Memang benar, Khadijah binti Khuwailid memiliki paman seorang rahib bernama Waraqah bin Naufal. Tapi Waraqah bukanlah orang yang menikahkan Khadijah dengan Muhammad.
Dalam buku-buku sejarah Nabi, disebutkan data-data valid bahwa yang meminang Khadijah adalah paman Muhammad yang bernama Hamzah bin Abdul Muthalib. Lalu yang menikahkan Muhammad dengan Khadijah adalah paman Khadijah yang bernama ‘Amru bin Asad, sedangkan yang memberikan khutbah nikah adalah Abu Thalib, paman Muhammad. Maharnya pun bukan Alkitab (Bibel), tapi 20 ekor unta. (lihat: As-Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Hisyam, juz I, hlm. 201).
Dalam buku-buku sejarah Nabi, disebutkan data-data valid bahwa yang meminang Khadijah adalah paman Muhammad yang bernama Hamzah bin Abdul Muthalib. Lalu yang menikahkan Muhammad dengan Khadijah adalah paman Khadijah yang bernama ‘Amru bin Asad, sedangkan yang memberikan khutbah nikah adalah Abu Thalib, paman Muhammad. Maharnya pun bukan Alkitab (Bibel), tapi 20 ekor unta. (lihat: As-Sirah An-Nabawiyah, Ibnu Hisyam, juz I, hlm. 201).
Para penuduh itu mengklaim Muhammad menikahi Khadijah dengan tatacara Kristen, karena mereka beranggapan bahwa pada waktu itu Islam belum ada (Muhammad belum menjadi Nabi). Tidak mungkin Muhammad menikah dengan ritual Yahudi, karena sangat dibenci bangsa Arab. Inilah logika yang tidak jelas juntrungannya.
Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menganalisa ritual pernikahan yang dipakai oleh Muhammad dan Khadijah. Kita tidak usah mencari-cari dan merekayasa tatacara pernikahan Yahudi maupun Kristen yang sama-sama tidak diterima oleh bangsa Arab pada waktu itu.
Bangsa Arab pada waktu itu masih mengikuti adat-istiadat yang berasal dari jejak syariat Nabi Ibrahim yang hanif. Hal ini terbukti, mereka masih melaksanakan syariat khitan dan menghormati Ka’bah yang didirikan oleh Ibrahim dan putranya, Ismail AS. Secara historis, bangsa Arab adalah keturunan Ibrahim melalui Ismail yang menikahi penduduk Mekkah dari suku Jurhum yang berasal dari Yaman. Keturunan Ismail inilah yang beranak-pinak di Mekkah yang disebut sebagai Bani Ismail atau Adnaniyyun.
Sampai zaman Muhammad belum diangkat Allah sebagai Nabi, bangsa Arab meyakini bahwa pemeliharaan serta kepemimpinan dalam upacara keagamaan di depan Ka’bah itu adalah hak Bani Ismail. Salah satu pemimpin kabilah Quraisy dari keturunan Ismail adalah Qushai.
Dengan demikian, satu-satunya syariat yang mungkin diterapkan dalam pernikahan Muhammad dengan Khadijah adalah syariat hanif Nabi Ibrahim.
Lantas apa agama yang dianut oleh Khadijah waktu itu? Dr Muhammad Abduh Yamani dalam buku Khadijah: Drama Cinta Abadi Sang Nabi, menyebutkan bahwa Khadijah adalah penganut agama Ibrahim AS (Al-Hanif) yang mendapat gelar “ath-thahirah” (perempuan suci)
Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menganalisa ritual pernikahan yang dipakai oleh Muhammad dan Khadijah. Kita tidak usah mencari-cari dan merekayasa tatacara pernikahan Yahudi maupun Kristen yang sama-sama tidak diterima oleh bangsa Arab pada waktu itu.
Bangsa Arab pada waktu itu masih mengikuti adat-istiadat yang berasal dari jejak syariat Nabi Ibrahim yang hanif. Hal ini terbukti, mereka masih melaksanakan syariat khitan dan menghormati Ka’bah yang didirikan oleh Ibrahim dan putranya, Ismail AS. Secara historis, bangsa Arab adalah keturunan Ibrahim melalui Ismail yang menikahi penduduk Mekkah dari suku Jurhum yang berasal dari Yaman. Keturunan Ismail inilah yang beranak-pinak di Mekkah yang disebut sebagai Bani Ismail atau Adnaniyyun.
Sampai zaman Muhammad belum diangkat Allah sebagai Nabi, bangsa Arab meyakini bahwa pemeliharaan serta kepemimpinan dalam upacara keagamaan di depan Ka’bah itu adalah hak Bani Ismail. Salah satu pemimpin kabilah Quraisy dari keturunan Ismail adalah Qushai.
Dengan demikian, satu-satunya syariat yang mungkin diterapkan dalam pernikahan Muhammad dengan Khadijah adalah syariat hanif Nabi Ibrahim.
Lantas apa agama yang dianut oleh Khadijah waktu itu? Dr Muhammad Abduh Yamani dalam buku Khadijah: Drama Cinta Abadi Sang Nabi, menyebutkan bahwa Khadijah adalah penganut agama Ibrahim AS (Al-Hanif) yang mendapat gelar “ath-thahirah” (perempuan suci)