Minggu, 25 September 2011

yahudi dan Kristen bukan Agama Tauhid

Hari ini, agama-agama sebelum Islam sulit dipastikan keotentikannya, sebab pemeluknya telah melakukan perubahan pada kitabnya (QS. 2: 59, 75, 79 & 4: 46). Sehingga, Yahudi dan Kristen yang sekarang bukanlah agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Isa. Apalagi, secara tegas al-Qur’an telah menyatakan bahwa Nabi Ibrahim itu bukanlah Yahudi atau Nasrani, tapi Muslim (QS 3:67). Dan Nabi Isa telah mengajak kaumnya (bangsa Yahudi) untuk mengimani Nabi Muhammad saw, namun mereka menolaknya (QS ash-Shaf:6).
Monoteisme yang ada dalam Yahudi tidak sama dengan Tauhid. Dalam konsep Islam, Tauhid adalah pengakuan Allah sebagai Tuhan Maha Esa. Tauhid memiliki tiga karakteristik, pertama, menafikan Dzat yang banyak; kedua, menafikan ‘yang menyamakan’ (al-Nadzir) dalam dzat-Nya; dan ketiga, Keesaan-Nya dalam mengatur, menciptakan tanpa perantara dan bantuan dari apapun (baca: Hasyiyah al-Dasuki ‘ala Umm al-Barahin). Sementara Yahudi, sampai saat ini masih berselisih tentang ‘siapa Tuhan yang satu’ yang mereka maksud. Ada yang mengidentifikasinya sebagai ‘Yahweh’. Selain itu, dalam tradisi Yahudi, nama Tuhan tidak boleh diucapkan (baca: Oxford Concise Dictionary of World Religions).
Kontroversi dalam masalah Ketuhanan juga terjadi dalam Kristen. Konsep Yesus baru populer setelah konsili Nicea tahun 325 yang diadakan oleh Kaisar Constantine. Dalam masalah tersebut, peran Paulus sangat kental (baca: Kodiran Salim & M.I Ananias). Konon, sebelumnya Jemaat awal Kristen masih menyembah Allah Yang Esa dan menganggap Yesus sebagai seorang utusan Allah (baca: M.I Ananias). Tidak hanya itu, selanjutnya pembicaraan melebar kepada konsep bahwa Allah itu satu dalam tiga pribadi, yakni Allah Bapa, Allah Anak (Yesus) dan Allah Roh Kudus (baca: Frans Donald). Mengenai ini, seorang agamawan Kristen asal Belanda, C. Groenen Ofm mengatakan bahwa konsep Kristen tentang Ketuhanan Yesus adalah misterius dan tidak dapat dijangkau akal manusia.
Tidak berhenti di situ, di tahun 1930 di Amerika Serikat, berdiri apa yang dikenal sebagai Gerakan Nama Suci untuk mengembalikan ajaran Kristen kepada akar Yudaik (Hebraic Roots Movement). Masalah penyebutan nama Tuhan termasuk yang mendapat perhatian serius gerakan ini. Mereka ini secara terang-terangan menolak penggunaan kata Allah, karena bukan dari tradisi Yudaik. Di Indonesia, dari gerakan tersebut lahir Bible versi khusus, namanya Kitab Suci Torat dan Injil. Di dalamnya, nama Allah diganti kata Elohim, kata TUHAN diganti Yahweh, dan kata Yesus diganti Yesyua Hamasyah (baca: Gerakan Nama Suci, Nama Allah yang Dipermasalahkan). Demikianlah, pelarangan penggunaan kata Allah dari dalam tubuh Kristen sendiri sudah ada. Kiranya, cukuplah ini menjadi bukti bahwa seperti halnya Yahudi, Kristen itu juga bukan agama tauhid.
Kewajiban Pemerintah
Di Malaysia, Islam adalah agama resmi negara (agama Persekutuan). Dimana melindungi ‘aqidah Islam’ merupakan salah satu tugas pemerintah. Sesuai tugas ini pula, kaum non-Muslim dilarang menyebarkan agama mereka kepada kaum Muslim. Realisasi ini bisa dilihat misalnya, di hampir seluruh Negara bagian di Malaysia, ada peraturan yang melarang kaum non-Muslim menggunakan sejumlah istilah khas dalam Islam, seperti kata ‘Allah’ ini.
Pelarangan pemerintah itu juga sangat relevan dan penting, sebab disinyalir ada “misi Kristen” di balik penggunaan kata Allah. Ini bisa dilihat misalnya, dalam majalah Katolik Herald edisi bahasa Inggris, tidak ada penggunaan kata Allah. Namun, dalam edisi bahasa melayu, kata Allah mereka gunakan.
Demikianlah, dalam Islam tanggung jawab seorang pemimpin (pemerintah) itu tidak hanya pada masalah-masalah keduniaan saja. Namun juga mencakup masalah-masalah akhirat (baca: al-Siyasah al-Syar’iyyah dan al-Tarbiyyah al-Islamiyyah).
Sementara itu, pandangan yang melihat adanya keterpisahan antara urusan duniawi dan akhirat adalah cara pandang sekuler. Tentu saja cara pandang yang demikian bertolak belakang secara diametris dengan ajaran Islam. Sebab, pemimpin tidak hanya bertanggung jawab kepada manusia (rakyat) semata. Tapi juga bertanggung jawab kepada Allah. Demikianlah seharusnya pandangan hidup Islam (Islamic worldwiew) dipraktekkan. Dimana konsep tauhidillah menjadi karakteristik dan dasar utamanya (baca: al-Tasawwur al-Islami wa Muqawwimatuhu dan Muqawwimat at-Tasawwur al-Islami). Singkatnya, sangat tidak tepat manakala ada yang melihat satu kebijakan pemimpin/pemerintahan Islam-seperti masalah penggunaan kata ‘Allah’ di Malaysia-dari kaca mata politik belaka. Sebab pada hakikatnya, seluruh aktivitas kepemimpinan itu adalah implementasi keberimanannya kepada Allah.
Akhirnya, mari kita lihat masalah kontroversi penggunaan kata “Allah” ini secara mendasar. Agar, keputusan yang kelak ada benar-benar mencerminkan keamanahan kita, khususnya pemimpin (pemerintah) dalam mengemban risalah-Nya. Wallahu a’lam bi as-shawab. (hidayatullah)
Penulis adalah alumni ke-II Program Kaderisasi Ulama (PKU) Gontor Ponorogo ’09. Sekarang sedang menyelesaikan Program Pasca Sarjana di Universitas Darussalam Gontor Ponorogo, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Pemikiran Islam
http://forum-swaramuslim.net/more.php?id=43754_0_25_0_M