Dewasa ini banyak muncul dipermukaan berbagai polemik yang berkaitan dengan usulan perubahan Undang-Undang Perkawinan (UUP). Salah satunya adalah masalah poligami. Berkaitan dengan hal ini, maka masalah pokok yang perlu kita kaji lebih lanjut adalah bagaimana pandangan Islam mengenai poligami. (2)
Pengertian Poligami
Poligami ialah mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang sama. Berpoligami atau menjalankan (melakukan) poligami sama dengan poligini yaitu mengawini beberapa wanita dalam waktu yang sama.
Drs. Sidi Ghazalba mengatakan bahwa Poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari satu orang perempuan. Lawannya adalah poliandri, yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki.
Sebenarnya istilah poligami itu mengandung pengertian poligini dan poliandri. Tetapi karena poligami lebih banyak dikenal terutama di Indonesia dan negara-negara yang memakai hukum Islam, maka tanggapan tentang poligini ialah poligami.
Pengertian Poligami
Poligami ialah mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang sama. Berpoligami atau menjalankan (melakukan) poligami sama dengan poligini yaitu mengawini beberapa wanita dalam waktu yang sama.
Drs. Sidi Ghazalba mengatakan bahwa Poligami adalah perkawinan antara seorang laki-laki dengan lebih dari satu orang perempuan. Lawannya adalah poliandri, yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan beberapa orang laki-laki.
Sebenarnya istilah poligami itu mengandung pengertian poligini dan poliandri. Tetapi karena poligami lebih banyak dikenal terutama di Indonesia dan negara-negara yang memakai hukum Islam, maka tanggapan tentang poligini ialah poligami.
Tantangan orientalis terhadap Poligami
Para orientalis mengklaim bahwa poligami itu merupakan produk ajaran Islam. Dengan tujuan menteror produk dan menghina ajaran Islam, mereka banyak mengemukakan segi-segi negatif dalam berpoligami.
Kalau kita mengkaji sejarah, maka akan terbuka bahwa masalah poligami itu sudah sejak lama sebelum Islam datang. Bahkan poligami itu merupakan warisan dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, sampai pada masa Martin Luther, seorang penganjur besar Protestan, tidak nampak adanya larangan poligami. Tujuan tersebut dapat dijawab dengan beberapa bukti sejarah, bahwa poligami sudah berjalan lama sebelum Islam datang, sebagai berikut:
Westernak berkata: "Poligami dengan sepengetahuan Dewan Gereja itu berjalan sampai abad ke 17 M."
Pada tahun 1650 M Majelis Tinggi Perancis mengeluarkan edaran tentang diperbolehkannya seorang laki-laki mengumpulkan dua orang isteri. Surat edaran itu dikeluarkan karena kurangnya kaum laki-laki akibat perang 30 tahun terus menerus.
Agama Yahudi memperbolehkan poligami yang tidak terbatas. Kenyataannya Nabi Yakub, Nabi Daud, dan Nabi Sulaiman mempunyai banyak isteri. Nabi Ibrahim juga mempunyai dua orang isteri Hajar dan Sarah.
Penduduk asli Australia, Amerika, Cina, Jerman dan Sisilia terkenal sebagai bangsa yang melakukan poligami sebelum datangnya agama masehi. Poligami yang mereka lakukan tanpa adanya batas dan tanpa adanya syarat-syarat keadilan terhadap beberapa isterinya.
Ahli pikir Inggris Harbert Sebenser dalam bukunya "Ilmu Masyarakat" menjelaskan bahwa sebelum Islam datang, wanita diperjualbelikan atau digadaikan bahkan dipinjamkan. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan peraturan khusus yang dikeluarkan oleh gereja dan berjalan sampai pertengahan abad 11 M.(4)
Dengan ini jelas bahwa poligami sudah menjadi kebudayaan pada masa sebelum Islam datang.
Melihat kenyataan yang jelas-jelas merendahkan martabat kaum wanita itu, maka Islam melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulnya, membenahi dan mengadakan penataan terhadap adat istiadat yang benar-benar tidak mendatangkan kemaslahatan dan meneruskan adat kebiasaan yang menjunjung tinggi martabat manusia, dalam hal ini termasuk masalah poligami yang tidak terbatas. Islam membolehkan poligami dengan syarat adil. Hal ini demi menjaga hak dan martabat wanita.
Hukum Poligami dalam Islam
Menurut Mahmud Syaltut --mantan Syekh Al-Azhar--, hukum poligami adalah mubah. Poligami dibolehkan selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap para isteri. Jika terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya penganiayaan dan untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa yang dikhawatirkan itu, dianjurkan bagi kaum laki untuk mencukupkan beristeri satu orang saja. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa kebolehan berpoligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan tidak terjadinya penganiayaan (5) yaitu penganiayaan terhadap para isteri.
Zyamahsyari dalam kitabnya tafsir Al Kasy-syaaf mengatakan, bahwa poligami menurut syari'at Islam adalah suatu rukhshah (kelonggaran) ketika darurat. Sama halnya dengan rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang dibolehkan buka puasa Ramadhan ketika dalam perjalanan. Darurat yang dimaksud adalah berkaitan dengan tabiat laki-laki dari segi kecenderungannya untuk bergaul lebih dari seorang isteri. Kecenderungan yang ada pada diri seorang laki-laki itulah seandainya syari'at Islam tidak memberikan kelonggaran berpoligami niscaya akan membawa kepada perzinaan, oleh sebab itu poligami diperbolehkan dalam Islam. (6)
Dasar hukum poligami disebutkan dalam surat an-Nisa' ayat 3 yang artinya:
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki yang demikian itu adalah lebih dekat tidak berbuat aniaya." (7)
Dalam ayat ini disebutkan bahwa para wali yatim boleh mengawini yatim asuhannya dengan syarat harus adil, yaitu harus memberi mas kawin kepadanya sebagaimana ia mengawini wanita lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah RA ketika ditanya oleh Uswah bin Al-Zubair RA mengenai maksud ayat 3 Surat An-Nisa' tersebut yaitu:
"Jika wali anak wanita tersebut khawatir atau tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka wali tersebut tidak boleh mengawini anak yatim yang berada dalam perwaliannya itu. Tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang isteri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya, jika tidak, maka ia hanya boleh beristeri seorang dan inipun ia tidak boleh berbuat zhalim terhadap isteri yang seorang itu. Apabila ia masih takut pula akan berbuat zhalim terhadap isterinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya." (8)
Sehubungan dengan ini, Syekh Muhammad Abduh mengatakan: Haram berpoligami bagi seseorang yang merasa khawatir akan berlaku tidak adil. (9)
Jadi maksud ayat 3 Surat An-nisa' itu adalah bahwa kamu boleh mengawini yatim dalam asuhanmu dengan syarat ail. Bila tidak dapat berlaku demikian, hendaklah kamu memilih wanita yang lain saja. Sebab perempuan selain yatim yang dalam asuhanmu masih banyak jumlahnya. Namun jika kamu tidak dapat berbuat adil, maka kawinilah seorang wanita saja.
Sebelum turun ayat 3 Surat An-Nisa' diatas, banyak sahabat yang mempunyai isteri lebih dari empat orang, sesudah ada pembatalan paling banyak poligami itu empat, maka Rasulullah memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang mempunyai isteri lebih dari empat, untuk menceraikan isteri-isterinya, seperti disebutkan dalam hadits yang artinya:
"Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW berkata kepada Ghailan bin Umaiyyah Al Tsaqafy yang waktu masuk Islam mempunyai sepuluh isteri, pilihlah empat diantara mereka dan ceraikanlah yang lainnya." (HR. Nasa'iy dan Daruquthni)
Dalam hadits lain disebutkan pula tentang pengakuan seorang sahabat bernama Qais bin Harits yang artinya:
"Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isteri saya, lalu saya ceritakan kepada Nabi Muhammad SAW maka beliau bersabda: "Pilihlah empat orang dari mereka."
(HR. Abu Daud)
Berdasarkan pemahaman terhadap ayat dan hadits yang membatasi poligami, maka timbul pertanyaan: "Asas perkawinan dalam Islam termasuk monogami atau poligamikah?"
Dalam masalah ini ada dua pendapat:
1.
Bahwa asas perkawinan dalam Islam itu Monogami.
2.
Bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah Poligami
Golongan pertama beralasan bahwa Allah SWT memperbolehkan poligami itu dengan syarat harus adil. Mengenai keadilan ini harus dikaitkan dengan firman Allah SWT dalam Surat An Nisaa' ayat 129 yang artinya:
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang."
Karena ayat tersebut menjelaskan bahwa tidak akan ada seorangpun yang dapat berbuat adil, suatu petunjuk bahwa asas pernikahan dalam Islam adalah monogami.
Bagi yang berpendapat bahwa asas pernikahan itu adalah poligami, beralasan bahwa antara ayat 3 dan ayat 129 Surat An-Nisa' tidak terdapat pertentangan. Hanya saja keadilan yang dimaksud pada kedua ayat tersebut adalah keadilan lahiriyah yang dapat dikerjakan oleh manusia bukan adil dalam hal cinta dan kasih sayang.
Adil yang tidak dapat dilaksanakan oleh seseorang seperti tercantum dalam ayat 129 Surat An-Nisa' itu adalah adil dalam cinta dan jima'. Ini memang logis. Umpama dari Ahad giliran di rumah isteri pertama dengan memberikan nafkah batin, hari Senin giliran isteri kedua memberikan nafkah yang sama, demikian selanjutnya pada isteri ketiga dan keempat. Adil yang semacam ini jarang terjadi, sebab gairah untuk memberikan nafkah batin ini tidak selalu ada. Asalkan perbuatan itu tidak disengaja, maka itu tidak dosa.
Golongan yang berpendapat bahwa asas melaksanakan poligami hanya dalam keadaan memaksa atau darurat, Muhammad Rasyid Ridha mencantumkan beberapa hal yang boleh dijadikan alasan berpoligami, antara lain:
1.Isteri mandul
2.Isteri yang mempunyai penyakit yang dapat menghalangi suaminya untuk memberikan nafkah batin
3.Bila suami mempunyai kemauan seks luar biasa (over dosis), sehingga isterinya haid beberapa hari saja mengkhawatirkan dirinya berbuat serong.
4.Bila suatu daerah yang jumlah perempuannya lebih banyak daripada laki-laki. Sehingga apabila tidak poligami mengakibatkan banyak wanita yang berbuat serong. (10)
Dari dua pendapat diatas, baik asas perkawinan itu monogami ataupun poligami, yang jelas Islam membolehkan adanya poligami, dengan syarat adil. Syarat adil ini merupakan suatu penghormatan kepada wanita bila tidak dipenuhi akan mendatangkan dosa. Kalau suami tidak berlaku adil kepada isterinya, berarti ia tidak Mu'asyarah bi Al-Ma'ruf kepada isterinya, sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Quran Surat An-Nisa' ayat 19 yang artinya:
"Dan bergaullah dengan mereka secara patut (baik)." (11)
Dalam kedudukan suami sebagai pemimpin/kepala rumah tangga, ia wajib Mu'asyarah bi Al-Ma'ruf kepada isterinya. Ia tidak boleh berbuat semena-mena terhadap isterinya, karena dalam pergaulan hidup berumah tangga, isteri boleh menuntut pembatalan akad nikah dengan jalan khulu', bila suami tidak mau atau tidak mampu memberi nafkah, atau tidak berlaku adil, atau suami berbuat serong, penjudi, pemabuk, dan sebagainya, dan isteri tidak rela (lihat Surat Al-Baqarah ayat 229). Akibat khulu' suami tidak bisa ruju' tanpa persetujuan bekas isteri. Itulah konsekwensi bagi suami sebagai kepala rumah tangga yang tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya, yang berarti ia tidak bergaul secara patut/baik terhadap isterinya.
*Penulis Pakar Perbandingan Madzhab Hukum Islam dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.
Referensi :
(2) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT. Balai Pustaka, Cet I, 1988, hlm. 693
(3) Drs. Sidi Ghazalba, Menghadapi Soal-soal Perkawinan,Jakarta , Pustaka Antara, 1975, hlm. 25
(4) Ahmad Muhammad Jamal, Muftarayah 'Ala al-Islam,Beirut, dar al-Fikr, hlm 107-108
(5) Prof. Dr. Mahmud Syaltut, Islam Aqidah wa Syari'ah,Mesir, Dar al-Qalam, Cet III, 1966, hlm. 269
(6) Muhammad al-Bahy, al-Islam wa Tijah al-Mar'ah al-Mu'ashirah,Mesir, Maktabah wahbah, 1978, hlm. 42
(7) Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya,Saudi Arabia, Khadim al-Haramain al-Syarifain, tt, hlm. 115
(8) Masyfuk Zuhdi, Masa'il Fiqhiyah,Jakarta, Haji Mas Agung, 1990, hlm.16
(9) Muhammad al-Bahy, Op. cit, hlm 45
(10) Muhammad Abduh, al-Manar, juz IV, hlm. 350
(11) Departemen Agama RI, Op. cit, hlm. 119
Para orientalis mengklaim bahwa poligami itu merupakan produk ajaran Islam. Dengan tujuan menteror produk dan menghina ajaran Islam, mereka banyak mengemukakan segi-segi negatif dalam berpoligami.
Kalau kita mengkaji sejarah, maka akan terbuka bahwa masalah poligami itu sudah sejak lama sebelum Islam datang. Bahkan poligami itu merupakan warisan dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, sampai pada masa Martin Luther, seorang penganjur besar Protestan, tidak nampak adanya larangan poligami. Tujuan tersebut dapat dijawab dengan beberapa bukti sejarah, bahwa poligami sudah berjalan lama sebelum Islam datang, sebagai berikut:
Westernak berkata: "Poligami dengan sepengetahuan Dewan Gereja itu berjalan sampai abad ke 17 M."
Pada tahun 1650 M Majelis Tinggi Perancis mengeluarkan edaran tentang diperbolehkannya seorang laki-laki mengumpulkan dua orang isteri. Surat edaran itu dikeluarkan karena kurangnya kaum laki-laki akibat perang 30 tahun terus menerus.
Agama Yahudi memperbolehkan poligami yang tidak terbatas. Kenyataannya Nabi Yakub, Nabi Daud, dan Nabi Sulaiman mempunyai banyak isteri. Nabi Ibrahim juga mempunyai dua orang isteri Hajar dan Sarah.
Penduduk asli Australia, Amerika, Cina, Jerman dan Sisilia terkenal sebagai bangsa yang melakukan poligami sebelum datangnya agama masehi. Poligami yang mereka lakukan tanpa adanya batas dan tanpa adanya syarat-syarat keadilan terhadap beberapa isterinya.
Ahli pikir Inggris Harbert Sebenser dalam bukunya "Ilmu Masyarakat" menjelaskan bahwa sebelum Islam datang, wanita diperjualbelikan atau digadaikan bahkan dipinjamkan. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan peraturan khusus yang dikeluarkan oleh gereja dan berjalan sampai pertengahan abad 11 M.(4)
Dengan ini jelas bahwa poligami sudah menjadi kebudayaan pada masa sebelum Islam datang.
Melihat kenyataan yang jelas-jelas merendahkan martabat kaum wanita itu, maka Islam melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulnya, membenahi dan mengadakan penataan terhadap adat istiadat yang benar-benar tidak mendatangkan kemaslahatan dan meneruskan adat kebiasaan yang menjunjung tinggi martabat manusia, dalam hal ini termasuk masalah poligami yang tidak terbatas. Islam membolehkan poligami dengan syarat adil. Hal ini demi menjaga hak dan martabat wanita.
Hukum Poligami dalam Islam
Menurut Mahmud Syaltut --mantan Syekh Al-Azhar--, hukum poligami adalah mubah. Poligami dibolehkan selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap para isteri. Jika terdapat kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya penganiayaan dan untuk melepaskan diri dari kemungkinan dosa yang dikhawatirkan itu, dianjurkan bagi kaum laki untuk mencukupkan beristeri satu orang saja. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa kebolehan berpoligami adalah terkait dengan terjaminnya keadilan dan tidak terjadinya penganiayaan (5) yaitu penganiayaan terhadap para isteri.
Zyamahsyari dalam kitabnya tafsir Al Kasy-syaaf mengatakan, bahwa poligami menurut syari'at Islam adalah suatu rukhshah (kelonggaran) ketika darurat. Sama halnya dengan rukhshah bagi musafir dan orang sakit yang dibolehkan buka puasa Ramadhan ketika dalam perjalanan. Darurat yang dimaksud adalah berkaitan dengan tabiat laki-laki dari segi kecenderungannya untuk bergaul lebih dari seorang isteri. Kecenderungan yang ada pada diri seorang laki-laki itulah seandainya syari'at Islam tidak memberikan kelonggaran berpoligami niscaya akan membawa kepada perzinaan, oleh sebab itu poligami diperbolehkan dalam Islam. (6)
Dasar hukum poligami disebutkan dalam surat an-Nisa' ayat 3 yang artinya:
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki yang demikian itu adalah lebih dekat tidak berbuat aniaya." (7)
Dalam ayat ini disebutkan bahwa para wali yatim boleh mengawini yatim asuhannya dengan syarat harus adil, yaitu harus memberi mas kawin kepadanya sebagaimana ia mengawini wanita lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah RA ketika ditanya oleh Uswah bin Al-Zubair RA mengenai maksud ayat 3 Surat An-Nisa' tersebut yaitu:
"Jika wali anak wanita tersebut khawatir atau tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka wali tersebut tidak boleh mengawini anak yatim yang berada dalam perwaliannya itu. Tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang isteri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya, jika tidak, maka ia hanya boleh beristeri seorang dan inipun ia tidak boleh berbuat zhalim terhadap isteri yang seorang itu. Apabila ia masih takut pula akan berbuat zhalim terhadap isterinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya." (8)
Sehubungan dengan ini, Syekh Muhammad Abduh mengatakan: Haram berpoligami bagi seseorang yang merasa khawatir akan berlaku tidak adil. (9)
Jadi maksud ayat 3 Surat An-nisa' itu adalah bahwa kamu boleh mengawini yatim dalam asuhanmu dengan syarat ail. Bila tidak dapat berlaku demikian, hendaklah kamu memilih wanita yang lain saja. Sebab perempuan selain yatim yang dalam asuhanmu masih banyak jumlahnya. Namun jika kamu tidak dapat berbuat adil, maka kawinilah seorang wanita saja.
Sebelum turun ayat 3 Surat An-Nisa' diatas, banyak sahabat yang mempunyai isteri lebih dari empat orang, sesudah ada pembatalan paling banyak poligami itu empat, maka Rasulullah memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang mempunyai isteri lebih dari empat, untuk menceraikan isteri-isterinya, seperti disebutkan dalam hadits yang artinya:
"Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW berkata kepada Ghailan bin Umaiyyah Al Tsaqafy yang waktu masuk Islam mempunyai sepuluh isteri, pilihlah empat diantara mereka dan ceraikanlah yang lainnya." (HR. Nasa'iy dan Daruquthni)
Dalam hadits lain disebutkan pula tentang pengakuan seorang sahabat bernama Qais bin Harits yang artinya:
"Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isteri saya, lalu saya ceritakan kepada Nabi Muhammad SAW maka beliau bersabda: "Pilihlah empat orang dari mereka."
(HR. Abu Daud)
Berdasarkan pemahaman terhadap ayat dan hadits yang membatasi poligami, maka timbul pertanyaan: "Asas perkawinan dalam Islam termasuk monogami atau poligamikah?"
Dalam masalah ini ada dua pendapat:
1.
Bahwa asas perkawinan dalam Islam itu Monogami.
2.
Bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah Poligami
Golongan pertama beralasan bahwa Allah SWT memperbolehkan poligami itu dengan syarat harus adil. Mengenai keadilan ini harus dikaitkan dengan firman Allah SWT dalam Surat An Nisaa' ayat 129 yang artinya:
"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang."
Karena ayat tersebut menjelaskan bahwa tidak akan ada seorangpun yang dapat berbuat adil, suatu petunjuk bahwa asas pernikahan dalam Islam adalah monogami.
Bagi yang berpendapat bahwa asas pernikahan itu adalah poligami, beralasan bahwa antara ayat 3 dan ayat 129 Surat An-Nisa' tidak terdapat pertentangan. Hanya saja keadilan yang dimaksud pada kedua ayat tersebut adalah keadilan lahiriyah yang dapat dikerjakan oleh manusia bukan adil dalam hal cinta dan kasih sayang.
Adil yang tidak dapat dilaksanakan oleh seseorang seperti tercantum dalam ayat 129 Surat An-Nisa' itu adalah adil dalam cinta dan jima'. Ini memang logis. Umpama dari Ahad giliran di rumah isteri pertama dengan memberikan nafkah batin, hari Senin giliran isteri kedua memberikan nafkah yang sama, demikian selanjutnya pada isteri ketiga dan keempat. Adil yang semacam ini jarang terjadi, sebab gairah untuk memberikan nafkah batin ini tidak selalu ada. Asalkan perbuatan itu tidak disengaja, maka itu tidak dosa.
Golongan yang berpendapat bahwa asas melaksanakan poligami hanya dalam keadaan memaksa atau darurat, Muhammad Rasyid Ridha mencantumkan beberapa hal yang boleh dijadikan alasan berpoligami, antara lain:
1.Isteri mandul
2.Isteri yang mempunyai penyakit yang dapat menghalangi suaminya untuk memberikan nafkah batin
3.Bila suami mempunyai kemauan seks luar biasa (over dosis), sehingga isterinya haid beberapa hari saja mengkhawatirkan dirinya berbuat serong.
4.Bila suatu daerah yang jumlah perempuannya lebih banyak daripada laki-laki. Sehingga apabila tidak poligami mengakibatkan banyak wanita yang berbuat serong. (10)
Dari dua pendapat diatas, baik asas perkawinan itu monogami ataupun poligami, yang jelas Islam membolehkan adanya poligami, dengan syarat adil. Syarat adil ini merupakan suatu penghormatan kepada wanita bila tidak dipenuhi akan mendatangkan dosa. Kalau suami tidak berlaku adil kepada isterinya, berarti ia tidak Mu'asyarah bi Al-Ma'ruf kepada isterinya, sebagaimana diperintahkan Allah dalam Al-Quran Surat An-Nisa' ayat 19 yang artinya:
"Dan bergaullah dengan mereka secara patut (baik)." (11)
Dalam kedudukan suami sebagai pemimpin/kepala rumah tangga, ia wajib Mu'asyarah bi Al-Ma'ruf kepada isterinya. Ia tidak boleh berbuat semena-mena terhadap isterinya, karena dalam pergaulan hidup berumah tangga, isteri boleh menuntut pembatalan akad nikah dengan jalan khulu', bila suami tidak mau atau tidak mampu memberi nafkah, atau tidak berlaku adil, atau suami berbuat serong, penjudi, pemabuk, dan sebagainya, dan isteri tidak rela (lihat Surat Al-Baqarah ayat 229). Akibat khulu' suami tidak bisa ruju' tanpa persetujuan bekas isteri. Itulah konsekwensi bagi suami sebagai kepala rumah tangga yang tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya, yang berarti ia tidak bergaul secara patut/baik terhadap isterinya.
*Penulis Pakar Perbandingan Madzhab Hukum Islam dari Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.
Referensi :
(2) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT. Balai Pustaka, Cet I, 1988, hlm. 693
(3) Drs. Sidi Ghazalba, Menghadapi Soal-soal Perkawinan,Jakarta , Pustaka Antara, 1975, hlm. 25
(4) Ahmad Muhammad Jamal, Muftarayah 'Ala al-Islam,Beirut, dar al-Fikr, hlm 107-108
(5) Prof. Dr. Mahmud Syaltut, Islam Aqidah wa Syari'ah,Mesir, Dar al-Qalam, Cet III, 1966, hlm. 269
(6) Muhammad al-Bahy, al-Islam wa Tijah al-Mar'ah al-Mu'ashirah,Mesir, Maktabah wahbah, 1978, hlm. 42
(7) Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya,Saudi Arabia, Khadim al-Haramain al-Syarifain, tt, hlm. 115
(8) Masyfuk Zuhdi, Masa'il Fiqhiyah,Jakarta, Haji Mas Agung, 1990, hlm.16
(9) Muhammad al-Bahy, Op. cit, hlm 45
(10) Muhammad Abduh, al-Manar, juz IV, hlm. 350
(11) Departemen Agama RI, Op. cit, hlm. 119