Minggu, 27 November 2011

SERANGAN ISRAEL TERAKHIR

SERANGAN ISRAEL TERAKHIR
Sewaktu penulisan buku ini (dasar pembuatan situs ini) dimulai, Palestina tengah mengalami bulan-bulan pertama Intifadah al-Aqsa. Dari hari paling awal Intifadah baru ini, pemerintahan Israel menanggapi dengan keras demontrasi jalanan warga Palestina. Namun, sementara itu, bentrokan di wilayah ini menjadi jauh lebih keras. Untuk membalas bom bunuh diri yang dilakukan oleh beberapa kelompok Palestina, Israel telah melangkah lebih jauh dalam menekan Daerah Pendudukan. Operasi Israel yang dilakukan di darat, laut, dan udara ditujukan terutama terhadap orang-orang sipil Palestina. Hari-hari terkeras selama Intifadah al-Aqsa mungkin telah meledak begitu tahun 2002 dimulai.
Dalam operasi terakhir ini, yang digambarkan oleh pihak berwenang sebagai yang terbesar di Daerah Pendudukan dalam 20 tahun terakhir, tentara Israel mengirimkan sekitar 20.000 tentara. Dengan pengerahan ini, yang dianggap sebagai sebuah pertanda awal akan adanya pembantaian besar-besaran, tentara Israel mulai mencaplok wilayah-wilayah yang ditempati rakyat Palestina satu demi satu. Operasi ini sebenarnya telah diramalkan berbulan-bulan sebelumnya. Seperti telah kita bahas di bagian sebelumnya “Ariel Sharon Bersiap untuk Perang,” sumber-sumber media asing telah meramalkan pendudukan itu. Berita yang bocor dari pemerintahan Israel ini juga menunjukkan bahwa Israel tengah mempersiapkan perang besar.
Begitu pendudukan dimulai, pemandangan yang mengingatkan pada penyerangan Libanon 1982 mulai tampak. Hal yang sama terjadi di setiap kamp pengungsi yang dicaplok dan daerah berdekatan. Pertama-tama, suara tank dari kejauhan dan letupan senjata terdengar, lalu generator yang menyuplai arus listrik dihancurkan, menjerumuskan daerah ini ke dalam kegelapan dan mengasingkannya dari dunia luar. Sebelum bergerak jauh, pesawat-pesawat F-16 datang untuk membantu tank-tank. Semua ini hanyalah langkah pertama pengepungan yang lebih besar lagi.



Seluruh dunia
bereaksi keras
ketika tentara-
tentara Israel ini
mengambil gambar
yang menunjukkan mereka melangkah di atas mayat
seorang pria
Palestina yang
baru saja mereka
bunuh.
Pemandangan ini benar-benar seperti daerah perang layaknya. Tank-tank Israel memasuki kota-kota dalam pemerintahan Palestina seperti Gaza, Ramallah, Nablus, dan Tulkarem, menghancurkan segalanya di sepanjang jalannya; Pesawat-pesawat F-16 menghujankan bom di atas orang-orang yang tinggal di kamp-kamp pengungsian. Pemimpin PLO Yasser Arafat tidak dapat meninggalkan tempat kediaman resminya, dengan kata lain, ia telah dipaksa menjalani tahanan rumah. Hanya dalam satu hari serangan itu, 40 orang terbunuh. Tentara Israel menembaki rumah-rumah sakit, ambulan, dan sekolah-sekolah, termasuk sekolah untuk tuna netra yang didirikan oleh PBB. Para wartawan asing di tempat kejadian melaporkan bahwa orang-orang yang terluka selama serangan ini tidak dapat dibawa ke rumah sakit karena tank-tank Israel mengepung rumah sakit dan mencegah setiap ambulan untuk keluar masuk. Di samping itu, ribuan orang diperiksa tanpa alasan yang jelas, dan lusinan mereka dikirim ke penjara. Di beberapa kamp pengungsian, seluruh lelaki berusia antara 14 dan 60 dibawa pergi untuk disidik. Beberapa di ntara mereka, setelah ditahan selama 2 hari dengan tangan terikat dan mata ditutup, kemudian ditahan dalam penjara. Di kamp Dheisheh, misalnya, 600 laki-laki dipaksa untuk disidik; 70 dari mereka ditahan tanpa tuduhan resmi. Gambar-gambar orang-orang sipil dengan mata tertutup yang menunggu penyidikan yang diperlihatkan pada pers hanya memperlihatkan salah satu perbuatan tak masuk akal yang dilakukan oleh tentara Israel.


Tentara-tentara Israel menarik seorang pria Palestina keluar dari mobilnya dan menjadikannya bulan-bulanan. Laki-laki tak bersenjata ini diborgol, dibaringkan di atas tanah, ditelanjangi, lalu dengan brutal ditembak mati. Seorang Palestina bisa dibunuh oleh tentara Israel di tengah jalanan, meskipun mereka telah menyerah.

Dalam operasi terakhirnya melawan Palestina, Israel mengirim 20.000 tentara ke wilayah ini. Tank-tank mengepung kota-kota Palestina dan menghancurkan segalanya yang melintasi jalan mereka.
Pers melaporkan beberapa perbuatan kejam lain selama pendudukan Israel: Gambar tentara Israel ketika melangkah di atas mayat seorang Palestina yang baru dibunuh, memukul dan membunuh seorang lelaki Palestina di tengah jalan meskipun ia telah menyerah, tank-tank Israel yang memukul dan menghancurkan ambulan yang diparkir di sisi jalan tersebut, dan orang Palestina yang dihujani dengan roket. Bahkan, teror yang bersamaan diarahkan pada anak-anak, sebuah target yang sudah lumrah bagi mereka. Kebijakan Israel terhadap anak-anak tidak hanya ditentang oleh orang-orang Palestina saja, tapi juga oleh seluruh dunia, termasuk warga Israel. Penulis Israel terkenal Gideon Levy, musuh abadi kebijakan Israel di Daerah Pendudukan, mengkritik tajam hal itu dan bertanya pada masyarakat Israel:
Harian Turki AKSAM, 22 Januari 2002
TULKAREM DI BAWAH PENDUDUKAN

Harian Turki STAR, 28 Februari 2002
ISRAEL MEMULAI SERANGAN TERBURUKNYA

Harian Turki SABAH, 5 Desember 2001
ISRAEL MENEMBAK SEBUAH BANGUNAN 30 METER DARI ARAFAT

Harian Turki HURRIYET, 13 Maret 2002
PERLAKUAN NAZI
Pemimpin Palestina Yasser Arafat menuduh Israel "berprilaku seperti Nazi" dengan memberi nomor di tangan-tangan tahanan Palestina.

Harian Turki YENI SAFAK, 29 Maret 2002
TAKUT AKAN ADA PEMBANTAIAN DI RAMALLAH
Israel mempersiapkan pendudukan besar-besaran atas Ramallah, pusat politik pemerintahan Palestina.


Harian Turki TURKIYE, 5 Maret 2002
KAMP-KAMP PALESTINA DIRATAKAN DENGAN TANAH

Dengan operasi terakhirnya, Israel seolah telah menduduki seluruh wilayah Palestina. Pendudukan ini ditandai sejumlah pembantaian besar-besaran dan ratusan orang tak bersalah kehilangan nyawanya dalam waktu singkat 10 hari.
Adakah yang memerintahkan para tentara menembaki kepala anak-anak, ataukah mereka melakukannya atas kemauan sendiri? Apa bedanya? Masih bisakah kejadian seperti itu disebut ketidaksengajaan? Ataukah ini sudah menjadi norma, menembak untuk membunuh pelempar batu, anak-anak maupun dewasa? Dan ini masih kita sebut bukan kejahatan perang? Coba, adakah orang-orang IDF yang peduli dengan perilaku tentara seperti ini?122
Harian Turki RADIKAL, 21 Februari 2002
SHARON MAKIN KERAS
Israel menanggapi serangan militan Palestina pada pos-pos pemeriksaan militer dengan serangan darat, laut, dan udara. Sharon tersudut karena 15 orang Palestina tewas.
Harian Turki ORTADOGU, 5 Maret 2002
SERUAN PERANG DARI ISRAEL
Dengan menyerang tempat-tempat penampungan pengungsi sipil, Israel bertekad menjadikan Palestina ladang pembantaian. Saat Menteri Kehakiman Israel berkata, “Mereka akan meminta gencatan senjata,” walikota Yerusalem menyeru masyarakat untuk berperang.
Harian Turki CUMHURIYET, 11 Maret 2002
SHARON MENGUMUMKAN PERANG
Adam Shapiro, seorang pendudukung hak asasi manusia Amerika yang tinggal di Ramallah, menggambarkan pemikirannya tentang tentara Israel dalam memperlakukan Daerah Pendudukan:
Pendudukan ini bersandar pada pemusnahan manusia. Inilah sebabnya para tentara tega melakukan apa yang mereka mau, mereka diharapkan dan didorong untuk tidak melihat orang-orang Palestina sebagai manusia. Saya tidak yakin bahwa tentara Israel sudah kejam dari sananya, tapi saya percaya bahwa ketika mereka bertugas… mereka meninggalkan rasa kemanusiaannya di belakang… Ketika Israel akhirnya memahami bahwa pendudukan ini adalah akar dari pertikaian di sini, dan dengan begitu meninggalkannya dan membiarkan orang-orang Palestina untuk hidup dalam kemerdekaan, kata-kata yang perlu digunakan untuk menerangkan dan memahami dunia kita sekali lagi akan bermakna. Kalau belum sampai di sana, “kemanusiaan” akan tetap menjadi kata dengan makna tapi tanpa pengamalan…123

Pada hari kesepuluh pendudukannya, tentara Israel mengumumkan telah membunuh 200 orang Palestina. Laporan dalam The Independent ini menggambarkan bagaimana 30 orang kehilangan nyawanya di satu kamp dalam waktu 48 jam, dan bagaimana kamp tersebut diberondong oleh helikopter tempur.

Peter Beaumont, koresponden Palestina untuk The Observer, melaporkan dari Ramallah: “Saya melihat mayat-mayat, terbunuh oleh tembakan ke kepala” (atas). Satu kesamaan seluruh orang Palestina yang dibunuh oleh tentara Israel adalah luka di kepala karena tembakan peluru jarak dekat, dan koresponden The Observer ini menekankan hal itu. 
Dalam edisi Amerika The Palestine Chronicle, Jennifer Loewenstein membahas kengerian yang terjadi di Ramallah dalam artikelnya: “Pembantaian di Ramallah: Bukankah Demokrasi Israel Itu Mengagumkan?” Bagian ini menerangkan bahwa beberapa mayat punya sebanyak 16 lubang peluru, yang sebagian besarnya ditemukan di bagian muka yang tengkurap ke tanah, dan bahwa senjata mereka telah dilucuti. Bahkan, tentara Israel terus menjadikan anak-anak sebagai sasaran, termasuk seorang bocah laki-laki 10 tahun yang tertembak dan terbunuh sewaktu bermain di dekat perbatasan Rafah karena “ia bermain terlalu dekat dengan perbatasan."
Kebijakan kekerasan Israel meningkat lebih jauh dari sekedar kekerasan. Beberapa kelompok radikal Palestina meningkatkan bom bunuh diri mereka yang ditujukan pada warga sipil Israel. Ketika berhadapan dengan perkembangan ini, Ariel Sharon dan pemerintah Israel memutuskan untuk tidak melanjutkan kebijakan yang terukur dan berkepala dingin, tapi menganggap perlu meningkatkan lagi tingkat penindasan dan kekerasan. Dalam sebuah pernyataan persnya, Sharon berkata:
"Kita harus menyebabkan mereka mengalami kerugian, luka-luka, sehingga mereka tahu mereka tidak akan dapat apa-apa… Kita harus memukul mereka, pukul, pukul lagi, sampai mereka mengerti.” Bagaimana dengan menawarkan sebuah pemecahan politik, sang perdana menteri ditanya. Sekarang, jawabnya, bukanlah waktu untuk prospek politik, ini cuma untuk prospek militer.124 Anggota Partai Likud Meir Sheetrit, dalam pernyataannya kepada parlemen, mengatakan bahwa ia mendukung kekerasan yang dilakukan oleh tentara Israel di Daerah Pendudukan, dengan menekankan bahwa ia akan mendukung setiap tindakan militer "yang dirancang agar orang-orang Palestina berteriak meminta gencatan senjata."125 Teknik ini tidak menyelesaikan apa-apa, selain mendorong ke dalam lingkaran setan kekerasan. Seperti telah kita bahas di atas, peristiwa di Palestina sekali lagi membuktikan bahwa masalah ini tidak pernah dapat dipecahkan dengan kekerasan.
Menurut angka-angka yang diterbitkan PBB, selama operasi Israel dijalankan, 1620 rumah terus mengalami kerusakan berat, beserta 14 bangunan umum, termasuk beberapa sekolah. Di Jenin, dari 2500 bangunan yang ditempati 14.000 orang Palestina di sana, 550 rusak. Enam rusak ringan, 541 dengan aneka kerusakan, dan tiga rusak total. Di Balata, dari 3700 bangunan yang ditempati 20.000 orang, 670 mengalami kerusakan. Dari jumlah ini, 10 rusak total dan 14 rusak parah. Di Nur Al-Shams, 100 dari 1500 rumah tempat 8000 orang tinggal, rusak, tiga di antaranya tengah dihancurkan. Di Tulkarem, 300 dari 2900 bangunan yang didiami 16.000 orang rusak; enam di antaranya rusak total dan 30 rusak parah. Kerugian ekonomi keseluruhan ditaksir sekitar 3,5 juta dolar.126

Surat kabar Israel terkemuka Ha’aretz mengkritik kekerasan pemerintah Israel dalam pernyataannya berbunyi “Makin besar pemaksaan, makin besar perlawanan."

The Economist menyatakan bahwa peristiwa di Timur Tengah telah berubah dari bentrokan menjadi perang sesungguhnya. Majalah ini menyatakan hal ini dalam “From Intifada to War (Dari Intifadah Menjadi Perang)."
Operasi Israel dilaporkan oleh Washington Post dengan berita utama “Mideast Fighting Intensities; both Sides Vow More (Menegangnya Pertempuran Timur Tengah, Kedua Pihak Bersumpah Lebih Keras Lagi)."
Masa ini, yang menyebabkan Israel dikritik tajam oleh PBB dan Uni Eropa, berakhir dengan langkah penting pertama Amerika Serikat mengirimkan juru runding untuk menangani krisis ini. Tank-tank Israel mulai menarik diri dari wilayah Palestina, meninggalkan daerah yang hancur berat, dan kedua pihak memasuki perundingan keamanan.

Pangeran Saudi Arabia, Abdullah.
Selama penarikan singkat ini, salah satu upaya penting dilakukan untuk memastikan datangnya perdamaian adalah dalam bentuk sebuah rencana damai yang disampaikan oleh Pangeran Saudi Arabia, Abdullah di The New York Times. Menurut rencana ini, sebagai ganti mundurnya Israel dari batas pra-1967nya (menurut resolusi PBB), negara-negara Arab akan mendinginkan kembali hubungannya dengan Israel. Usulan ini diterima positif oleh sebagian besar orang Palestina. Akan tetapi, radikalisme di kedua belah pihak menghambat pelaksanannya.
Akibatnya, penarikan tank-tank hanya memberi waktu senggang untuk tentara Israel. Dalam beberapa hari, pendudukan baru dan lebih menyeluruh dimulai. Kali ini, sasarannya adalah Tepi Barat, dan khususnya Ramallah, tempat markas besar Arafat. Hasil operasi ini menempatkan markas Arafat dalam kepungan, hampir memaksanya tinggal di satu ruangan saja, sementara bahaya besar dihadapi oleh penduduk sipil Palestina. Militer Israel tidak menghentikan langkahnya menduduki Ramallah saja, melainkan merampas seluruh kota-kota Tepi Barat satu demi satu. Arus listrik diputuskan, dan pemadaman itu menyebabkan tak teraturnya aliran air. Tempat ini dikenakan jam malam ketat, dan penduduk mulai mengalami kelaparan karena aliran makanan anjlok. Ketika orang-orang yang sakit dan orang lanjut usia serta anak-anak berusaha mempertahankan hidupnya dalam keadaan brutal ini, hampir seluruh lelaki berusia antara 14 dan 50 tahun ditangkap oleh tentara Israel. Ketika tentara Israel mengambil alih bangunan yang dimiliki oleh dinas keamanan Palestina, meskipun para petugasnya telah menyerahkan diri, mereka ditembak di kepala dan dibunuh. Untuk mengasingkan orang-orang Palestina dari dunia internasional, Israel segera mengumumkan daerah pendudukan sebagai “daerah tertutup” sehingga dunia tidak akan mendengar kekejaman yang dilakukan atas orang-orang Palestina.
Harian Turki HURRIYET, 30 Maret 2002
ARAFAT DITAHAN DALAM KAMARNYA

Harian Turki CUMHURIYET, 30 Maret 2002
ARAFAT: MEREKA AKAN MEMBUNUH SAYA
Dengan pengepungan dan penembakan markasnya oleh Israel, pemimpin Palestina berkata ia siap menjadi martir.
Meskipun telah mengupayakan hal seperti itu, stasiun-stasiun televisi dunia tetap menampilkan gambar-gambar kekejian di Palestina. Di antara gambar bersejarah adalah gambar orang-orang Palestina yang ditembak dari dekat di kepala, tahanan yang diikat dan ditutup matanya diseret ke daerah yang belum diketahui, seorang pemimpin dunia yang berpidato ke seluruh dunia dengan nyala lilin, jalanan Palestina yang gelap dan kosong, rumah sakit yang mengundang kemarahan tentara Israel, biarawati dan biarawan yang ditembak tank-tank Israel, dan anggota LSM yang mencoba untuk membentuk “pagar betis” bagi orang-orang Palestina tak bersalah. Ketika kamar mayat di rumah sakit Ramallah penuh, mereka mulai menaruh dua mayat dalam ruang yang muat untuk satu orang. Lalu muncul berita tentang kuburan massal yang digali untuk orang-orang yang dibunuh. Tempat-tempat seperti Tulkarem, Bethlehem, dan Qalqilya telah menjadi tempat mandi darah di depan mata dunia. Di Bethlehem, yang dipercaya sebagai kota tempat Yesus dilahirkan, banyak orang-orang Palestina yang dengan putus asa mencari tempat berteduh di gereja-gereja, tapi tak ada hasilnya. Bukan halangan bagi tentara Israel, seperti yang segera dilaporkan berita mengenai meletusnya tembakan di gereja-gereja dan bahkan anggota pendeta Kristen terbunuh.


Kadang-kadang satu-satunya cara pria Palestina menyelamatkan diri adalah menyerah, meskipun mereka umumnya tidak melakukan kejahatan apa pun. Tapi, ini pun kadang tak berguna. Gambar di atas menunjukkan orang Palestina yang terbunuh dengan tembakan ke kepala meski telah menyerah.
Petunjuk lain tentang kekejaman pendudukan tak berperikemanusiaan ini adalah bagaimana wartawan dan anggota aktivis LSM di daerah ini diperlakukan. Sewaktu pemerintah Israel dengan paksa memindahkan beberapa wartawan yang mencoba melaporkan kejadian ini, yang lain seolah tetap menjadi sandera di dalam, dan beberapa orang yang tetap berada di sana bahkan kehilangan nyawanya. Kebijakan yang bahkan lebih keras lagi diterapkan pada pekerja LSM: Beberapa dari mereka ditahan karena “melanggar” hukum Israel, sedangkan lainnya diserang dengan gas air mata. Organisasi bantuan kemanusiaan tidak diizinkan melakukan apa pun. Satu contoh saja, pejabat PBB yang mencoba membawa makanan dan obat-obatan ke dalam tempat ini tidak hanya tak diberi jalan, bahkan diserang dengan gas air mata.
Harian Turki RADIKAL, 2 April 2002
ISRAEL MELAKUKAN PEMBANTAIAN
Hingga 30 orang pejabat keamanan Palestina yang mencoba menyerah terbunuh.

Harian Turki RADIKAL, 2 April 2002
KAMP KEMATIAN RAMALLAH
Sewaktu Israel memperluas operasinya ke kota lain di Tepi Barat, laporan datang dari Ramallah tentang pembantaian dan penahanan massal. Inilah bukti bahwa banyak petugas polisi Palestina telah dibantai.
Pada saat ini, pembantaian dan kekerasan terus tak terpadamkan. Untuk menghentikan pertumpahan darah, untuk memastikan tak ada lagi nyawa melayang, dan agar kedua belah pihak mempunyai masa depan yang cerah dan damai, Israel harus menghentikan pendudukan ini sekaligus dan mengadakan perundingan antar kedua negara. Tapi, seperti dikatakan sebelumnya, satu-satu cara agar perdamaian tercapai, agar keamanan tercipta, dan permusuhan dihentikan adalah dengan perubahan mendasar dalam cara berpikir seluruh pihak. Perubahan ini dapat terjadi jika semua pihak yang terlibat menjalankan sikap tak berlebihan, tenggang rasa, dan kompromi, yakni jika mereka mengikuti nilai-nilai akhlak yang Tuhan putuskan dalam Al-Qur'an.
TEMPAT-TEMPAT SUCI JUGA DITEMBAK OLEH TENTARA ISRAEL
Salah satu bukti yang memicu kritik dunia internasional selama pendudukan terakhir tentara Israel adalah dijadikannya tempat-tempat suci Kristen sebagai sasaran. Israel membela diri bahwa teroris Palestina telah menduduki gereja dan menyandra pendeta-pendeta. Tapi informasi yang diperoleh dari tempat kejadian, termasuk komunikasi dengan para pendeta di gereja-gereja itu, menunjukkan bahwa alasan ini tidak benar. Sebuah laporan BBC berjudul “Bethlehem Siege Sparks Church Fury (Pengepungan Bethlehem Mengobarkan Kemarahan Gereja)” melaporkan informasi ini. Menurut laporan tersebut, juru bicara Gereja Katolik Roma, Romo David Jaeger, seorang warga Israel, dengan keras mengkritik serangan Israel dan menilai bahwa “Israel telah melanggar kewajiban internasionalnya.” Romo Jaeger mengatakan bahwa terbukti gereja dan tempat-tempat suci dijadikan sasaran oleh peluru-peluru Israel. Romo Amjad Sabbara dari Gereja Church of Nativity Bethelehem, sementara itu mengatakan bahwa orang-orang yang mencari tempat pengungsian di sana tak bersenjata dan terutama terdiri dari wanita, anak-anak, dan orang lanjut usia yang mencoba melarikan diri dari tank-tank Israel. Sebuah berita dari web site Islamonline melaporkan bahwa beberapa orang Palestina terluka parah oleh tembakan di gereja, tapi tidak dirawat karena tentara Israel tidak mengizinkan ambulan memasuki wilayah itu.

BBC NEWS

Harian Turki STAR, 5 April 2002
MESJID-MESJID DAN GEREJA-GEREJA DIABAIKAN
Tentara-tentara Israel semakin gila.

Harian Turki SABAH, 5 April 2002
GEREJA DIBAWAH TEMBAK-MENEMBAK

SELURUH DUNIA MENGUTUK ISRAEL
Pelecehan hak asasi manusia terang-terangan oleh Israel selama pendudukan terakhir, penghinaan seluruh masyarakat, dan perbuatan kejam dan tak berprikemanusiaan telah melahirkan kritik dari banyak negara dan kelompok, termasuk lembaga internasional seperti PBB dan Uni Eropa.
Di luar pernyataan resmi yang mengutuk aksi itu dari banyak pemerintahan, protes juga diserukan berbagai negara yang melibatkan ribuan, bahkan puluhan ribu orang yang mengutuk operasi Israel. Salah satu kalangan yang mengutuk operasi itu adalah kelompok cendekiawan Yahudi Prancis, yang menerbitkan sebuah kolom pada 7 April 2002, edisi Le Monde yang berjudul “Dukungan Israel Tidak Kami Restui.” Mereka lebih lanjut menghimbau Israel untuk mematuhi resolusi PBB dan menarik diri dari Daerah Pendudukan, dan berpendapat bahwa kebijakan Israel saat ini telah menyeret Timur Tengah ke dalam malapetaka. Demonstrasi anti-Israel lainnya berlangsung di Australia, di mana 10.000 orang mengutuk kebijakan keras Israel di Palestina.
Harian Turki ZAMAN, 7 April 2002
DUNIA MENANGGAPI TERANG-TERANGAN PENDUDUKAN ISRAEL DI PALESTINA DENGAN RAPAT AKBAR.


OPERASI ATAS TANAH PALESTINA


Gambar di atas diambil dari sebuah pembantaian yang diudarakan televisi Israel. Meskipun pemerintah menyensor seluruh siaran dari Daerah Pendudukan, stasiun TV ini berhasil menyelipkan siaran operasi Israel ini dengan diam-diam. Tentara Israel pertama memencet bel di rumah orang Palestina ini untuk melakukan penggeledahan. Sebelum wanita itu membuka pintu, tentara menghancurkan pintu dengan bahan peledak, sehingga membuatnya luka parah. Kemudian tentara memasuki rumah, menolak permohonan laki-laki tersebut untuk memanggil ambulan untuk membawa istrinya. Putrinya yang masih kecil menangis menyaksikan ibunya meninggal di rumah. Para tentara menghancurkan rumah itu, bahkan merobohkan beberapa dinding…
SERANGAN ATAS PUSAT PERAWATAN TUNA NETRA

Selama serangan terakhir Israel, sekolah-sekolah yang yang didirikan oleh PBB untuk anak-anak Palestina rusak berat. Pusat Rehabilitasi Tuna Netra al-Nur, yang didirikan dan dijalankan oleh PBB dan satu-satunya sekolah untuk anak tuna netra di Gaza, dibom pada 5 Maret 2002. Laporan berita di atas mengutip para saksi mata peristiwa itu. Pernyataan Menteri Pendidikan Palestina mengungkap bahwa 435 anak-anak tertembak mati antara September 2000 dan Maret 2002, 150 di antaranya anak-anak usia sekolah, dan 2402 anak-anak terluka. 
Pembantaian yang Terjadi di Jenin

Penduduk sipil menjadi sasaran tentara Israel lagi di Jenin.
Seperti ditegaskan berita yang dilaporkan dari wilayah ini, Operasi Perisai Pertahanan (Defensive Shield), yang dilakukan atas nama pembasmian teror, mengakibatkan pembantaian lainnya atas warga sipil Palestina. Operasi ini dilakukan tidak hanya untuk tujuan mempertahankan diri, seperti disebutkan oleh namanya, melainkan untuk tujuan merusak. Operasi keseluruhan dicirikan oleh kebrutalan di seluruh Ramallah, Nablus, dan Bethlehem, karena tentara Israel menjadikan warga sipil sebagai sasaran, bukan kelompok bersenjata, dan membunuh wanita dan anak-anak yang bukan penyerang. Seorang tentara Israel yang terlibat dalam operasi ini mengatakan pada BBC:
Sebagai contoh ini saja. Ada satu desa tempat kami memata-matai seseorang yang berencana melakukan serangan teroris. Kami mengepung desa itu dan bergerak ke dalam, tapi ada seorang gembala berumur 17 tahun di ladang di pinggir desa… Apakah saya harus menahan, menutup matanya, mengikat tangannya? Atau saya harus berkata padanya agar segera masuk ke dalam?… Kami dilatih untuk melawan musuh dan tentara, tapi kami harus menghadapi masyarakat dalam keadaan ini… Hal yang paling mengerikan adalah masuk ke rumah-rumah dan melihat mereka hanyalah keluarga biasa. Anak-anak dengan mata ketakutan, saya merasa sangat sulit. Kami semua punya anak-anak di rumah.127
Kejadian kasar yang terjadi selama hari terakhir Maret 2002 tercatat dalam sejarah sebagai puncak pengepungan dan pembantaian brutal. Apa yang disebut media Barat sebagai “Pembantaian Sabra dan Shatilla jilid dua” merupakan serbuan yang diorganisir melawan kamp pengungsi Jenin. Kamp pengungsi ini telah didirikan untuk orang-orang Palestina yang terusir dari tanahnya di tahun 1948. Selama operasi terakhir ini, tentara Israel mengepung kamp ini, yang menjadi rumah bagi 15.000 orang, seperti yang telah dilakukannya pada kota-kota dan kamp-kamp Palestina lainnya. Namun apa yang terjadi selanjutnya berbeda dalam satu hal penting: Jenin tidak sekedar dikepung, tapi malah mengalami salah satu pembantaian paling menyeluruh di tahun-tahun terakhir.
Harian Turki ZAMAN, 9 April 2002
ISRAEL BERSIAP MEROBOHKAN KAMP PENGUNGSI JENIN

Harian Turki TURKIYE,10 April 2002
GERBANG PEMBANTAIAN
Menteri Luar Negeri, Peres: “Ya, kita telah melakukan pembantaian di Jenin"

Harian Turki RADIKAL, 13 April 2002
ISRAEL MENGGALI KUBURAN MASSAL

KORBAN PEMBANTAIAN JENIN DIKUBURKAN
Dengan berkata bahwa “ada ratusan yang mati di Jenin,” Israel telah mengumumkan bahwa mayat-mayat “teroris” akan dikubur terpisah dari “orang sipil” biasa. Menurut warga Palestina dan organisasi bantuan kemanusiaan, tujuannya adalah menyembunyikan pembantaian.
Begitu kamp tersebut dikepung oleh tank-tank Israel, kamp dibombardir terus-menerus oleh roket-roket yang diluncurkan dari helikopter tempur. Bulldozer membongkar rumah-rumah dan tank-tank menembaki segalanya yang bergerak, sementara hampir semua lelaki dikumpulkan dan dibawa pergi. Orang-orang yang tidak terkena roket terjebak di bawah reruntuhan rumah mereka, dan orang-orang yang masih hidup di bawah puing-puing dibunuh oleh tentara Israel. Penolakan Israel untuk mengizinkan ambulan memasuki kamp, yang langsung melanggar keputusan PBB, menyebabkan angka kematian lebih tinggi lagi. Berita berikutnya dari daerah itu menunjukkan bahwa banyak wanita dan anak-anak tumpah darah hingga tewas, banyak jeritan kesakitan, karena ambulan dan dokter tidak diizinkan masuk.
Bahkan setelah Israel mengumumkan bahwa pengepungan berakhir, mereka masih menolak mengizinkan para wartawan, dokter, dan petugas organisasi hak asasi manusia memasuki kamp itu. Israel mengumumkan bahwa orang-orang yang terluka akan diangkut oleh tentara Israel dan mayat-mayat akan dikubur di pemakaman massal di perbatasan Yordania. Ini adalah bukti yang jelas bahwa Israel ingin menutupi pembantaian terakhir dari dunia internasional. Kenyataannya Menteri Luar Negeri Shimon Peres mengakui bahwa tentara Israel telah melakukan pembantaian ketika berbicara pada Knesset Israel:
Ketika dunia melihat gambar-gambar apa yang telah kita lakukan di sana, terlihatlah kerusakan yang parah. Meskipun banyak orang yang kita cari dibunuh di kamp pengungsian, dan meski banyak prasarana teror telah kita ungkap dan hancurkan di sana, tetap tidak ada pembenaran melakukan penghancuran besar seperti ini.128

Saksi mata yang disebut dalam laporan Harian The Independent berjudul “Israel menguburkan mayat-mayat, tapi tak bisa menyembunyikan bukti” melukiskan bagaimana jalan-jalan penuh dengan mayat, termasuk anak-anak, bahwa mayat-mayat itu dikubur di bawah rumah-rumah yang dimusnahkan oleh bulldozer Israel, dan bahwa lainnya dimuat dalam lori dan dibawa pergi.

Dalam sebuah laporan berita berjudul “Israeli Army Accused of Atrocities (Tentara Israel Dituduh Melakukan Pembantaian)” The Los Angeles Times melaporkan bahwa mustahil menyebut angka pastinya, tapi ratusan warga sipil diperkirakan tewas. Laporan ini menyebut pembantaian Jenin sebagai tindakan terburuk kebrutalan di tanah Palestina semenjak 1967.

Laporan New York Times yang memuat pernyataan dari orang yang mengalami kekejaman di Jenin melukiskan bagaimana seorang wanita Palestina kehilangan ayah, putra, dan suaminya, dan mengutip ratapannya, “Banyak mayat, banyak mayat, di bawah batu, di bawah batu!"
Setelah itu, dunia mulai mendengar tentang besarnya pembantaian dari orang Palestina yang berhasil memberitakan kabar dari dalam kamp dan dari beberapa wartawan yang berhasil memasuki kamp dan berhasil melarikan gambar-gambar itu. Meskipun Israel mencoba menghancurkan seluruh bukti, orang-orang Palestina berhasil melaporkan apa yang terjadi dengan menyalin catatan tertulis tentang pengalaman mereka. Dalam hari-hari pertama pengepungan, surat kabar The Times melaporkan kejadian di Jenin dalam artikel bertanggal 9 April 2002, berjudul “Children Scream for Water (Anak-anak Menjerit Minta Air)":
Pemandangan terakhir Hamid tentang Kamp Pengungsi Jenin adalah sebuah kota kematian. Siswa sekolah berusia 14 tahun, yang menyerah pada tentara Israel Sabtu malam setelah menyaksikan 30 jam pengeboman, sedikit bergetar ketika melukiskan malapetaka ini. Tumpukan mayat dipinggirkan oleh bulldozer. Rumah-rumah dalam puing-puing terbakar. Anak-anak menjerit minta air; beberapa dipaksa meminum air limbah.
Hamid mengenakan celana baru, yang dibelikan oleh orang Palestina yang kasihan, karena ia ditelanjangi hingga pakaian dalamnya oleh tentara Israel setelah ia menyerah pada mereka… Tiga orang terbunuh oleh roket di dalam rumah tempat ia mengungsi.
"Tapi hal paling mengerikan adalah melihat tentara Israel membawa delapan orang dan membariskan mereka dan membunuh mereka,” katanya, menggambarkan secara rinci perlakuan terhadap mereka dan luka-luka yang dialaminya. Setelah itu, Hamid, saudara kembarnya Ahmed dan kakaknya Khadir membuat bendera putih dan mengibarkannya dari jendela. Mereka tak punya jalan lain.
Kakaknya ditelanjangi, dibelenggu kuat di belakang punggungnya dan matanya ditutup. Mereka dibawa ke suatu kelompok sekitar 100 lelaki Palestina ke Barak Militer Salem di Israel, tempat mereka mengatakan mereka dipukul dan ditawari uang untuk menjadi mata-mata Israel. Setelah 48 jam penyidikan, para lelaki dibawa ke suatu desa terdekat tanpa alas kaki dan disuruh pulang ke Tepi Barat. Ahmed ditendang dengan kasar di punggungnya dan ginjalnya dan terbaring di kasur menggeliat kesakitan. Khadir dengan mata lebam dan memar, tapi mereka bersaudara tetap hidup.
Tapi yang lain, tidak begitu beruntung. Di dalam mesjid beberapa dari lelaki yang menyerah hari Sabtu mengatakan dijadikan perisai hidup oleh para tentara… Khalid Mustafa Mohammed terbaring tengkurap berdarah-darah di atas kasur, dan punggungnya dibalut perban….
Khalid dengan dua rusuk patah dan pendarahan dalam dan terbaring setengah koma, mengigau kesakitan. Satu-satunya petugas kesehatan di kota, seorang dokter gigi yang sudah kelelahan, Dr. Farouk al Ahmed… “Kami takut akan ada pembantaian,” kata Dr. Farouk. Seorang saksi mata mengatakan bahwa “wanita dan anak-anak dipisahkan dari lelaki itu, dan dibawa ke hutan terdekat."
Rasa takut sesungguhnya bukanlah karena para pengungsi yang berhasil lari, melainkan yang masih tertinggal. Kenangan kamp pengungsian Sabra dan Shatilla muncul seolah belum lama terjadi.129
Walikota Jenin Walid Abu Muweis, tentang hal ini mengatakan bahwa kalimat yang dapat melukiskan apa yang ia lihat dan alami adalah: “Hal yang saya saksikan dengan mata kepala sendiri tidak akan bisa diungkap kata-kata. Bagaimana seorang manusia bisa melakukan kebrutalan seperti itu? Saya tidak mengerti.” Muweis yang mengatakan bahwa apa yang terjadi di Jenin jauh lebih mengerikan dibanding yang terjadi 54 tahun lalu di Deir Yassin, ketika menerangkan apa yang ia lihat dalam satu pernyataannya yang muncul di majalah Palestine Monitor:
Saya melihat mayat anak-anak menyembul dari reruntuhan. Saya melihat tubuh orang-orang berusia 60an dan 70an membusuk di jalanan. Ini baru satu kamp, tempat kecil yang diizinkan untuk dimasuki. Kejahatan bersejarah ini akan tetap menjadi kekejian memalukan terhadap dunia beradab yang tetap diam membisu sewaktu ratusan lelaki, wanita, dan anak-anak tak berdaya dijagal tanpa rasa kasihan oleh tentara terbiadab di dunia.130
Seperti dicatat oleh Abu Muweis, kejadian di Jenin akan menulis lembar memalukan dalam sejarah kemanusiaan. Pemandangan mengerikan yang muncul berikutnya di pers membenarkan hal ini. Misalnya, pemandangan pembantaian pertama dari Jenin digambarkan berikut ini dalam The New York Times:
Pengungsi di kamp mengatakan bahwa banyak warga sipil terbunuh. Dua mayat bisa dilihat di sini sekarang… keduanya terbakar tak dikenali lagi. Salah satunya pria… Sebagian sepatu karet masih ada di kaki kanan. Kaki kiri dan tangannya sudah hangus. Seorang wanita berpakaian hitam meratap di dekat mayat itu, lalat-lalat mengerubungi udara busuk karena aroma kematian yang tak perlu… Mayat lainnya, beberapa pintu jauhnya, terkubur di bawah dinding runtuh. Hanya muka hitam dan tak berwajah yang terlihat. Sepatu karet anak-anak… tergeletak di dekatnya. Di kedua peristiwa ini, tak ada senjata terlihat…131
FOTO-FOTO PEMBANTAIAN JENIN


Tentara Israel mencegah wartawan memasuki Jenin untuk menyembunyikan pembantaian, tapi foto-foto ini cukup memperlihatkan kengerian pembantaian bersejarah itu.
Justin Higgler dari surat kabar The Independent mempertanyakan pengabaian dunia atas pembantaian terang-terangan ini dalam artikelnya “The Camp That Became a Slaughterhouse” (Kamp yang Menjadi Rumah Jagal):
Selama sembilan hari, kamp Jenin menjadi rumah jagal. Lima belas ribu orang Palestina tinggal dalam tempat satu kilometer persegi di kamp ini, jalur-jalur dengan ruangan sempit. Ribuan orang sipil yang menderita, wanita dan anak-anak, menggigil ketakutan dalam rumah mereka ketika helikopter Israel menghujankan roket pada mereka dan tank-tank menembakkan rudal ke dalam kamp.
Yang terluka ditinggal mati. Tentara Israel menolak mengizinkan ambulan merawat mereka, yang merupakan kejahatan perang menurut Konvensi Jenewa. Palang Merah mengumumkan bahwa orang-orang mati karena Israel menghambat ambulan… Pihak berwenang Israel mungkin dapat menyembunyikan bukti, namun mereka tak bisa membungkam cerita yang telah dilontarkan oleh orang yang berhasil melarikan diri dari pembunuhan di kamp ini… Munir Washashi kehilangan darah dan meninggal beberapa jam setelah sebuah helikopter berputar di sepanjang dinding rumahnya. Ketika sebuah ambulan mendekatinya, tentara Israel menembakinya. Ibu Munir, Maryam, berlari ke jalan berteriak minta tolong pada puteranya dan ditembak di kepalanya oleh tentara Israel.132
Laporan ini diperoleh sekalipun Israel berupaya menghindari segala komunikasi dengan Jenin. Setelah pengepungan ini terungkap, dunia mendapatkan bukti lebih banyak tentang penjagalan ini. Satu-satunya cara untuk memastikan tidak ada lagi tragedi seperti Jenin di masa mendatang, dan menghentikan air mata dan rasa sakit di kedua belah pihak, adalah menghentikan kekerasan sepenuhnya. Memang, agar ini dimungkinkan, kelompok-kelompok tertentu di Palestina harus menghentikan kegiatan mereka menyerang warga sipil Israel yang tak bersalah. Ini, pada akhirnya, adalah pelanggaran atas etika Islam. Tapi Israel harus melupakan tujuannya menghancurkan orang-orang Palestina dan memenuhi kewajibannya pada PBB.
122. Gideon Levi, "Sammi Kosba's 40 days," Haaretz, Februari 8, 2002, tanda penegasan ditambahkan.
123. Adam Shapiro, "There Are No More Words," Socialist Viewpoint, April 2002, Vol. 2, No. 4, tanda penegasan ditambahkan.
124. "From intifada to war," The Economist, Maret 7, 2002, tanda penegasan ditambahkan.
125. "An ever more vicious cycle," The Economist, Maret 5, 2002, tanda penegasan ditambahkan.
126. Haaretz, Maret 11, 2002.
127. Tarik Kafala, "Confessions of an Israeli Reservist," BBC News, April 13, 2002, tanda penegasan ditambahkan.
128. Aluf Benn and Amos Harel, "Peres calls IDF operation in Jenin a 'massacre'," Ha'aretz, April 9, 2002, tanda penegasan ditambahkan.
129. Janine di Giovanni, "Children scream for water in the 'City of Bombers'," The Times, April 9, 2002, tanda penegasan ditambahkan.
130. "Jenin mayor says Israeli massacres at camp defies linguistic description," IAP News, April 15, 2002.
131. James Bennet, "Refugee Camp Is a Scene of Vast Devastation," The New York Times, April 14, 2002. 
132. Justin Huggler, "The camp that became a slaughterhouse," The Independent, A