Senin, 30 Mei 2011

Agung Etti Hendrawati : Jilbab Bukan Halangan

Ia menjadi satu-satunya atlet yang berpakaian rapat, sementara lawan-lawannya mengenakan celana pendek dan kaos tanpa lengan. Melalui nama Etti Hendrawati, panjang tebing tercatat sebagai cabang olahraga yang sempat mengharumkan nama Indonesia di luar negeri. Tak hanya lantaran atlet asal Yogyakarta itu menyabet medali emas nomor speed climbing Kejuaraan Dunia Panjat Tebing ESPN X di San Fransisco, AS, tahun 2000 lalu, tapi juga merupakan atlet Muslim pertama yang menjadi juara di ajang penuh tantangan tersebut -bahkan bagi kaum pria sekalipun.
Etti tetap konsisten mengenakan jilbab saat bertarung di arena panjat tebing. Dengan kerudung yang selalu membalut kepala, ia telah melanglang-buana dan menorehkan prestasi tingkat dunia. Anak ketiga dari delapan bersaudara ini mulai tertarik pada olahraga panjat tebing selepas SMA, tepatnya tahun 1993. Ketika masih duduk di bangku SMA Negeri I Wonosari, Yogyakarta, ia aktif mengikuti kelompok pecinta alam. Salah satu kegiatannya adalah mendaki gunung di Jawa Tengah, seperti Gunung Lawu, Semeru, Sumbing, dan Merapi.
Konsisten mengenakan jilbab saat bertarung
Konsisten mengenakan jilbab saat bertarung
Ketertarikannya pada panjat tebing berawal ketika diajak salah seorang temannya menonton eksibisi panjat tebing di kampus IKIP Yogyakarta. ”Setelah itu saya mulai ikut bergabung dengan klub Apache di Yogya. Itu pun karena diajak teman,” tuturnya seperti dikutip Indomedia.com. ”Mungkin karena sebelumnya suka naik gunung jadi tidak seberapa aneh. Kebetulan ada yang ngajak ikut, saya coba saja. Ternyata asyik. Sejak itu saya tekun berlatih. Awalnya, teman saya meminjamkan peralatan berupa sepatu dan tali.” Sebagai pemula, Etti mengaku sempat takut ketinggian. Kepalanya terasa pusing.
Tapi lama-kelamaan ia terbiasa. Adanya tali pengaman membuat ia kian berani sehingga rasa takut surut dengan sendirinya. ”Alhamdulillah, sampai saat ini saya belum pernah jatuh atau cedera yang parah. Paling-paling keseleo,” cetusnya. Etti mengaku mengalami kenikmatan tersendiri saat berhasil menempuh jalur yang sulit, atau berhasil mencapai puncak dengan waktu yang relatif singkat. Apalagi jika ia mampu melompati beberapa tahapan dan mengalahkan para pesaingnya. Baru tiga bulan mengenal panjat tebing, Etti langsung berprestasi. Ia menempati peringkat empat nasional untuk pemula di Malang. Sebulan kemudian, ia sudah bertengger di peringkat enam nasional untuk kategori umum di kejuaraan di Bandung.
”Sejak itu saya makin yakin bisa berprestasi, dan merasa terpacu untuk terus berlatih. Sampai-sampai kuliah saya di ASMI (Akademi Sekretaris Manajemen Indonesia) Yogyakarta ikut terbengkalai,” kenangnya. Lantaran mengorbankan kuliah, orang tua Etti sempat melarang kegiatan putrinya. ”Awalnya orang tua memang melarang, apalagi olahraga ini dianggap olahraga keras dan lebih sering kumpul sama cowok,” ujarnya. Akhirnya pihak keluarga bisa mengerti. Ini setelah mereka menyaksikan bakat dan kemampuan Etti. Dari dalam negeri, ia mulai merambah ke luar negeri. Kkejuaraan pertama di luar negeri yang diikutinya adalah kejuaraan di Singapura tahun 1997.
Dari sini, medali demi medali diraihnya dalam perlombaan tingkat internasional. Pada kejuaraan Asia di Iran misalnya, ia menyabet medali perak. Ia pun tiga kali menjadi wakil Asia yang terjun di kejuaraan dunia. Mengenai jilbab yang selalu dikenakannya selama beraksi, dengan tegas Etti menjawab jilbab bukanlah halangan untuk berprestasi di arena panjat tebing. Saat bertanding di luar negeri, tak sedikit orang yang menanyakan soal jilbab. Sebenarnya sudah cukup lama Etty ingin berjilbab. Ia sempat ragu-ragu sehingga berniat menundanya hingga pensiun dari arena panjat tebing.
Namun, pada tahun 1999, berkat dorongan Nurochman Rasyid atlet nasional panjat tebing yang lantas menjadi suaminya ia pun mantap untuk mengenakan jilbab, yang ternyata tidak menghalangi aktivitasnya. ”Kalau di Indonesia mungkin sudah dianggap wajar, tapi di luar negeri banyak yang bertanya; Kamu sedang sakit ya, Kamu sudah menikah ya. Itu keheranan mereka. Saya sendiri tak merasa terhalang dengan mengenakan jilbab saat bertanding,” ujar Etti. Asian X-Games tahun 1999 di Phuket, Thailand, adalah kejuaraan pertamanya dengan mengenakan jilbab. Atlet dari negara lain yang mengenalnya dibuat kaget dan bertanya-tanya. ”Saat bertanding saya memang tidak merasa canggung.
Tapi, ketika ditanya mengapa tidak sejak dulu memakai jilbab, saya sulit menjawabnya,” kata atlet kelahiran Gunungkidul, 11 Mei 1975, ini. Ketika bertanding di AS, Etti justru percaya diri. Ia menjadi satu-satunya atlet yang berpakaian rapat, sementara lawan-lawannya mengenakan celana pendek dan kaos tanpa lengan. Sebelum terjun, Etty sudah bertanya kepada panitia apakah boleh mengenakan pakaian rapat. Panitia memberi kelonggaran, ia pun bisa tetap berjilbab saat bertanding. ”Kaos dan celana yang diberikan panitia tetap saya pakai, tapi di luar,” jelasnya.
Tak merasa terhalang dengan jilbab
Tak merasa terhalang dengan jilbab
Agung Etti Hendrawati Lahir: Gunung Kidul, Yogyakarta, 11 Mei 1975 Tinggi/berat: 165 cm/44 kg
Domisili : Yogyakarta
Status : menikah dengan Nurochman Rosyid Debut: 1993
Prestasi: -1998: Peringkat 7 SPC Difficulty dan Juara III SPC Speed Asian Championship, Taiwan.
-1999 : Juara I Speed Climbing Asian X-Games Phuket, Thailand
2000 : Juara I Speed Climbing Indonesia (overall)
2000 : Meraih 4 medali emas dan 1 perak PON XV/2000
2000 : Peringkat 7 (SPC Bouldering) Asian X-Games Phuket, Thailand 2000 : Juara I Speed Climbing Kejuaraan Dunia ESPN X, San Fransisco, AS
2001 : Juara I Speed Climbing UIAA Asian Cup, Kunming, Cina
2001 : Juara II Speed Climbing Kejuaraan Dunia di Kuala Lumpur, Malaysia
2002 : Juara III Speed Climbing Asian X, Kuala Lumpur, Malaysia
2003 : Juara II Speed Climbing Kejuaraan Dunia di Shenzen, Cina
Sumber: republika online