Selasa, 27 September 2011

Agama dan Pemikiran

Ilmu pengetahuan tanpa agama, lumpuh

Agama tanpa pengetahuan, buta

Maka tidaklah mengherankan apabila ilmuwan mengatakan, bahwa sejarah kita di masa depan bergantung pada keputusan generasi sekarang mengenai hubungan antara akal dan ilmu pengetahuan di satu pihak dan agama di pihak lain, mengingat betapa pentingnya ilmu pengetahuan dan agama bagi kita.
A. N. Whitehead dalam bukunya Science and the Modern World menulis:

When we consider what religion is for mankind, and what science is, it is no exaggeration to say, that the future course of history depends upon the decision of this generation as to the relations between them.

Bila kita mengingat betapa pentingnya agama bagi umat manusia, begitu pula ilmu pengetahuan, maka tidaklah berlebih-lebihan apabila dikatakan bahwa sejarah kita di masa yang akan datang tergantung pada keputusan generasi sekarang mengenai hubungan antara keduanya.

Selanjutnya dikatakan bahwa dalam diri manusia terdapat dua tenaga yang mempengaruhi kita, tenaga-tenaga yang terkuat dan dapat saling bertentangan, yaitu tenaga intuisi beragama dan tenaga untuk meneliti dan menarik kesimpulan yang sesuai dengan akal.
Dalam diri kita terdapat dua keinginan, keinginan untuk menyembah Tuhan dan keinginan mengetahui dan mengambil kesimpulan yang sesuai dengan akal. Pertentangan ilmu pengetahuan dan akal di satu pihak dan agama di lain pihak, terjadi sejak zaman purba sampai sekarang. Bukankah tulisan cosmas, berdasarkan Bibel, bahwa dunia ini merupakan jajaran genjang yang panjangnya dua kali lebar, bertentangan dengan akal dan ilmu pengetahuan?
Bukankah pendapat Galileo bahwa dunia ini bergerak mengelilingi matahari, dan bukan matahari yang mengelilingi bumi, telah ditentang oleh Paus karena bertentangan dengan Bibel?
Bila kita mengingat kebenaran dalam agama dan ilmu pengetahuan, maka kita tak akan membuat kesalahan intelektual dengan menelan agama bulat-bulat dan meninggalkan ilmu pengetahuan, atau sebaliknya. Atau kita berlaku pengecut dengan menerima kedua-duanya dan menempatkannya pada tempat yang berlainan dalam otak kita dan tidak berani menghubung-hubungkan antara keduanya.
Kita tidak dapat berlaku tidak jujur dengan menerima ilmu pengetahuan bulat-bulat dan menambahkan unsur-unsur agama yang dianggap tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Bukanlah suatu ketidakjujuran seorang intelek yang menerima ilmu pengetahuan, dan menerima Tuhan hanya sebagai pencipta, Prima Causa, akan tetapi meninggalkan ajaran-ajaran-Nya seolah-olah Tuhan hanya dianggap sebagai pembuat arloji yang menyusun mesin-mesin alam dan membiarkan alam itu sendiri mengurus dirinya? Dan agama hanyalah mempunyai arti apabila di dalamnya ada Tuhan. Maka tidaklah mengherankan bila pada Ketuhanan sesuatu agama dapat menjadi sumber pertentangan dengan akal manusia.
Bagaimana kedudukan Tuhan dalam agama Kristen , dalam hubungannya dengan akal manusia, dikatakan oleh Fulton J. Sheen dalam bukunya God and Intelligence:

The modern God was born, the day the “beast intellectualism” was killed. The day the intelligence is reborn the modern God will die. They cannot exist together for one is the annihilation of the other.

Tuhan modern telah dilahirkan pada hari pemikiran yang buas dibunuh. Pada saat pemikiran dilahirkan lagi, Tuhan modern akan mati. Keduanya tak mungkin berada bersama-sama, karena yang satu akan memusnahkan yang lain.

Namun aneh, meskipun pemikiran dapat membunuh ”Tuhan Kristen Modern”, menurut Sheen, akal tidak dapat dibunuh untuk kepentingan agama, dan akal tidak dapat dipisahkan dari Tuhan Yang Maha Esa, seperti dikatakannya pada bagian lain dari bukunya:

The denial of the intelligence is a denial of an infinitely perfect God, as a denial of an infinitely perfect God is a denial of the intelligence. The two problems are inseparable.

Pengingkaran terhadap akal adalah pengingkaran terhadap Tuhan yang sempurna tak terbatas, seperti pengingkaran terhadap Tuhan yang sempurna tak terbatas adalah pengingkaran terhadap akal. Kedua masalah itu tak terpisahkan.

Galileo bukanlah orang yang buas karena mengatakan bahwa dunia ini beredar mengelilingi matahari. Arius bukanlah orang yang buas karena ia tidak mempercayai Ketuhanan-manusia. Dr. Bruno Bauer bukanlah orang buas bila ia menyelidiki Injil Sinoptik secara ilmiah, dan menolak keaslian Injil.
Meskipun orang alim Michael Servetus, Martin Cellaris, George Van Paris dan kawan-kawannya dibakar hidup-hidup dan dihukum sebagaimana Bruno Giardiano, namun karya-karya mereka telah dikembangkan oleh orang-orang lain. Buah pikiran mereka tentang agamanya akan tetap merupakan momok yang mengancam ajaran-ajaran agama yang tidak rasional dalam batas-batas akal.
Roda ilmu pengetahuan yang dibina oleh manusia akal melanda segala sesuatu yang bertentangan dengan akal. Dia akan melanda agama yang mengajarkan kepercayaan akan banyak Tuhan atau polytheisme, pembagian Tuhan menjadi beberapa oknum atau pengoknuman Tuhan atau personifikasi Tuhan; dia akan melanda penjelmaan Tuhan menjadi manusia atau inkarnasi Tuhan, pengkelaminan Tuhan menjadi laki-laki atau perempuan, Tuhan yang berkeluarga dan sebagainya.
Dan ilmu pengetahuan akan sejalan dengan agama yang sesuai dengannya, yang tidak mengajarkan unsur-unsur polytheisme. Memang manusia tidak akan sampai pada Tuhan bila langsung memikirkan “zat”-Nya. Namun manusia akan sampai kepada-Nya dengan dengan melihat ciptaan berupa benda, ruang, hukum dan waktu (atoms, space, law, and time), di mana berpangkal hukum sebab-akibat.
Lepasnya agama dari ilmu pengetahuan akan merebahkan agama itu sendiri. Standar ilmiah adalah standar yang penting untuk mempertahankan keimanan.

Prof. Herbert J. Muller berkata dalam The Uses of The Past:

Scientific standards of truth are not the only possible standards of course, but they are the necessary standards for claims to literal, factual, historical truth.

Standar-standar ilmiah dari suatu kebenaran tentu bukan merupakan satu-satunya standar yang mungkin, tetapi merupakan standar yang perlu untuk menuntut pengakuan kebenaran literer, factual dan histories.

Memang akal manusia tidak akan sanggup menerangkan seluruh kenyataan, tak sanggup mencapai seluruh kebenaran. Ilmu pengetahuan akan menyerah pada pertanyaan “dari mana datangnya seluruh alam ini”?. Hukum kemungkinan (The law of probability) akan kagum dengan pertanyaan kecil “berapa besarkah kemungkinan hingga 1028 (angka satu dengan 28 angka nol) atom menyusun dirinya untuk membentuk seorang manusia?
Ilmu pengetahuan bukan satu-satunya dasar agama, namun ajaran-ajaran agama yang bertentangan dengan akal dalam batas-batasnya akan ditantang oleh akal dan ilmu pengetahuan.

Sumber : Ke-Esaan Tuhan, O. Hashem