisahkan bahwa Wisnu akan menitis di Jenggala dan setelah itu tidak akan pernah menitis kembali serta tidak memiliki tanggung jawab lagi terhadap kemakmuran ataupun kerusakan bumi maupun alam ghaib.
“… Ingsun iki pandjenenganing Wisjnu Murti[16], kebubuhan agawe rahardjaning bumi, dene panitahingsun mung kari pindo, katelu ingsun iki, ing sapungkuringsun saka Kediri nuli tumitah ana ing Djenggala, wus ora tumitah maneh, karana wus dudu bubuhan ingsun, gemah rusaking djagad, lawan kahananing wus ginaib, ingsun wus ora kena melu-melu, tunggal ana sadjroning kakarahe guruningsun, ...”[17]
Pernyataan di atas menggambarkan bahwa ajaran kedewaan dalam Hindhuisme tidak akan berlaku lagi pasca penitisan wisnu di Jenggala. Hal ini diperkuat pula bahwa pasca penitisan di Jenggala, Wisnu tidak akan memiliki tanggung jawab lagi terhadap keutuhan dunia nyata maupun dunia maya alam ghaib, termasuk alam kedewaan sekalipun. Dapat kita lihat pula bahwa pasca itu, Majapahit yang dianggap sebagai kerajaan tersohor di nusantara sekalipun ternyata sudah tidak melaksanakan ajaran Hindhu secara murni, namun menjalankan sinkertisme antara ajaran Syiwa dan Budha. Selanjutnya, jaman akan berubah menuju jaman Islam yang diisyaratkan bahwa semua keadaan akan menjadisatu dengan tongkat atau pegangan guru Jayabaya yang bernama Maulana ‘Ali Syamsu Zein. Bahkan secara tersirat Serat Praniti Wakya sebenarnya mencoba mengungkapkan bahwa Bathara Wisnu, Dewa yang masuk dalam Trimurti[18] dan memiliki tanggung jawab memelihara alam semesta, ternyata telah pula menerima ajaran Islam sebagai agamanya.
PENUTUP
Demikian sekilas gambaran tentang Serat Praniti Wakya Jangka Jayabaya. Kitab tersebut pada dasarnya merupakan buku yang mencoba untuk memberikan apresiasi terhadap keberadaan Islam di Pulau Jawa. Hatta, di dalamnya mengandung banyak hal-hal yang musykil dan seolah tidak sesuai dengan ajaran Islam, namun dengan memandang kitab tersebut sebagai bagian dari proses dakwah di Pulau Jawa, maka perlu pula kaum muslimin mengkaji dan mengapresiasi serat tersebut. Sebab telah banyak kitab Jawa yang sebenarnya memiliki nafas Islam secara kental, namun diklaim sebagi kitab Hindhu maupun kebatinan. Hal ini sudah tentu disebabkan kepedulian umat Islam yang masih minim dan sekaligus kurangnya pengetahuan terhadap naskah-naskah lama karya pujangga. Juga mengindikasikan bahwa kajian keilmuan dikalangan umat Islam, saat ini, masih belum membudaya.
Serat Praniti Wakya Jangka Jayabaya, karya seorang pujangga R. Ng. Ranggawarsita, seolah merupakan bentuk sinkretis perpaduan antara Islam dan kejawen. Akan tetapi nampak bahwa ajaran Islam lebih dominan sebagai substansi. Sedangkan ‘kejawen’ sendiri terposisikan sebagai kulit luar dari bentuk pemikiran Jawa yang telah terisi dengan ruh Islam.
Selanjutnya, jika pembaca termasuk ke dalam kelompok kalangan yang mempercayai ramalan Jayabaya sebagai ramalan yang memiliki akurasi tinggi, maka bersegeralah kembali kepada Islam dan sumber-sumbernya berupa Al Quran dan Ash Shunnah. Sebab, hakikatnya “ramalan” Jayabaya merupakan bagian dari upaya memahami Islam melalui proses pencarian panjang yang belum selesai. Sedangkan bagi kalangan yang menolak sebelum mengkaji hal ini sebelumnya, maka hendaknya akan dapat mengubah sikap terhadap pemahaman hakikat segala sesuatu. Bahwa sahnya sebuah amalan adalah pasca terbitnya sebuah kepahaman mendalam.
FOOTNOTE
[1] Moh. Hari Soewarno. Ramalan Jayabaya Versi Sabda Palon. (PT. Yudha Gama Corp, Jakarta, 1982). Hal.
[2] Noname. Serat Praniti Wakja Djangka Djojobojo. (Penerbit Keluarga Soebarno, Surakarta, tth). Hal. 5
[3] Moh. Hari Soewarno. Ramalan Jayabaya …. Opcit. Hal. 20
[4] Noname. Serat Praniti Wakja … Opcit. Hal. 5. Artinya : Sedang yang menjadi pembuka cerita adalah beliau Prabu Haji Jayabaya, raja yang seperti Dewa, yang disebut ratu adil, populer di dunia sebagai titisan Dewa Wisnu.
[5] Moh. Hari Soewarno. Ramalan Jayabaya … Opcit. Hal. 16
[6] Moh. Hari Soewarno. Ramalan Jayabaya … Opcit. Hal15-16. Juga M. C. Ricklefs. A History of Modern Indonesia. (Macmillan Education Ltd, London and Hampshire, 1981. Edisi Indonesia :Sejarah Indonesia Modern. Terjemah oleh Drs. Dharmono Hardjowidjono. Cetakan II. (Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992). Hal. 3-4
[7] Prof. Dr. Hamka. Sejarah Umat Islam. Edisi Baru. Cetakan V. (Pustaka Nasional Ltd, Singapura, 2005). Hal. 671-673
[8] Panitia Seminar Masuknya Islam ke Indonesia. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia: Kumpulan Pidato dan Pendapat Para Pemimpin, Pemrasaran, dan Pembanding dalam Seminar tanggal 17 Sampai 20 Maret 1963 di Medan. (Panitia Seminar Masuknya Islam ke Indonesia, Medan, 1963). Hal. 265
[9] Selengkapnya tentang kata-kata Bahasa Arab dalam Kakawain Gathutkacasraya lihat Prof. Dr. Sucipta Wiryosuparto. Kakawin Gatutkaca Craya. (Disertasi Universitas Indonesia, Jakarta, 1960).
[10] Noname. Serat Praniti Wakja …Opcit. Hal. 28. Artinya: Kiamat adalah hancurnya dunia dan benih (kehidupan) yang terhampar ini, itu (ditandai) dengan datangnya Dajjal laknat …
[11] Noname. Serat Praniti Wakja …Opcit. Hal. 29
[12] Noname. Serat Praniti Wakja …Opcit. Hal. 30
[13] Noname. Serat Praniti Wakja …Opcit. Hal. 31
[14] Moh. Hari Soewarno. Serat Darmogandul dan Suluk Gatoloco Tentang Islam. (PT. Antar Surya Jaya, Surabaya, 1985). Hal. 16-17. Buku ini menurut penulis banyak memiliki kelemahan dari sisi data, analisa, dan metodologi terutama dalam membahas tentang Serat Darmagandul dan Suluk Gatoloco.
[15] Noname. Serat Praniti Wakja …Opcit. Hal. 19-20
[16] Istilah Wisnu Murti menunjukkan salah satu nama penitisan Dewa Wisnu dalam tiap-tiap masa dalam pandangan masyarakat Jawa pra-Islam. Dalam dunia pewayangan Jawa, terutama kisah Ramayana, penitisan Wisnu menjelma menjadi Ramawijaya dan Laksmana. Pada ramawijaya menitis Wisnu Purba (baca : purbo yang “artinya memiliki wewenang”). Sedangkan pada diri Laksmana menitis Wisnu Sejati. Sedangkan pada era Mahabarata Wisnu Murti pernah menitis pada tokoh Kresna dan Arjuna. Sedangkan dalam Lakon wayang Wahyu Purba Sejati, digambarakan bahwa setelah meninggalnya Ramawijaya dan Laksmana, tokoh dari era Ramayana. Kemudian Wisnu Purba menitis pada tokoh Kresna dan Wisnu Sejati menitis pada Arjuna di era Mahabarata. Namun kisah lain menyebutkan bahwa Wisnu Sejati kemudian merasa tidak betah berada dalam tubuh Arjuna, sebab sebelumnya tokoh Laksmana terkenal sebagai karakter wayang yang menjalani hidup wadat (selibat=tidak menikah). Sedangkan Arjuna memiliki istri banyak. Dengan demikian Kresna, Raja Dwarawati atau Dwaraka, mendapat dua penitisan sekaligus yaitu Wisnu Murti dan Purba. Sedangkan Arjuna hanya merupakan penjelmaan Wisnu Murti.
[17] Noname. Serat Praniti Wakja …Opcit. Hal. 21-22. Artinya: “…aku ini adalah Wisynu Murti, berkewajiban membuat kesejahteraan di bumi, dan penitisanku dibumi tinggal tersisa dua kali, penitisan ketiga adalah diriku ini, sedangkan selanjutnya di Jenggala, pasca itu aku sudah tidak menitis sebagi manusia lagi, sebab hal itu bukan tanggungjawabku lagi, makmur atau rusaknya dunia serta keadaan alam ghaib, aku sudah tidak boleh campur tangan, semuanya sudah menjadi tanggung jawab sesuai tongkat yang dimiliki guruku .”
[18] Trimurti merupakan ajaran Hindhu yang menyebutkan bahwa terdapat tiga unsur ketuhanan yaitu Brahma, Wisnu, Syiwa, dan Wisnu. Brahma berperan sebagai pencipta alam raya, sedang Wisnu menjadi pemelihara, dan syiwa adalah anasir kekuatan perusak alam semesta.
Di kelas menegah ke bawah, kebangkitan ramalan ditandai dengan menguatnya isu-isu lawas tentang pentahapan jaman. Kondisi perubahan sosial kemasyarakatan yang terus didera oleh berbagai kesulitan hidup, krisis kemanusiaan berkepanjangan, dan dekadensi moral telah menumbuhkan angan-angan dan penantian akan kemunculan sosok ‘ratu adil’. Tidak terkecuali, ramalan seringkali menjadi pelarian atas kehidupan yang dianggap semakin tidak pasti.
Bagi masyarakat Jawa khususnya, ramalan Jayabaya (baca: Joyoboyo) merupakan ramalan yang dianggap memiliki akurasi tinggi dalam menerangkan berbagai pertanda perubahan jaman. Ramalan ini sering diagung-agungkan sebagai memiliki gambaran tentang masa depan secara jelas dan meyakinkan. Anehnya, masyarakat yang mempercayai “kebesaran” ramalan Jayabaya, umumnya tidak memiliki pengenalan mendalam tentang keyakinannya berdasarkan sumber ‘resmi’ ramalan Jayabaya. Sikap taken for granted yang mereka tunjukkan umumnya terbentuk hanya melalui proses oral dengan sumber informasi yang tidak jarang sukar dipertanggungjawabkan. Tidak jarang mereka hanya berpatokan kepada ‘kata orang’. Demikian juga sejumlah pihak yang memposisikan diri sebagi penolak ramalan Jayabaya, umumnya juga tidak membangun sikapnya berdasarkan pengetahuan ataupun proses kajian yang jelas. Bahkan kadangkala hanya didasarkan atas sikap mula-mula yang sudah antipati terhadap istilah ‘ramalan’, maka menjadi justifikasi bahwa ramalan Jayabaya pun memiliki kadar ‘negatif’ sebagaimana penilaian awalnya.
Hadirnya tulisan terkait ramalan Jayabaya ini bukan merupakan usaha untuk melegalkan praktek ramalan. Namun lebih merupakan upaya informatif bagi para pembaca guna bersama memahami hakikat ramalan Jayabaya. Sehingga kejelasan sikap dan tindakan pembaca, terutama sebagai seorang muslim, akan terbangun berlandaskan sebuah pemahaman yang nyata. Sekaligus dalam hal ini penulis berharap, akan tumbuh sikap bahwa baik dalam posisi menerima maupun menolak terhadap hakikat sesuatu hendaknya didasarkan pada sebuah pengetahuan dan bukan hanya berdasarkan penilaian awal yang belum tentu benar apalagi sekedar ‘kata orang’.
PENULIS RAMALAN JAYABAYA
Perlu diketahui, Ramalan Jayabaya merupakan kumpulan ramalan yang sangat populer di kalangan masyarakat Jawa. Ramalan yang sering disebut dengan istilah Jangka Jayabaya (baca: jongko joyoboyo) tersebut dinilai oleh banyak kalangan sebagai hasil karya pujangga yang memiliki akurasi tinggi dalam menggambarkan jaman dan kondisi masa depan yang diprediksi. Dengan kata lain sejumlah ‘orang Jawa’ sangat mempercayai ketepatan dan kesesuaian Jangka Jayabaya dalam menggambarkan masa depan.
Jangka Jayabaya memiliki banyak versi, minimal ada 9 (sembilan) macam versi. Umumnya kitab-kitab tentang ramalan Jayabaya tersebut merupakan hasil karya abad XVII atau XIX Masehi. Dari beragam versi Jangka Jayabaya tersebut, secara substansial kebanyakan memiliki kesamaan ide dan gagasan. Kemungkinan besar hal ini disebabkan beragam versi tersebut sebenarnya mengambil dari sebuah sumber induk yang sama yaitu kitab yang disebut Musarar atau Asrar. Oleh karena itulah maka penulis memutuskan untuk membatasi kajian ini berdasarkan Serat Pranitiwakya Jangka Jayabaya saja. Kitab diyakini merupakan karya Raden Ngabehi Ranggawarsita (baca: Ronggowarsito).[1] Serat Pranitiwakya ini dapat dikatakan mewakili ramalan Jayabaya dalam wujud yang bersifat lebih ringkas.
TOKOH JAYABAYA MENURUT SERAT PRANITI WAKYA
Jayabaya yang dimaksud dalam Jangka Jayabaya tidak lain adalah Prabu Jayabaya, raja Kediri, yang dianggap memiliki kemampuan luar biasa dalam meramal masa depan. Nama Prabu Jayabaya sendiri bagi masyarakat Jawa sering menjadi inspirasi dalam menciptakan gambaran tentang ratu adil. Keberadaannya kerap kali dikaitkan sebagi penitisan Dewa Wisnu yang terakhir di tanah Jawa.[2] Hal yang terakhir ini menjelaskan bahwa Prabu Jayabaya hidup pada atmosfer jaman Hindhuisme dimana seorang raja besar yang pernah hidup digambarkan memiliki hubungan dengan dunia mistik, sebagi wujud inkarnasi Dewa dalam rangka menjaga kelangsungan kehidupan di mayapada (bumi).
Akan tetapi pesan utama yang hendak disampaikan ramalan Jayabaya tentang sosok prabu Jayabaya, hakekatnya justru tidak mengkaitkan sang raja dengan Hindhuisme. Dalam Serat Praniti Wakya, Prabu Jayabaya digambarkan sebagai seorang yang telah menganut agama Islam. Bahkan dalam versi Serat Jayabaya yang lain digambarkan bahwa keislaman yang paling mendekati praktek Nabi adalah keislaman Prabu Jayabaya pada masa itu. “Yen Islama kadi Nabi, Ri Sang Jayabaya…” (Jika ingin melihat keislaman yang yang mendekati ajaran Nabi (Muhammad saw), orang demikian adalah Sang Jayabaya).[3] Gambaran keislaman yang dianggap terbaik demikian, jika memang benar terjadi, pembandingnya tentu adalah praktek keagamaan pada jaman Hindhuisme yang mendominasi tersebut. Parbu Jayabaya dianggap sebagai tokoh Muslim dengan parktek keislaman terbaik mendekati parktek Nabi dibandingkan banyak manusia pada masa itu yang masih mempraktekkan ajaran Hindhu.
Terkait dengan ‘keislaman’ Prabu Jayabaya, Serat Praniti Wakya menjelaskan bahwa raja Kediri tersebut telah berguru kepada Maulana Ngali Syamsujen yang berasal dari negeri Rum. Yang dimaksud dengan tokoh tersebut tentu adalah Maulana ‘Ali Syamsu Zein, seorang sufi yang kemungkinan besar berasal dari Damaskus. Pabu Jayabaya, digambarkan dalam Praniti Wakya sebagai sangat patuh menjalankan ajaran gurunya yang beragama Islam tersebut.
Lantas, apakah ‘keislaman’ Prabu Jayabaya yang hidup dalam atmosfer jaman kehindhuan ini dapat dipertanggungjawabkan sebagai informasi yang shahih ? Hal ini merupakan persoalan yang sulit diverifikasi kebenarannya. Sebab tidak terlalu banyak bahan yang dapat digunakan untuk merekonstruksi kehidupan keagamaan pada masa hidup Prabu Jayabaya. Bahkan tidak sedikit yang menggambarkan bahwa sosok Prabu Jayabaya tidak lain hanya sekedar tokoh fiktif belaka. Penulisan beragam versi Jangka Jayabaya pun, umumnya berasal dari masa belakangan, dimana Islam telah berkembang sebagai ajaran masyarakat. Namun hal ini penting dimengerti, terutama bagi para da’i yang berdakwah kepada kaum kebatinan dan kejawen, bahwa klaim mereka tentang Jangka Jayabaya merupakan kitab milik kaum kebatinan dan kejawen adalah salah. Sebab kitab ini sesungguhnya kitab ini dihasilkan berdasarkan pengaruh ajaran Islam.
Terkait keberadaan penganut agama Islam pada masa yang diyakini sebagai ‘Jaman’ Jayabaya, bukan merupakan persoalan yang mustahil. Prabu Jayabaya diyakini hidup pada abad XII, pada masa antara tahun 1135 dan 1157 M.[5] Sedangkan pada masa sebelumnya, yaitu era pemerintahan Erlangga, abad XI, di Leran, sekitar 8 (delapan) kilometer dari Gresik, telah ditemukan batu nisan dari makam seorang bernama Fathimah binti Maimun bin Hibatullah yang memberikan informasi bahwa wanita yang diyakini beragama Islam tersebut meninggal pada tanggal 7 Rajab 475 H atau tahun 1082 M.[6] Bahkan menurut Prof. Dr. Hamka jauh-jauh hari sebelumnya, dalam catatan China, disebutkan bahwa raja Arab telah mengirimkan duta untuk menyelidiki seorang ratu dari Holing (Kalingga) yang bernama Ratu Shi Ma yang diyakini telah melaksanakan hukuman had. Ratu tersebut ditahbiskan antara tahun 674-675 M. Prof. Dr. Hamka menyimpulkan bahwa raja Arab yang dimaksud adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang hidup pada masa itu dan wafat pada 680 M.[7] Demikan juga hasil kesimpulan Seminar Masuknya Islam ke Indonesia menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pertama kali adalah abad I H atau abad VII-VIII M.[8]
Karya sastra yang ditulis pada masa yang diperkirakan sebagai era Jayabaya, juga memiliki kecenderungan terpengaruh oleh keberadaan ajaran Islam. Disertasi Dr. Sucipta Wiryosuparto menyebutkan bahwa Kakawin Gatutkacasraya karya Mpu Panuluh, banyak menggunakan kata-kata dari Bahasa Arab.[9] Penggunaan kosa kata Arab yang serupa juga dapat ditemukan dalam Serat Baratayuddha, karya bersama Mpu Panuluh dan Mpu Sedah. Tulisan pujangga yang demikian tentu tidak mungkin terjadi kecuali telah terjadi interaksi dengan penganut agama Islam. Hal ini membuktikan bahwa telah ada komunitas umat Islam di Tanah Jawa pada masa yang diyakini sebagai era Jayabaya. Dengan demikian dakwah kepada penguasa, termasuk kepada Prabu Jayabaya pun bukan merupakan perihal yang mustahil. Demikian juga tentang keislaman sang raja Jayabaya merupakan persoalan yang sangat mungkin terjadi. Apalagi Jangka Jayabaya seringkali disebut-sebut diturunkan dari sejumlah karya yang lebih tua.
SUBSTANSI JANGKA JAYABAYA
Boleh dikatakan bahwa hampir sebagian besar isi Serat Praniti Wakya berbicara tentang “masa depan” Pulau Jawa dalam visi Jayabaya. Namun bila dicermati lebih mendalam, akan nampak bahwa Serat Praniti Wakya banyak mengambil isnpirasi penulisan dari sumber-sumber Islam berupa Al Quran dan Hadits. Berita-berita tentang akhir jaman dari kedua pusaka umat Islam tersebut kemudian diolah dalam redaksi pengarang Serat Praniti Wakya (dalam hal ini diyakini sebagai karya R. Ng. Ranggawarsita). Sehingga sifat universal dari ajaran Islam tentang berita akhir jaman kemudian diterangkan dan diterapkan dalam lingkup Jawa. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar ajaaran islam dalam Serat tersebut telah mengalami proses yang disebut ‘jawanisasi’. Namun demikian, substansi Islam itu sendiri masih nampak bersifat tetap dan tidak hilang.
Simak misalnya, penuturan Jayabaya tentang kiamat. Sang Prabu menyatakan bahwa kiamat adalah “kukuting djagad lan wiji kang gumelar iki, iku tekane djajal laknat …”.[10] Sorotan lain Serat Praniti Wakya juga membahas tentang pandangan Prabu Haji Jayabaya tentang akan datangnya Yakjuja wa Makjuja[11] (Ya’juj dan Ma’juj), kiamat kubra[12] (kiamat besar), lochil ma’pule[13] (lauh al mahfudz), dan lain sebagainya.
Konsep-konsep yang termuat dalam Serat Paraniti Wakya tersebut di atas jelas tidak dapat diingkari berasal dari ajaran Islam. Deskripsi beberapa terminologi Islam dalam Praniti Wakya sebagian memang tidak bersifat lugas dan jelas. Pembabakan Jaman menjadi 3 bagian seperti jaman kaliswara, kaliyoga, dan kalisengara jelas bukan merupakan visi ajaran Islam. Demikian juga beberapa ramalan tentang ‘akan’ munculnya sejumlah kerajaan di Jawa seperti Pajajaran, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram, Kartasura, dan Surakarta. Namun hal tersebut bukan tidak dapat dijelaskan. Penjelasan pertama, sangat mungkin sang pengarang Praniti Wakya, yaitu R. Ng. Ranggawarsita bermaksud menggambarkan pemahaman sang tokoh Prabu Jayabaya secara apa adanya, yaitu seorang muslim yang masih hidup dalam atmosfer Hindhuisme. Namun dengan penjelasan kedua, hal tersebut bisa saja timbul dari pemikiran pengarang sendiri. Saat menulis sejumlah versi ramalan Jayabaya, jelas Ranggawarsita telah hidup pada masa dimana dia bisa mengikuti sejumlah perkembangan terkait jatuh bangunnya sejumlah kerajaan pada masa lampau, seperti Pajajaran, Majapahit, Demak, Pajang, dan seterusnya. Penjelasan awal tersebut memiliki konsekuensi memungkinkan terjadinya pembenaran bahwa Ramalan Jayabaya memang seolah terbukti akurat. Namun mengingat bahwa tidak ada catatan pasti yang menyatakan bahwa Prabu Jayabaya merupakan sosok yang memang ‘pintar’ meramal masa depan, maka penjelasan kedua ini lebih dapat digunakan sebagai argumentasi. Sedang terkait banyaknya konsep Islam dalam ramalan Jayabaya yang kadang terlihat ‘kurang’ islami lagi, mungkin hal ini disebabkan pemahaman R. Ng. Ranggawarsita yang kurang tuntas dalam memahami Syariat Islam.
Ranggawarsita pernah belajar di Pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo, dibawah asuhan Kyai Hasan Bashori atau sering disebut Kyai Kasan Besari dalam lidah Jawa. Sebelum berangkat ke pondok, sebenarnya Ranggawarsita telah pandai membaca Al Quran. Oleh karena pengajaran awal di pondok Pesantren Tegalsari, adalah pelajaran tentang kajian Al Quran dan Fiqih maka Ranggawarsita menjadi jengkel. Bahkan untuk melampiaskan kekesalannya, dia sering keluar dari lingkungan pondok untuk berjudi mengadu ayam. Kyai Kasan Besari akhirnya mengetahui kekesalan Ranggawarsita, maka kepada sang Ranggawarsita kemudian diajarkan ilmu tassawuf.[14] Agaknya hal ini sangat berpengaruh terhadap pemahaman syariat Ranggawarsita pada masa selanjutnya.
Sedangkan ‘ramalan’ bersifat futuristik yang seolah memiiliki kesesuaian dengan jaman yang diramalkan, hal tersebut bukannya tidak dapat dijelaskan. Misalnya ungkapan bahwa “… Nusa Jawa bakal kinalungan wesi” (Pulau Jawa akan dikalungi besi). Sebagian penafsir memaknai ungkapan tersebut berkaitan bahwa di Jawa akan timbul industrialisasi. Ada pula yang memaknai bahwa kalung besi yang dimaksud adalah penggambaran bentuk rel kereta api. Jika penafsiran ini benar, maka perlu diketahui bahwa Ranggawarsita hidup pada masa penjajahan Belanda, dimana pengaruh Belanda dalam lingkungan Keraton telah merasuk sedemikian kuatnya. Sedangkan di bumi Eropa sendiri, dimulai dari Perancis dan menyebar ke seluruh Eropa termasuk Belanda, telah mengalami Revolusi industri sehingga industrialisasi maupun transportasi darat menggunakan kereta api sudah umum keberadaannya. Cerita-cerita demikian tentu dapat didengar di wilayah Keraton yang secara intens terlibat dalam pergaulan bangsa Belanda. Sudah tentu dalam pandangan Ranggawarsita, jika Jawa berada dalam genggaman Belanda, maka tidak urung ‘kalung besi’ akan mengitari Jawa. Hal itu bisa berupa industrialisasi maupun wujud rel kereta api.
Menariknya, serat Praniti Wakya sebagai buah karya R. Ng. Ranggawarsita, mediskripsikan pandangan Prabu Jayabaya terhadap tradisi kepemimpinan pendeta. Telah banyak diketahui bahwa para pendeta dalam sistem kasta Hindhu memiliki strata kedudukan paling tinggi secara sosial. Lebih tinggi dari kasta para raja dan bangsawan yang masuk ke strata kedua, yaitu kasta Ksatria. Diceritakan bahwa setelah selesai belajar kepada Maulana ‘Ali Syamsu Zain, Prabu Jayabaya bersama putranya yang bernama Prabu Anom Jayamijaya berniat mengantar kepulangan sang guru ke negeri Rum hingga ke pelabuhan. Sepulang dari pelabuhan, Prabu Jayabaya dan putranya menyempatkan diri singgah dipertapaan seorang pendeta bernama Ajar Subrata, saudara seperguruan sang Prabu namun masih menganut ajaran Hindhu. Sang pendeta bermaksud mencobai Prabu Jayabaya yang dikenal sebagi titisan Bathara Wisnu dengan memberi suguhan berupa 7 (tujuh) jenis yaitu kunyit satu rimpang, jadah (makanan dari beras ketan ditumbuk) darah, kejar sawit, bawang putih, bunga melati, dan bunga seruni masing-masing satu takir (wadah yang dibuat dari daun pisang, biasanya untuk meletakkan sesaji).[15]
Suguhan tersebut bagi Prabu Jayabaya, memiliki makna tersandi atau arti tersembunyi yang berada disebalik suguhan tersebut. Apalagi Prabu Jayabaya dan Ajar Subrata pernah menjadi saudara seperguruan sehingga dimungkinkan mereka memiliki pengetahuan yang kurang lebih sama. Suguhan tersebut membuat sang Prabu sangat marah dan akhirnya membunuh sang pendeta sekaligus putrinya yang menjadi istri dari Prabu Anom Jayamijaya, putranya. Pasca peristiwa tersebut Jayabaya menerangkan bahwa pembunuhan tersebut dilakukan untuk menghukum kekurangajaran sang pendeta yang secara tersandi berniat mengakhiri kekuasaan raja-raja di Jawa. Suguhan tersebut memiliki makna bahwa jika Prabu Jayabaya memakannya maka kekuasaan akan tetap berada ditangan pendeta dan jaman baru, termasuk di dalamnya berkembangnya ajaran Islam, tidak akan pernah terjadi.
Demikianlah pandangan Serat Praniti Wakya, bahwa Prabu Jayabaya adalah titisan Wisnu yang hanya tinggal dua kali akan turun ke Marcapada. Pasca Prabu Jayabaya, dikisahkan bahwa Wisnu akan menitis di Jenggala dan setelah itu tidak akan pernah menitis kembali serta tidak memiliki tanggung jawab lagi terhadap kemakmuran ataupun kerusakan bumi maupun alam ghaib.
“… Ingsun iki pandjenenganing Wisjnu Murti[16], kebubuhan agawe rahardjaning bumi, dene panitahingsun mung kari pindo, katelu ingsun iki, ing sapungkuringsun saka Kediri nuli tumitah ana ing Djenggala, wus ora tumitah maneh, karana wus dudu bubuhan ingsun, gemah rusaking djagad, lawan kahananing wus ginaib, ingsun wus ora kena melu-melu, tunggal ana sadjroning kakarahe guruningsun, ...”[17]
Pernyataan di atas menggambarkan bahwa ajaran kedewaan dalam Hindhuisme tidak akan berlaku lagi pasca penitisan wisnu di Jenggala. Hal ini diperkuat pula bahwa pasca penitisan di Jenggala, Wisnu tidak akan memiliki tanggung jawab lagi terhadap keutuhan dunia nyata maupun dunia maya alam ghaib, termasuk alam kedewaan sekalipun. Dapat kita lihat pula bahwa pasca itu, Majapahit yang dianggap sebagai kerajaan tersohor di nusantara sekalipun ternyata sudah tidak melaksanakan ajaran Hindhu secara murni, namun menjalankan sinkertisme antara ajaran Syiwa dan Budha. Selanjutnya, jaman akan berubah menuju jaman Islam yang diisyaratkan bahwa semua keadaan akan menjadisatu dengan tongkat atau pegangan guru Jayabaya yang bernama Maulana ‘Ali Syamsu Zein. Bahkan secara tersirat Serat Praniti Wakya sebenarnya mencoba mengungkapkan bahwa Bathara Wisnu, Dewa yang masuk dalam Trimurti[18] dan memiliki tanggung jawab memelihara alam semesta, ternyata telah pula menerima ajaran Islam sebagai agamanya.
PENUTUP
Demikian sekilas gambaran tentang Serat Praniti Wakya Jangka Jayabaya. Kitab tersebut pada dasarnya merupakan buku yang mencoba untuk memberikan apresiasi terhadap keberadaan Islam di Pulau Jawa. Hatta, di dalamnya mengandung banyak hal-hal yang musykil dan seolah tidak sesuai dengan ajaran Islam, namun dengan memandang kitab tersebut sebagai bagian dari proses dakwah di Pulau Jawa, maka perlu pula kaum muslimin mengkaji dan mengapresiasi serat tersebut. Sebab telah banyak kitab Jawa yang sebenarnya memiliki nafas Islam secara kental, namun diklaim sebagi kitab Hindhu maupun kebatinan. Hal ini sudah tentu disebabkan kepedulian umat Islam yang masih minim dan sekaligus kurangnya pengetahuan terhadap naskah-naskah lama karya pujangga. Juga mengindikasikan bahwa kajian keilmuan dikalangan umat Islam, saat ini, masih belum membudaya.
Serat Praniti Wakya Jangka Jayabaya, karya seorang pujangga R. Ng. Ranggawarsita, seolah merupakan bentuk sinkretis perpaduan antara Islam dan kejawen. Akan tetapi nampak bahwa ajaran Islam lebih dominan sebagai substansi. Sedangkan ‘kejawen’ sendiri terposisikan sebagai kulit luar dari bentuk pemikiran Jawa yang telah terisi dengan ruh Islam.
Selanjutnya, jika pembaca termasuk ke dalam kelompok kalangan yang mempercayai ramalan Jayabaya sebagai ramalan yang memiliki akurasi tinggi, maka bersegeralah kembali kepada Islam dan sumber-sumbernya berupa Al Quran dan Ash Shunnah. Sebab, hakikatnya “ramalan” Jayabaya merupakan bagian dari upaya memahami Islam melalui proses pencarian panjang yang belum selesai. Sedangkan bagi kalangan yang menolak sebelum mengkaji hal ini sebelumnya, maka hendaknya akan dapat mengubah sikap terhadap pemahaman hakikat segala sesuatu. Bahwa sahnya sebuah amalan adalah pasca terbitnya sebuah kepahaman mendalam.
FOOTNOTE
[1] Moh. Hari Soewarno. Ramalan Jayabaya Versi Sabda Palon. (PT. Yudha Gama Corp, Jakarta, 1982). Hal.
[2] Noname. Serat Praniti Wakja Djangka Djojobojo. (Penerbit Keluarga Soebarno, Surakarta, tth). Hal. 5
[3] Moh. Hari Soewarno. Ramalan Jayabaya …. Opcit. Hal. 20
[4] Noname. Serat Praniti Wakja … Opcit. Hal. 5. Artinya : Sedang yang menjadi pembuka cerita adalah beliau Prabu Haji Jayabaya, raja yang seperti Dewa, yang disebut ratu adil, populer di dunia sebagai titisan Dewa Wisnu.
[5] Moh. Hari Soewarno. Ramalan Jayabaya … Opcit. Hal. 16
[6] Moh. Hari Soewarno. Ramalan Jayabaya … Opcit. Hal15-16. Juga M. C. Ricklefs. A History of Modern Indonesia. (Macmillan Education Ltd, London and Hampshire, 1981. Edisi Indonesia :Sejarah Indonesia Modern. Terjemah oleh Drs. Dharmono Hardjowidjono. Cetakan II. (Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992). Hal. 3-4
[7] Prof. Dr. Hamka. Sejarah Umat Islam. Edisi Baru. Cetakan V. (Pustaka Nasional Ltd, Singapura, 2005). Hal. 671-673
[8] Panitia Seminar Masuknya Islam ke Indonesia. Risalah Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia: Kumpulan Pidato dan Pendapat Para Pemimpin, Pemrasaran, dan Pembanding dalam Seminar tanggal 17 Sampai 20 Maret 1963 di Medan. (Panitia Seminar Masuknya Islam ke Indonesia, Medan, 1963). Hal. 265
[9] Selengkapnya tentang kata-kata Bahasa Arab dalam Kakawain Gathutkacasraya lihat Prof. Dr. Sucipta Wiryosuparto. Kakawin Gatutkaca Craya. (Disertasi Universitas Indonesia, Jakarta, 1960).
[10] Noname. Serat Praniti Wakja …Opcit. Hal. 28. Artinya: Kiamat adalah hancurnya dunia dan benih (kehidupan) yang terhampar ini, itu (ditandai) dengan datangnya Dajjal laknat …
[11] Noname. Serat Praniti Wakja …Opcit. Hal. 29
[12] Noname. Serat Praniti Wakja …Opcit. Hal. 30
[13] Noname. Serat Praniti Wakja …Opcit. Hal. 31
[14] Moh. Hari Soewarno. Serat Darmogandul dan Suluk Gatoloco Tentang Islam. (PT. Antar Surya Jaya, Surabaya, 1985). Hal. 16-17. Buku ini menurut penulis banyak memiliki kelemahan dari sisi data, analisa, dan metodologi terutama dalam membahas tentang Serat Darmagandul dan Suluk Gatoloco.
[15] Noname. Serat Praniti Wakja …Opcit. Hal. 19-20
[16] Istilah Wisnu Murti menunjukkan salah satu nama penitisan Dewa Wisnu dalam tiap-tiap masa dalam pandangan masyarakat Jawa pra-Islam. Dalam dunia pewayangan Jawa, terutama kisah Ramayana, penitisan Wisnu menjelma menjadi Ramawijaya dan Laksmana. Pada ramawijaya menitis Wisnu Purba (baca : purbo yang “artinya memiliki wewenang”). Sedangkan pada diri Laksmana menitis Wisnu Sejati. Sedangkan pada era Mahabarata Wisnu Murti pernah menitis pada tokoh Kresna dan Arjuna. Sedangkan dalam Lakon wayang Wahyu Purba Sejati, digambarakan bahwa setelah meninggalnya Ramawijaya dan Laksmana, tokoh dari era Ramayana. Kemudian Wisnu Purba menitis pada tokoh Kresna dan Wisnu Sejati menitis pada Arjuna di era Mahabarata. Namun kisah lain menyebutkan bahwa Wisnu Sejati kemudian merasa tidak betah berada dalam tubuh Arjuna, sebab sebelumnya tokoh Laksmana terkenal sebagai karakter wayang yang menjalani hidup wadat (selibat=tidak menikah). Sedangkan Arjuna memiliki istri banyak. Dengan demikian Kresna, Raja Dwarawati atau Dwaraka, mendapat dua penitisan sekaligus yaitu Wisnu Murti dan Purba. Sedangkan Arjuna hanya merupakan penjelmaan Wisnu Murti.
[17] Noname. Serat Praniti Wakja …Opcit. Hal. 21-22. Artinya: “…aku ini adalah Wisynu Murti, berkewajiban membuat kesejahteraan di bumi, dan penitisanku dibumi tinggal tersisa dua kali, penitisan ketiga adalah diriku ini, sedangkan selanjutnya di Jenggala, pasca itu aku sudah tidak menitis sebagi manusia lagi, sebab hal itu bukan tanggungjawabku lagi, makmur atau rusaknya dunia serta keadaan alam ghaib, aku sudah tidak boleh campur tangan, semuanya sudah menjadi tanggung jawab sesuai tongkat yang dimiliki guruku .”
[18] Trimurti merupakan ajaran Hindhu yang menyebutkan bahwa terdapat tiga unsur ketuhanan yaitu Brahma, Wisnu, Syiwa, dan Wisnu. Brahma berperan sebagai pencipta alam raya, sedang Wisnu menjadi pemelihara, dan syiwa adalah anasir kekuatan perusak alam semesta.