Minggu, 14 Agustus 2011

Al-Masih dalam Al-Qur’an dan Islam


Al-Masih dalam Al-Qur’an dan Islam (1): Tanggapan untuk Bambang Noorsena

Bambang Noorsena dalam www.iscs.or.id (7 Maret 2006) menulis sebuah tulisan tentang Yesus (‘Isa) di dalam satu tema besar: ‘Sosok Yesus di mata santri Jawa: Selayang Pandang Mengenal Kitab Kuning‘. Tema besar itu kemudian dibagi menjadi tiga sub-judul: (1) Menyangkut Kristologi kalimat Allah dalam Al-Qur'an dan Citra Al-Masih, (2) Kedudukan ‘Isa Al-Masih: (wajiihan fi al-dunyaa wa al-aakhirah) dan Kesucian Yesus dan Peranannya sebagai Teladan Kesalehan Muslim, dan (3) Sindroma Salib dan Sekitar Kematian ‘Isa al-Masih dalam al-Qur’an.

Setelah membaca keseluruhan substansi tulisannya, penulis menemukan beberapa hal yang perlu dikritisi dan diluruskan. Tulisan yang dimuat di website tersebut, hemat penulis, mengandung banyak kekeliruan, meskipuan Bambang Noorsena mengutip buku-buku klasik (turats) Islam –seperti tafsir Ibnu Jarir al-Thabari, Jalalain dan Ibnu Katsir—dalam menjustifikasi pendapatnya. Sehingga, pendapat dan idenya yang tertuang 'mirip' sekali dengan studi orientalisme yang membuat keraguan (tasykik) terhadap umat Islam.

Dalam Islam, Kristus memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Sehingga tidak heran jika namanya lebih banyak disebuat –bahkan—dari nama Nabi Muhammad itu sendiri. Sebagai penghormatan kepada ibunya, Maryam, Allah mengabadikannya dalam satu surah Al-Qur'an, surah Maryam. Nama Yesus sendiri di dalam Al-Qur'an disebutkan sebanyak 25 kali. Namun demikian, keyakinan umat Islam 'sudah final': Yesus hanya sebatas rasul (utusan Allah), bukan 'anak Allah' apalagi Allah itu sendiri.

Tentang kristologi kalimat Allah dan citra Al-Masih dalam Al-Qur'an, Bambang menulis:
"Apabila kita menelusuri perdebatan klasik Kristen-Islam mengenai sosok Yesus, patut dicatat di sini bahwa baik penekanan akan kelilahian-Nya dalam Iman Kristen, maupun penolakan atas klaim Kristen tersebut, keduanya didasarkan pada gelar yang sama yang diakui kedua agama. Dalam hal ini, gelar ‘Isa sebagai Kalimat Allah (Firman Allah) yang,--terlepas bagaimana penafsiran kedua pihak,--dikaitkan erat dengan Roh Allah, baik dalam kelahiran maupun dalam karya Yesus."

Kemudian, Bambang mengutip firman Allah dalam Qs. Ali ‘Imran [3]: 39:
"Anna llaha yubasyiruki bi yahya mushadiqan bi kalimatin min Allah?Artinya: Sesungguhnya Allah akan memberi kabar gembira kepadamu (wahai Zakaria) dengan seorang anak yaitu Yahya yang akan membenarkan Firman dari Allah.
Kata yubasysyiruki yang dituliskan oleh Bambang tentu saja tidak benar, semestinya yubasysyiruka (dhamir 'ka' untuk laki-laki), karena yang menjadi khithab adalah nabi Zakaria, bukan Maryam.

Kemudian Bambang menulis: " Mengenai ayat di atas, Tafsir Jalalain menafsirkan makna ayat bi-kalimatin min Allah (dengan Firman dari Allah) sebagai : bi kalimatin (kelawan Kalimat), ka'inatin min Allah (kang mujud saking Allah), ay bi ‘Isa (tegese kelawan Nabi Isa) annahu Ruhullah (satuhune Nabi ‘Isa iku Roh Allah), wa summi kalimatan (lan den arani kalimat) liannahu khuliqa bi kalimati kun (karana Nabi ?Isa iku den dadekaken) bi kalimati kun (karana kalimat Kun).

Terjemahan:
"Dengan Firman yang berwujud dari Allah, maksudnya yaitu Nabi ?Isa, sesungguhnya Ia adalah Roh Allah, dan disebut Firman karena Nabi ?Isa diciptakan dengan firman: Jadilah!?.
Ketika menjelaskan ungkapan dalam ayat: mushadiqan bi Kalimatin min Allah (membenarkan Firman dari Allah), Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur?an al-Adzim, mengutip riwayat Ibnu ?Abbas r. a yang berbunyi:
Qala kana Yahya wa ‘Isa abnaya khalat, wa kaanat ummu Yahya taquulu li Maryam, Anni asjud alladzi fii bathni yasjudu li alladzi fii bathniki. Fadzalika tasdiiqi lahi fii bathni umihi, wa huwa awwali min shaddaqa ‘Isa wa kalimati llahi ‘Isa.Terjemahan:
Kata Ibnu ‘Abbas r.a.: Yahya dan ‘Isa adalah saudara sepupu dari pihak ibu, dan ibu Yahya pernah berkata kepada Maryam: "Aku mendapati bahwa bayi yang ada dalam perutku bersujud kepada bayi yang ada di perutmu". Yahya sudah membenarkan ‘Isa sejak dalam kandungan ibunya, dan dialah orang yang paling awal menyaksikan kebenaran ‘Isa, yaitu ‘Isa sebagai Firman Allah.
Ibnu Katsir juga mengutip riwayat Qatadah, bahwa putra Zakaria itu dinamakan Yahya: disebabkan Allah menghidupkan dia dengan iman (lianna llahu ahyahu bi al-iman). Selain Qatadah, dikutip pula riwayat dari Ikrimah, Mujahid, al-Sudi, al-Rabi‘ bin Anas, yang menjelaskan ciri-ciri anak yang akan dilahirkan tersebut: Dia adalah orang yang pertama membenarkan ‘Isa anak Maryam (huwa awwalu man shaddiqan bi ‘Isa ibnu Maryam).
Membaca sekilas tafsiran di atas, kita diingatkan dengan peranan Yahya Pembaptis sebagai seorang bentara al-Masih dalam Injil yang mempersiapkan jalan bagi kedatangan-Nya (Yohanes 1:29; 3:38). Sedangkan ucapan Ashba (Elizabet) kepada Siti Maryam, secara harfiah dijumpai hampir sama dengan catatan Injil Lukas 1:39-45. Demikian pemaparan Bambang.

Dari penjelasan Bambang di atas, kita menemukan beberapa hal. Pertama, kaidah bahasa Arab yang masih 'bersalahan' dari Bambang. Contoh, kata-kata lianna llahu, seharusnya li'anna Allaha, karena didahulia oleh huruf anna, sehingga menjadi manshub, berbaris fathah. Kedua, kata huwa awwalau man shadiqan bi ‘Isa ibnu Maryam, seharsunya awwalu man shaddaqa (membenarkan). Meskipun tidak begitu substansial, tapi hal demikian harus lebih diperhatikan. Tidak mustahil, bahasa Arab yang salah menimbulkan implikasi pada pemahaman teks Arab itu sendiri.

Islam tidak menyangkal bahwa Yohanes Sang Pembaptis (Yahya) membuka jalan dakwah Yesus Kristus. Dan sikap Islam –sebagai termaktub di dalam Al-Qur'an—sangat jelas dan tegas. Yesus memang 'Roh Allah', yakni roh yang berasal dari Allah. Hal ini sangat jelas sekali di dalam surah Ali ‘Imran [3]: 45 –yang juga dikutip oleh Bambang. Tapi, umat Kristen –terutama Bambang—lebih mengedepankan kata 'roh Allah' daripada 'roh dari Allah'. Lebih jelas, dalam surah Maryam: 17 Allah menyebut Jibril sebagai ‘roh Kami‘ (ruuhanaa), maksudnya adalah ‘roh yang berasal dari Allah‘. Apa bedanya dengan Yesus?

Selanjutnya ia mengutip Al-Qur'an Qs. Ali Imran/3:45:
Idz qalati al-Mala'ikatu Ya Maryam, Inna llaha yubasyiruki bi Kalimatin minhu asmuhu al-Masih ‘Isa bnu Maryam wajihan fi al-dunya wa al-akhirat wa min al-muqqarabin.Artinya: "Ingatlah ketika Malaikat berkata: Wahai Maryam, sesungguhnya Allah memberikan kabar gembira kepadamu dengan Firman dari Dia, namanya al-Masih ‘Isa putra Maryam, yang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan salah seorang dari mereka yang didekatkan di sisi Allah".
Tafsir Jalalain menafsirkan kata-kata: Innallaha yubasyiruki bi Kalimatin minhu, ‘satuhune iku bungahe Allah ing sira, kelawan kalimat saking anak, (ay waladin) tegese iku anak‘ (Sesungguhnya itu kabar gembira dari Allah kepadamu, dengan Firman mengenai seorang anak, yaitu kelahiran seorang anak).
Sedangkan penyebutan Yesus yang selalu dihubungkan dengan nama ibunya, untuk menekankan kelahiran insani-Nya dari perawan Maryam tanpa seorang bapa. Itulah kristologi Qur'an yang menolak klaim Kristen mengenai kelahiran kekal Firman Allah dari Dzat-Nya. Dengan demikian ‘Isa bnu Maryam itu disebut namanya:
‘bi nisbatihi (kelawan nisbate iku) ilaiha (maring Maryam) tanbina ‘ala (karana ngelingaken satuhune Maryam) annaha taliduku (iku manake Maryam ing anak) bi laa ab (kelawan ora nana bapa)‘.

Terjemahan:
‘Dengan menghubungkannya kepada Maryam, karena untuk memperingatkan bahwa sesungguhnya Siti Maryam itu melahirkan anaknya (‘Isa) tanpa melalui perantaraan seorang ayah’.

Pertanyaanya yang muncul kemudian adalah: ‘Apakah ada ulama Islam yang mengakui Yesus sebagai Tuhan?‘ Tidak ada! Ulama Islam sepakat –apalagi para mufassirun—bahwa Yesus diciptakan dengan kata-kata 'Kun', ‘Jadilah‘. Tidak ada yang menyangkal satupun dari mereka. Tetapi, tidak ada satu orangpun yang menyatakan bahwa Yesus itu Tuhan. Apalagi 100 % manusia dan 100 % Tuhan, kamala bi al-nasut wa kammala bi al-lahut –padahal semestinya ‘kamula‘, sebagimana yang selalu diklaim oleh Bambang.

Kemudian Bambang menulis, ‘Jadi, meskipun kristologi gereja yang menekankan bahwa Yesus adalah Firman Allah terdengar menggema dalam ayat-ayat al-Qur'an di atas, tetapi Islam tidak turut serta merta memindahkan makna teologisnya sebagaimana yang dipahami iman Kristen. Ungkapan ‘bi kalimatin minhu‘ (dengan Firman dari-Nya), dalam sejumlah tafsir al-Qur'an tidak dipahami sebagai Firman kekal yang bersifat ghayr al-makhluq (bukan ciptaan), melainkan sebagai kalam takwiniyyah (kata penciptaan kun, ‘Jadilah‘). Meskipun demikian, berbeda dengan makhluk lainnya, ‘Isa diciptakan melalui Firman Allah secara langsung seperti Allah juga menciptakan Adam.

Hemat penulis, justru ini yang benar. Tapi, Bambang tidak menginginkan yang ini. Ia lebih ‘memaksakan‘ kehendaknya, agar umat Islam menerima Yesus sebagai ‘Firman Allah' yang kekal, ‘ghayr al-makhluq‘. Tentus saja tidak mungkin. Meskipun penciptaan Yesus itu ‘ajaib‘ –karena dilahirkan tanpa ayah, hanya dengan firman Allah ‘kun‘—tidak serta merta menjadikannya ‘kekal‘ dan dianggap sebagai Tuhan. Keliru saya kira.

Kedudukan Al-Masih dalam Al-Qur’an:Ada hal-hal yang tidak dipahami oleh Bambang. Kedudukan Al-Masih di dalam Al-Qur'an itu sangat jelas sekali. Al-Qur'an menjelaskan tiga kedudukan Al-Masih, "Itulah ‘Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya. Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia. Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhan kalian, maka sembahlah Dia oleh kamu sekalian. Ini adalah jalan yang lurus."[1] Oleh karenanya, Allah menegaskan agar kaum Ahli Kitab –Yahudi dan Kristen—untuk bertindah berlebih-lebihan (al-ghuluww) dalam agama mereka. Allah berfirman, "Wahai Ahli Kitab, janganlah kalian melampui batas dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhya Al-Masih ‘Isa putera Maryam itu adalah utusan Allah dan firman (kalimat)-Nya yang disampaikan kepada Maryam dan roh dari-Nya."[2]

Al-Qur'an mengajak umat Yahudi kepada cara pandang yang pertengahan (al-ra'yu al-wasath), sehingga mereka tidak menjadikan Kristus sebagai ‘anak zina‘. Al-Masih adalah seorang pesuruh Allah dan ibunya adalah Maryam al-batûl (taat beribadah). Al-Qur'an mengajak umat Kristen untuk bersikap ‘moderat‘ (al-ra'yu al-wasath), agar mereka tidak menjadikan Al-Masih sebagai Tuhan, anak Tuhan atau bagian dari Trinitas. Dia hanya seorang rasul yang diutus dari sisi Allah dan ibunya orang yang benar (shiddîqah), "keduanya (biasa) memakan makanan."[3]
Al-Qur'an telah menyebutkan (tentang proses) kelahiran ‘Isa (Yesus), bahkan kehamilannya dan kondisi yang ada ketika itu, yang disebutkan di dalam Qs. Maryam [19]: 16-29, dan Ali ‘Imrân [3]: 45-47).[4]

Dari penjelasan di atas, dapat simpulan bahwa Al-Qur'an sudah ‘final’ dalam menjelaskan kedudukan Al-Masih. Pertama, sebagai ‘Firman Allah’, Kalimah Allah (word of God) dan ‘Roh dari-Nya‘ (a spirit of Him). Ia di dalam Al-Quran disebut sebagai Kalimah Allah ("the word of God")[5], dan dalam versi ayat yang lain, dia disebut sebagai ‘Firman dari-Nya‘ (Kalimah min-Hu, a word of Him)[6]. Perlu dicatat, bahwa seluruh wahyu seperti Taurat (Torah), Injil (Gospels) dan Al-Quran disebut sebagai ‘Firman Allah’ (the word of God).

Imam al-Haramayn al-Juwayni (w. 478 H) menginformasikan kepada kita bahwa kata Kalimah (word) menurut beberapa Kristen apoligis (Christian apologist) menyatakan bahwa Yesus merupakan ‘Firman Allah‘ (the word of God), dan ‘Firman‘ (word) menurut kaum Muslim adalah tidak diciptakan (uncreated). Nah, ini sesuai dengan keimanan Kristen tentang Yesus. Al-Juwayni menyatakan bahwa umat Islam sangat setuju untuk menyebut Yesus sebagai ‘satu Firman‘ (a word) atau ‘Firman‘ (the word). Pendapat beliau ini didukung oleh beberapa ayat Al-Qur'an. Kemudian, beliau juga menyatakan bahwa ‘Firman‘ itu juga berarti ‘titah/sabda Tuhan‘ (God’s decree), karena Allah telah menciptakan Yesus secara langsung dengan firman-Nya Kun Fayakun. Hal ini IA jelaskan lewat ayat ini, ‘‘(Indeed the likeness of Jesus in God’s eyes is as Adam's likeneness. He originated him from dust, then said He unto him, "Be" and he was’’(Sesungguhnya misal (penciptaan) ‘Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan Adam). Allah menciptakan Adama dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah ia).[7]

Imam al-Juwayni memberi kesan bahwa ayat di atas menyebut Jesus sebagai Kalimah, satu Firman dari Allah, dapat dipelajari dalam kaitannya dengan bagian-bagian lain yang ada di dalam Al-Qur'an: yang menolak doktrin inkarnasi (incarnation) dan mengkafirkan para pemeluknya (pengikutnya).
Imam al-Bukhari juga menyatakan bahwa pembedaan antara Yesus dan ‘Firman‘ dapat dipahami lewat (dalam) dasar-dasar linguistik yang fundamental. Yesus adalah masculine –berjenis kelamin laki-laki, Arab: mudzakkar—tetapi "Kalima" (word) adalah feminine (Arab: mu'annats) sebagaimana yang disepakati oleh para Folologis Arab. Dengan demikian, Yesus itu diciptakan lewat agen Tuhan (created through God agency) dari Firman, tetapi bukan Firman itu sendiri. Terjemahan Inggris dari Al-Qur'an surah al-Nisâ’ [4]: 171 menyatakan: (His word that He committed to Mary). Dalam bahasa Arab, bagaimanapun, kata ‘‘that’’ adalah jenis kelaminnya perempuan (feminine), yang menghadap (menunjuk) pada kata ‘‘word’’. Jadi, dalam terma linguistik, ‘‘word’’ (Kalimah) itu adalah feminine gender, tidak bisa sejajar (equivalent) dengan Yesus. Firman itu dimasukkan ke dalam –rahim—Maryam oleh malaikat Jibril (Qs. Ali ‘Imrân [3]: 45). Al-Bukhari kemudian berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara penciptaan Adam dengan penciptaan Yesus.

Frase ‘‘The word of Good’’ (Firman dari Allah) digunakan dalam Al-Qur’an dalam bentuk tunggal (singular) dan jamak (pluralKalimatu Allah dan Kalimaatu Allah. Ini menunjukkan perbedaan makna, tetapi penggunaannya sebagai gelar Yesus dapat dijelaskan dalam beberapa cara. Contoh, Kalimah artinya nubuat/ramalan (prophecy), ‘kabar gembira‘ (glad tidings) atau ‘berita baik‘ (good news), dimana Tuhan telah "berjanji" atau ‘‘telah meramalkan’’ (foretold) para nabi.

Salah seorang sarjana Muslim besar, asy-Syarif ar-Radi (w. 407 H/1016 M) menjelaskan bahwa Tuhan menyebut Yesus sebagai Kalimah, memberikan makna ‘satu Firman‘ secara metaforik. Hal juga menjelaskan bahwa Allah membimbing manusia melalui-Nya sebagaimana Dia memberi petunjuk kepada mereka –manusia—dengan Firman-Nya. Ini sebuah pandangan yang juga dipegang oleh seorang Mu‘tazili, Abu ‘Ali al-Juba'i.[8] Ini posisi (kedudukan) Al-Masih yang pertama.

Kedua, Yesus sebagai hamba (‘Abd). Kedudukan Yesus sama dengan nabi-nabi yang lain. Ia disebut sebagai ‘Abd, seorang yang mengabdi kepada Allah, ‘‘Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: "Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?" Berkata ‘Isa: "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan dia menjadikan aku seorang nabi. Dan dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.’’[9]

Kata ‘hamba‘ (Arab: ‘Abd) di sini digunakan sebagai tanda kehormatan dan sikap tunduk –seperti budak—(servility) terhadap kehendak dan perintah Allah. Allah dalam Al-Qur'an berfirman, "Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai ‘Isa putera Maryam, adakah engkau mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua tuhan selain Allah?". ‘Isa menjawab: ‘‘Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib-gaib.’’[10]

Nabi Muhammad dan seluruh nabi-nabi (‘alayhimussalam) disebut sebagai ‘hamba-hamba’ (plural: ‘Ibad) Tuhan:
‘‘Dan mereka berkata: ‘‘Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak’’, Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan.’’[11]

Orang-orang yang saleh dihormati oleh Tuhan, yang Dia sebuat sebagai ‘hamba-hamba’ (‘Ibad): ‘‘Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata damai (ucapan selamat).’’[12]

Itu semua mengindikasikan sifat alamiah para nabi, termasuk di dalam Yesus. Julukan yang sama –sebagai hamba—juga diberikan kepadanya di dalam Perjanjian Baru (Injil). Dalam hal ini, penafsiran Kristen atas ramalan Perjanjian Lama (Taurat) dapat dijadikan sebagai satu contoh. Nabi Isaiah berkata (53: 11):
‘‘My servant, many shall he claim for his own, [he shal] win their acquittal, on his shoulders bearing their guilt.’’[13]

Ketiga, Yesus sebagai nabi (Prophet) dan rasul (Messenger). Al-Qur’an menggambarkan Yesus sebagai nabi dan rasul Allah. Satu contoh, Allah Swt. berfirman:
‘‘Dan (ingatlah) ketika ‘Isa putera Maryam berkata: ‘‘Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat yang memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)’’....’’[14]

Juga kemanusiaan Yesus sangat jelas ditekankan dalam ayat Al-Quran berikut ini:
‘‘Al-Masih putera Maryam itu hanya seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (Ahli Kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu). Katakanlah: "Mengapa kalian menyembah selain Allah , sesuatu yang yang tidak dapat memberi mudharat (bahaya) kepada kalian dan tidak (pula) memberi manfaat?" Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’’[15]

Dari pihak Kristen, kita bisa sejumlah rujukan yang menjelaskan kedudukan Yesus sebagai nabi. Contoh, menurut Matius 10: 40 Yesus menjelaskan kepada para pengikutnya:
‘‘Orang yang menerima kalian, menerima aku. Dan orang yang menerima aku, menerima Dia yang mengutus aku. Orang yang menerima nabi karena dia seorang nabi, akan menerima upah para nabi.’’

Dalam Yohanes 12: 47 Yesus berkata:
‘‘Jika seseorang mendengar perkataanku dan tidak memeliharanya (tidak mengikutinya), aku tidak menghukuminya: sebab aku datang bukan untuk menghukumi dunia, tetapi untuk menyelamatkannya.’’

Ini sangat jelas meletakkan Yesus dalam konteks sebagai seorang nabi, bukan sebagai tuhan, sejak ia datang untuk menyelamatkan. Sebagaimana hal itu dilakukan oleh para nabi, bukan untuk menghukumi manusia. Di dalam Al-Qu'ran Tuhan berfirman kepada Muhammad:
‘‘Dan jika Kami perlihatkan kepadamu sebagian (siksa) yang Kami ancamkan kepada mereka atau Kami wafatkan engkau (hal itu tidak penting bagimu), karena sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, dan kamilah yang memperhitungkan amalan mereka."[16] Allah juga berkata kepada Nabi Muhammad Saw.: "Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau hanyalah seorang yang memberi peringatan. Engkau bukan orang yang berkuasa atas mereka.’’[17]

Dalam Yohanes 12: 45-46 kita juga membaca: ‘‘Orang yang melihat aku, melihat Dia yang mengutus aku. Aku datang ke dunia ini sebagai terang, supaya semua orang yang percaya kepaaku, jangan tinggal di dalam kegelapan.’’[18]

Kemudian, masalah perdebatan antara Ahlissunnah dan Mu‘tazilah tentang apakah Firman Allah itu qadim atau hadits alias makhluq merupakan isu klasik.

Untuk menguatkan idenya ini, Bambang mengutip pendapat Syeikh Muhammad ‘Abduh dalam bukunya Risalat al-Tawhid. ‘Abduh menyatakan:
‘‘Wa qad yusama ‘ilm al-kalami, anna lianna asyhara mas'alatin wa qa‘a fiha al-khilaafu baina ‘ulama I al-quruni al-ula, hiya 'anna kalam allah almatluwwa haditsu aw qadiim. Artinya: ‘Kadang-kadang disebut ilmu Kalam karena masalah yang paling masyhur dan banyak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama-ulama Islam pada abad-abad pertama Hijrah, yaitu mengenai apakah Kalam Allah yang dibaca itu baru ataukah qadim (kekal).’

Terjemahan Bambang sangat ‘tendensius’ dan terlalu dipaksakan agar sesuai dengan idenya. Kata-kata ‘al-qurun al-ula‘ tidak serta merta diterjemahkan dengan ‘abad-abad pertama Hijrah‘. Ia lebih tepat diterjemahkan dengan ‘periode awal’. Karena awal abad pertama hijriah tidak ada ‘perdebatan‘ seputar kedudukan Al-Qur’an sebagai al-kalam al-nafsi dan al-kalam al-lafzhi. Di samping itu, ternyata Bambang juga tidak jujur dalam mengutip pendapat Imam Muhammad ‘Abduh ini. Sebenarnya, dalam Risâlah al-Tawhîd-nya itu, Muhammad ‘Abduh –ketika menjelaskan sebab dinamakannya ilmu Kalam—menyebutkan tiga kemungkinan, bukan satu, seperti yang dikutip oleh Bambang.

Imam Muhammad ‘Abduh menjelaskan:
‘‘Wa qad yusamma ‘ilma al-kalam, immaa li'anna asyhara mas’alatin waqa‘a fiha al-khilâfu bayna ‘ulamâ’ al-qurûn al-ûlâ hiya anna Kalâma Allâhi al-matluww hâditsun aw qadîmun; wa imma li'anna mabnâhu al-dalîl al-‘aqliy wa atsarahu yazharu min kulli mutakallimin fî kalâmihî. Wa qallamâ yarji‘u fîhi ilâ al-naql; allâhumma illâ ba‘da taqrîri al-ushûl al-awlâ, tsumma al-intiqâl minhâ ilâ mâ huwa asybaha bi al-far‘i ‘anhâ, wa inkâna ashlan limâ ya'thiy ba‘dahâ; wa immâ li'annahû fî bayâni thuruq al-istidlâl ‘alâ Ushûl al-dîn asybahu bi'l-mathiq fî tanbhîhi masâliki al-hujjah fî ‘ulûm ahl al-nazhar, wa abdala al-mathiq bi al-kalâm[19] li al-tafriqah baynahuma.[20]

Jadi tidak benar jika Syeikh Muhammad ‘Abduh hanya menjelaskan satu sebab, ketika menjelaskan penamaan ilmu Kalam terhadap teologi dalam Islam. Menurut beliau penyebabnya ada tiga. Pertama, seperti yang dikutip oleh Bambang. Kedua, bangunannya adalah dalil ‘aqliy (berdasarkan akal, ijtihad), dan pengaruhnya itu tampak dalam setiap perkataan seorang teolog (Mutakallim). Dan ketiga, karena metode menjelaskan pengambilan dalil atas ilmu-ilmu agama, mirip dengan logika (al-mathiq).

Perbedaan Pendapat Seputar Khalq al-Qur’ân:

Menurut Dr. Shalah al-Din Basyuni Ruslan, terdapat perbedaan pendapat di antara para peneliti tentang keterpengaruhan umat Islam tentang konsep khlaq Al-Qur'an ini; oleh agama Yahudi: yang meyakini bahwa Taurat itu makhluq (khalq al-Tawrah) atau oleh orang-orang Kristen: yang mengimani ke-qadiman ‘Firman Allah’. Mereka percaya bahwa ‘Isa ibn Maryam merupakan kalimat Allah (‘Firman Allah’) yang tidak diciptakan, laisa bimakhluqin. Umat Islam –dalam hal ini Mu‘tazilah—hanya bertaklid saja dalam mengatakan hal itu terhadap kalam Allah: kalam-Nya qadim-azali. Hal ini dijelaskan oleh Macdonald dalam bukunya Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory. Ia berkata: ‘‘Keyakinan (akidah) ini berpindah dari Gereja Yunani-Timur kepada umat Islam lewat St. John of Damascus. Bahwa firman itu tidak seperti Al-Qur’an yang qadim dan azali, ‘ghayr al-mahluq’, tapi konsepnya satu.’’

Yang benar adalah: konsep yang menyepakati atau menentang khalq Al-Qur’an ini tidak dikenal pada masa Nabi Saw. dan para sahabatnya. Namun tidak diragukan bahwa ‘perhelatan‘ antara umat Islam dengan agama lain, terutama Yahudi dan Kristen, setelah kematian Nabi sekitar 20 atau 30 tahun memiliki pengaruh yang tidak dapat dipungkiri dalam hal azaliyah (keazalian) Al-Qur’an atau pemakhlukannya. Dan memang salah satu penyebab lahirnya ilmu Kalam Islam adalah pertemuan Islam dengan berbagai peradaban atau agama-agama yang ada di daerah yang dibebaskan.[21]

Pendapat Ibnu Jahm, yang dikutip oleh Bambang dari bukunya Hosein Nasr, ‘Islam dalam Cita dan Fakta’, yang –katanya Ibnu Jahm—mengejek Asy‘ari dengan mengatakan: ‘‘Saya menemukan sebuah ayat dalam Firman Allah untuk membuktikan bahwa Al-Qur’an itu diciptakan. Demikianlah Firman Allah: ‘‘Al-Masih ‘Isa Putra Maryam itu Rasul Allah dan Firman-Nya." Nah, kalau ‘Isa disebut Firman Allah dan kita mengatakan bahwa ia itu diciptakan, mengapa pada saat yang sama kita tidak mengatakan bahwa al-Qur'an itu juga ciptaan?" Ini bukan meanstream dalam sekte Islam. Apalagi tokoh semacam Ibnu Jahm, yang sektenya kemudian disebut al-Jahmiyah. Sekte ini dikenal dengan al-Jabariyah. Dia memang sepakat dengan Mu‘tazilah dalam menafikan sifat-sifat Allah. Dan Yesus sebagai ‘Firman Allah’, tidak sama dengan Al-Qur'an sebagai ‘Firman Allah’. Logikanya adalah: apakah Bibel bukan Firman Allah? Kenapa tidak membandingkan Al-Qur'an dengan Bibel yang sama-sama diklaim sebagai kalimat Allah?

Teori Asy‘ariyah dalam membuat konsep shifat dan dzat Allah, bukan hanya untuk melawan Mu‘tazilah. Ia lebih ditekankan untuk memudahkan pemahaman. Intinya, adalah: apakah kalam Allah itu shifat atau dzat.

Masalah Mu‘tazilah, hemat penulis, tidak bisa dibicarakan ‘sambil lalu‘, banyak yang harus dikaji secara mendalam di sana. Kutipan-kutipan ‘tendensius‘ seperti yang dilakukan Bambang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Mu‘tazilah yang dikenal denganashab al-‘adl wa al-tawhid, dijuluki juga dengan al-Qadariyah dan al-‘Adliyah. Sedangkan al-Qadriyah dianggap sebagai Majusi umat Islam oleh Nabi Saw.: ‘‘al-Qadariyah Majus hadzihi'l-ummah.’’ Dan sudah menjadi rahasia umum –dalam Islam—sekte Mu‘tazilah menafikan sifat-sifat Allah, terutama dalam sekte Washil ibn ‘Atha'.[22] Jadi tidak mudah membicarakan Mu‘tazilah ini. Apalagi main asal ‘cabut’ dan asal ‘kutip’.

Tentang masalah ‘kodrat ganda‘ Yesus, Bambang menulis, ‘‘Karena itu, apabila iman Kristen menekankan kodrat ganda Yesus yang serentak pula: kammala bi al-Lahut wa kammala bi an-nasut (sepenuhnya ilahi dan sepenuhnya insani), begitu juga Islam mengenal Al-Qur’an sebagai kalam nafsi (kalam yang kekal) sekaligus kalam lafzi (kalam temporal). Merujuk paralel yang begitu dekat itu, Sayyed Husein Nasr dalam Ideals ad Realities of Islam, menyejajarkan posisi Yesus dalam Iman Kristen dengan Al-Qur’an, dan posisi Nabi Muhammad sebagai penerima Firman Allah dengan Sayidatina Maryam yang juga menjadi mediator kelahiran Firman Allah yang menjadi manusia.’’

Sebagaimana yang sedikit penulis singgung sebelumnya, Bambang ingin ‘memaksakan’ keyakinannya agar bisa diterima oleh umat Islam. Sudah mafhum dalam ranah pemikiran Islam, bahwa Sayyed Hosein Nasr merupakan pemikir yang mengusung konsep ‘‘Tradisionalisme’’, dan pemikirannya tidak dianggap sebagai meanstream. Ujung-ujungnya adalah mengajak umat Islam untuk mengakui konsep ‘Unity of Religions’, ‘Kesatuan Agama-agama’. Dan para mutakallimun Islam tidak ada yang menyatakan hal itu. Itu hanya konsep Nasr, dan itu bukan pendapat yang benar dalam Islam. Dari sekian banyak buku-buku teologi (Kalam dan Tawhid) dalam Islam, tidak ada satupun yang menyatakan konsep ‘Unity of Religions’.

Menyamakan Yesus dengan Al-Qur’an dalam Islam adalah salah kaprah dan nyelenah. Posisi Nabi Muhammad juga tidak bisa disamakan dengan Sayyidah Maryam, hanya karena sama-sama menjadi mediator firman Allah. Firman Allah dalam Islam jelas, Al-Qur’an. Sedangkan Yesus hanya diciptakan oleh kata ‘Kun‘. Meskipun itu ‘Firman Allah‘, tapi tidak 100 % firman Allah. Hanya bagian dari ‘roh Allah‘. Dan ‘roh Allah‘ ini tidak hanya dimonopoli oleh Yesus. Karena seluruh manusia semuanya memiliki ‘roh Allah’, meskipun berbeda dari segi kelahiran. Oleh sebab itu Allah menyatakan, ‘Inna matsala ‘Isa ‘inda Allahi kamatsali Adama, khalaqahu min turabbin tsumma qaala lahu kun fayakun’Wallahu a‘lamu bi al-shawab. [Cairo, March 26 2006

Bambang, dengan mengutip tafsir Ibnu Katsir, menyatakan bahwa selanjutnya, Ibnu Katsir menjelaskan makna ‘‘wajihan fii al-dunya wa al-akhirah’’ (yang terkemuka di dunia dan di akhirat), bahwa ‘Isa adalah seorang yang terkemuka dan berkedudukan di dunia karena Allah mewahyukan kepadanya aturan-aturan agama, dan di akhirat karena Allah memperkenan kepadanya memberikan syafaat di sisi Allah atas orang-orang dengan seijin-Nya (wa fii dar al-akhirati yusyafa‘u ’indallah fii man bi-idzini lahi fihi). Penjelasan yang sama dapat dijumpai pula dalam tafsir Jalalain:  ‘‘fi al-dunya bi al-nubuwwati, wa al-akhirat bi-syafa?ati wa al-darajat al-ula: tegese kagungan ing alam dunya klawan kenabian, lan ing alam akhirat klawan syafaat dan pira-pira derajat kang luhur’’. Maksudnya, ‘Isa al-Masih terkemuka di dunia karena ia dikarunia kenabian, dan di akhirat dengan syafaat dan derajat yang tinggi.
Umat Islam tidak menolak bahkan mengakui bahwa nabi ‘Isa ‘alayhissalammemiliki kedudukan sebagai ‘salah seorang nabi yang terkemuka’, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah di dalam Qs. Ali ‘Imrân (3): 45 di atas. Namun demikian, bukan berarti kedudukan ‘yang terkemuka’ dan ‘termasuk orang-orang yang didekatkan’ (min al-muqarrabîn) hak tunggal nabi ‘Isa saja. Kutipan Bambang dari tafsir Ibnu Katsir (700 – 773 H) dalam tafsiran kata wajîhan fi al-dunya wa al-âkhirah tidak lengkap. Lengkapnya, Ibnu Katsir menyatakan: ‘‘ay lahû wajâhatun wa makânatun ‘inda Allâhi fi al-dunya bimâ yûhîhi Allâhu ilayhi min al-syarî‘ati wa yunziluhu ‘alayhi min al-kitâbi wa ghayri dzâlika mimmâ manahahu Allâhu bihi. Wa fi al-dâri al-âkhirati yasyfa‘u ‘inda Allâhi fîman ya’dzanu lahu fîhi fayuqbalu minhu uswatan bi’ikhwânihi min ’Uli-l ’Azmin shalawâtullâhi wa salâmuhu ‘alayhi wa ‘alayhim ajma‘în.’’ (Artinya, dia memiliki kedudukan posisi mulia di sisi Allah di dunia: karena Allah mewahyukan kepadanya aturan-aturan agama dan kepadanya Allah menurunkan Alkitab (Injil) dan lain-lain. Dan di akhirat: memberikan syafaat kepada orang-orang dengan izin Allah. Dan ia diterima sebagai uswatun hasanah (tauladan yang baik) bersama-sama dengan para sahabatnya (nabi yang lain) dari golongan ulul ‘azmi[1], salawat serta salam atasnya dan atas mereka seluruhnya).[2]
Pertanyaannya: kenapa nabi ‘Isa disebut sebagai nabi yang wajîhan fî al-âkhirah? Firman Allah yang menyatakan: yauma wulida (di hari dia dilahirkan); karena orang-orang Yahudi menuduh ibundanya melakukan zina[3], padahal dia adalah seorang yang suci dan taat beribadah (al-thâhirah wa al-batûl). Dan firman Allah:wa yauma yamûtu (dan di hari dia wafat), karena orang-orang Yahudi dan Kristen menyatakan bahwa dia adalah ‘Tuhan’, atau ‘Anak Allah’, dan dia disalib, dan sebagainya. Ketika manusia sangat mengagumi seseorang, maka mereka bersikap berlebih-lebihan terhadapnya. Kemudian, Allah menyatakan dengan dua kata: al-mahdi dan kahlan[4], sebagai simbol bahwa ‘Isa ‘alayhissalamtermasuk kepada golongan manusia yang bersifat berubah. Ia sama seperti manusia yang lainnya: merasakan masa kanak-kanak dan masa dewasa. Selama dia demikian, maka janganlah kalian bersikap terlalu mengagungkannya, dan kalian mengatakan: dia Tuhan, ata Anak Tuhan.[5]
Jadi, Allah menyatakan bahwa nabi ‘Isa sebagai seorang nabi yang wajîhan fi al-dunya wa al-âkhirah untuk membantah pernyataan dan sikap berlebih-lebihan dari umat Yahudi dan Kristen.
Berbicara tentang kata al-muqarrabûn, Bambang kemudian menyatakan:
‘‘Tetapi yang menarik, karena al-Muqarrabin dalam al-Qur’an juga dikaitkan dengan ‘Isa (Q.s. ali-Imran/3:45), maka Imam al-Ghazali juga menghubungkan Yesus dengan penyaksian amal kebaikan itu di kerajaan langit. Al-Ghazali menulis dalam kitabnya Bidayat al-Hidayah, yang akan kita kutip sebagai berikut:
Faa man ‘alima (maka sapane wong kang weruh) dzalika (wong iku ing mangkono-mangkono) wa ‘amila bihi (wong kelawan ilmu) tsumma ‘allamahu (maka nuli mulanga wong) wa da‘a ilaihi (lan ngajak-ajak wong maring ilmu) fadzlika (maka utawi mangkono-mangkono) yud‘u ‘adziman (wong iku diarani wong ing agung) fi malakut as-samawat (ing dalem kraton pira-pira langit) bi syahadati ‘Isa ‘alaihi assalam (kalawan disekseni Nabi ‘Isa ‘alaihi salam).
Terjemahan:
Sebab bagi siapapun yang mengetahui ilmu tersebut dan mengamalkannya, mengajarkannya dan mendakwahkannya kepada orang lain, maka ia disebut orang yang mulia di kerajaan langit dengan disaksikan oleh Nabi ‘Isa alaihi salam.
Kitab yang dimaksud oleh al-Ghazali di atas adalah Ihya’ Ulumuddin (Kebangkitan ilmu-ilmu Agama), yang memuat berbagai-bagai bidang dan sudah diterbitkan ribuan kali. Lebih-lebih, di kalangan kamu Suni peranan al-Ghazali sangat dominan, sehingga kitab-kitabnya menjadi acuan hampir di seluruh pesantren di Indonesia. Ungkapan yang disebut dalam kitab Bidayat al-Hidayah yang kita kutip di atas, ternyata termaktub juga dalam Kitab Ilya’ Ulumuddin yang diredaksikan sebagai sabda Kanjeng Nabi ‘Isa sendiri:
Wa qala ‘Isa shalallahu ?alaihi wassalam (Lan dhawuhe sapa ‘Isa shalallahu ‘alaihi wassalam). Man (utawi sapa wonga) ‘alima wa ‘amala* (lamun iku pinter lan nglakoni ilmu) wa ?amala (lan mulangna) faa dzalika yud?u ?adziman (mangka iku bakal disebut wong kang mulya) fii al-malakut as-samawat (ing alam malakut ana ing langit).
Terjemahan:
Bersabda ‘Isa shalallahu ‘alaihi wassalam: ‘‘Barangsiapa yang menguasai ilmu dan melaksanakannya, lalu mengajarkan kepada orang lain ilmu itu, maka orang itu akan disebut sebagai seorang yang mulia di alam malakut yang ada di langit.’’
Tentu saja demikian! Islam sangat mengakui kebesaran nabi ‘Isa ‘alayhissalam.Salah satu hikmah yang dapat diambli dari sosok Yesus adalah kesederhanaanya. Masalah sabda Yesus, bukan hanya itu saja yang diambil. Dalam kitab Durrat al-Nasihin (yang sudah di-Indonesiakan), sabad Kanjeng nabi ‘Isa juga ada dikutip di sana. Dia menyatakan: ‘‘Manusia berada dalam tiga helaan nafas: nafasnya yang telah berlalu, nafasnya yang sedang dihela, dan nafas yang akan dihela.’’ Ini sangat luar biasa. Dan mengambil hikmah yang baik memang tugas seorang mukmin, sehingga adagium hikmah yang sangat masyhur menyatakan: ‘‘al-Hikmatu dhâllat al-mu’min, annâ wajadaha akhadzaha.’’(Hikmah itu adalah ‘mutiara yang hilang’ milik seorang mukmin. Dimanapun ia menemukannya, ia lebih berhak untuk memungutnya).
Tapi, masalahnya terletak ‘‘kerancuan pemikiran’’ dan ‘‘pemutar balikan fakta’’ tentang ‘Isa ‘alayhissalam. Benarkah Hujjat al-Islâm, Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) mengaitkan kata al-muqarrabûn dengan ‘Isa ‘alayhissalam di dalam kedua bukunya: Bidayat al-Hidayah dan Ihyâ’ Ulûm al-Dîn?
Hidangan dari Langit dan Mukjizat Yesus
Berbicara tentang al-mâ’idah (hidangan dari langit) yang diturunkan kepada nabi ‘Isa ‘alayhissalam, Bambang menyatakan:
‘‘Salah satu contoh, sebuah kisah mengenai mu‘jizat ‘Isa mendatangkan makanan dari sorga. Memang, dasar kisah ini juga dijumpai dalam al-Qur’an, bahkan surah kelima dinamakan dengan al-Maidah (Hidangan). Latar belakang Injil dari kisah ini adalah Perjamuan Malam, yang juga menjadi sentralitas iman Kristen dan mendasari perayaan ekaristi (Matius 26:26-29; Markus 14:22-25; Lukas 22:15-20). Dalam Islam kisah ini diambil, tetapi makna sakramentalnya yang berpusat pada pengorbanan ‘Isa al-Masih, sudah barang tentu tidak turut diambil alih.’’
Al-Qur’an mencatat tentang kisah penurunan hidangan tersebut, berdasarkan permintaan Hawiriyun (para pengikut setia) Yesus.[6] Masalah ekaristi tentu saja berbeda dalam kisah penurunan hidangan tersebut, sehingga umat Kristen menjadikannya sebagai fondasi keimanan. Islam memang tidak mengambil sakramental kisah tersebut, karena konteksnya memang bukan itu. Kisah hidangan tersebut menunjukkan mukjizat yang diberikan oleh Allah kepada Yesus Kristus. Allah berfirman:
‘‘Isa putra Maryam berdoa: ‘‘Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu bagi orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezkilah kami, dan Engkaulah Pemberi rezki Yang Paling Baik.’’ Allah berfirman: ‘‘Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan itu), maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorangpun di antara umat manusia.’’[7]
Jadi, dalam Islam, kisah ekaristi ini tidak mendapat tempat. Dalam Kristen sendiri fondasi keimanan yang satu ini tidaklah asli dari ajaran Yesus. Ia merupakan rumusan bapak-bapak gereja belakangan.
Leibniz, memaparkan pendapat sekte-sekte Kristen Eropa seputar Eucharist (al-qurbân al-muqaddas) ini. Ia juga menjelaskan perbedaan pendapat antara Kristen Katolik dari satu sisi, dan Protestan dari sisi yang lain. Ia mengungkapkan bahwa perbedaan-perbedaan seputar Eucharist telah ada diantara kelompok-kelompok Kristen Protestan itu sendiri.
Gereja Katolik, menurutnya, menyeru kepada konsep transubstantiation, yang berarti perubahan ‘‘roti’’ dan ‘‘anggur’’ menjadi jasad dan darah Yesus Kristus: secara hakiki, parsial dan general. Meskipun roti dan anggur itu tetap dalam bentuknya sebagai roti dan anggur, tidak hilang sedikitpun karakterisitik zahirnya, sama saja dalam rasa atau warna, namun keduanya berubah secara mukjizat menjadi darah dan daging Kristus: dimana tubuh Kristus menggantikan roti dan anggur.[8]
Sedangkan dalam Protestan, perbedaan pendapat sangat keras terjadi. Terjadi perbedaan pendapat antara Lutherian, Zaunjilian dan Calvinian. Perbedaan yang sangat sengit terjadi antara Lutherian dan Zaunjilian, dimana Luther tidak menerima kelompok yang berbeda pendapat dengannya sebagai saudara dalam Kristus, hingga mereka mau menerima doktrin Eucharist ini dalam artinya yang literal, bukan simbolik.
Dari sisi yang lain, Calvin berbeda pendapat dengan Luther dan Zaunjili. Calvin menuduh Zaunji bahwa dia tidak meninggalkan sedikitipun dari kewajiban-kewajiban religi, kecuali hanya dalam bentuk simbol yang ‘telanjang’ dan kosong.[9]
Kemudian, pertanyaannya: Benarkah hidangan itu turun atau tidak?
Dalam masalah ini, Bambang mengutip buku Durrah al-Nasihin. Ia menyatakan:
‘‘Dalam kitab Duratun Nashihin, karya ‘Usman bin Hasan bin Ahmad Syakir, memuat pengembangan kisah yang dimuat dalam Q.s. al-Maidah/5:111-115. Dikisahkan bahwa memenuhi permintaan kaumnya, ‘Isa berdoa kepada Allah dan hidangan itu memang benar-benar turun dari langit. Lalu ‘Isa berdoa, sementara hidangan berwarna merah itu turun diantara awan-awan: Allahuma aj?alhun minasy syakirin. Allahuma aj?alha rahmatan lil ?alamin, wa laa taj/alha matslatan wa ?uqubatan. Artinya: ‘‘Ya Allah, jadikanlah mereka orang-orang yang pandai bersyukur. Ya Allah, jadikanlah hidangan itu sebagai rahmat untuk semesta alam, dan jangan jadikan sebagai bencana dan siksaan.’’
Setelah mengambil air wudhu untuk sembahyang, sambil menangis Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: ?Siapa diantara kamu yang baik amalnya, silahkan tegak membuka hidangan itu, dengan menyebut nama Allah dan memakannya?. Tetapi Simon (Syam?un), salah seorang tokoh dari kaum Hawariyin itu, mengatakan kepada Yesus: ?Engkau yang utama membukanya?. Maka ?Isa pun berdiri untuk sembahyang, ia menangis sambil membentangkan sapu tangan dan membaca kalimat: Bismillahi khair ar-raziqin (Dengan Nama Allah Pemberi rezeki yang paling baik).26 Kisah ini kemudian disambung dengan mu?zijat penggandaan makanan yang dinikmati oleh orang-orang miskin secara merata sampai 40 hari lamanya.’’
Dalam hal ini, ada dua catatan penting. Pertama, kitab Durrah al-Nâsihîn banyak sekali menukil riwayat-riwayat yang tidak benar alias palsu. Kelemahan ini semakin tampak, ketika buku itu ditulis tanpa tahqîq (verifikasi) dan takhrîjhaditsnya. Salah satu kelemahan buku ini juga adalah: tentang kisah penurunan hidangan dari langit kepada nabi ‘Isa ‘alayhissalam.
Kedua, para mufassir berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian mufassir menyatakan bahwa hidangan tersebut turun, sebagai istijabah (pengabulan) dari doa Kristus dan permintaan para Hawariyun-nya. Dan orang-orang yang kafir, setelah memakan hidangan tersebut, menjadi kera dan babi. Dan maksud dari ‘‘manusia’’ (ahadan min al-‘âlamîn) adalah manusia zaman mereka.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar: ‘‘Sesungguhnya manusia yang paling dahsyat siksanya pada hari kiamat itu tiga golongan*pertama, orang yang munafik, berdasarkan firman Allah: ‘‘Sesungguhnya orang-orang munafik itu berada dalam neraka yang paling dasar.’’[10] Kedua, yang kafir (ingkar) dari orang-orang yang menerima hidangan (ashhâb al-mâ’idah) berdasarkan firman Allah: ‘‘...barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan itu), maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorangpun di antara umat manusia.’’[11] Ketiga, kaum Fir‘aun, berdasarkan firman Allah: ‘‘...dan pada hari terjadinya Kiamat, dikatakan kepada malaikat: ‘‘Masukkan Fir‘aun beserta kaumnya  ke dalam azab yang sangat keras.’’[12]
Ketika kita (umat Islam) mengakui turunnya hidangan (al-mâ’dah) tersebut, kitatawaqquf (tidak menyatakan apa-apa) tentang penjelasannya secara detail: sifat hidangan, corak, rasa dan jumlah orang yang memakannya, dst. Kesemuanya tidak memiliki dasar dari nash yang benar. Seyognya bagi seorang Muslim agar tidak larut dalam riwayat-riwayat yang aneh.
Kelompok yang lain menyatakan bahwa hidangan tersebut tidak turun. ParaHawariyun menarik kembali permohonan mereka, ketika dijelaskankepada mereka tentang azab yang pendih jika mereka kafir (ingkar). Riwayat yang dekat dengan ini adalah apa yang diriwayatkan oleh imam Ahmad ibn Hanbal dari Ibnu Abbas, ia berkata: ‘‘Orang-orang Quraisy berkat kepada Nabi SAW.: ‘‘Berdoalah kepada Tuhanmu untuk kami agar ia menjadikan bukit Shafa menjadi emas, dan kami akan beriman kepadamu? Beliau bertanya: ‘‘Kalian akan melakukannya (beriman)?’’ Mereka menjawab: ‘‘Ya.’’ Maka Nabi SAW. pun berdoa, lalu datanglah Jibril dan berkata: ‘‘Tuhanmu mengucapkan salam (penghormatan) kepadamu dan berkata, jika engkau mau maka bukit Shafa itu bisa menjadi emas untuk mereka. Dan barangsiapa yang ingkar dari mereka setelah itu, maka Aku akan mengazabnya dengan siksaan yang tidak aku berikan kepada seorang manusiapun. Dan jika engkau mau, maka bagi mereka dibukakan pintu taubat dan rahmat. Nabi SAW. lalu berkata: ‘‘Aku memilih taubat dan rahmat.’’[13]
Imam Ibnu Katsir memaparkan riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa hidangan tersebut tidak turun. Kemudian beliau berkata:
‘‘Ini merupakan sanad-sanad yang benar (yang dinisbatkan) kepada Mujâhid dan al-Hasan. Hal itu semakin menguatkan bahwa cerita tentang hidangan tidak dikenal oleh orang-orang Nasrani, dan tidak terdapat di dalam kitab-kitab mereka. Jika memang hidangan itu turun, maka akan tersebarlah riwayat-riwayat (yang dinukil) tentang itu, dan termaktub di dalam kitab mereka secara mutawari (diriwayatkan secara berurutan, dari awal hingga hari ini) dan tidak lebih rendah derajatnya dari khabar Ahad.[14] Wallahu ‘alamu.’’[15]
Namun, pendapat mayoritas ulama menyatakan bahwa hidangan tersebut turun, dan ini lebih dekat untuk di-i‘tibari. Karena, janji Allah dan ancamannya adalahhaq dan benar – terjadi. Dan masalah ini disebutkan di dalam Al-Qur’an sebagaiibrah dan peringatan. Danf firman-Nya, ‘‘...barangsiapa yang ingkar setelah itu dari kalian,’’ merupakan syarat dan balasan, tidak ada kaitannya dengan firman-Nya, ‘‘Aku akan menurunkannya kepada untuk kalian.’’[16]
Yang penting untuk dicatat adalah: apa yang terdapat di dalam Injil[17] tentang masalah hidangan ini tidak berbeda. Artinya, ia berasal dari Allah SWT. Ini mengindikasikan bahwa Yesus benar-benar hanya menerima hidangan dari Allah, bukan lewat dirinya sendiri. Dalam Injil sendir disebutkan bahwa Yesus mengangkat tangannya ke langit. Kenapa dia mengangkat tangannya ke langit? Kepada siapa dia melakukan itu? Siapa yang dimintai pertolongan oleh Yesus untuk menurunkan mukjizat? Itu semuanya beliau lakukan ke hadirat Allah SWT. wallâhu a‘lamu bi al-shawâb. Cairo, 27 Juli 2006.



[1] Nabi-nabi yang tergolong kepada ulul ‘azmi adalah: Nuh, Musa, Ibrahim, ‘Isa dan Muhammad salawat serta salam atas mereka semua.
[2] Imam Hâfizh ‘Imâd al-Dîn Abu al-Fidâ’ Ismâ‘il ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, takhrij hadits: Mahmoud ibn al-Jamîl, Walîd Muhammad ibn Salâmah dan Khâlid ibn Muhammad ibn Utsmân, (Cairo: Maktabah al-Shafâ, jilid I (Juz II), cet. I, 2004), hlm. 25.
[3] Lihat kisah tentang tuduhan kepada Sayyidah Maryam dan pembelaan ‘Isa terhadap ibundanya di dalam Qs. Maryam (19): 27-36.
[4]  Qs. Ali ‘Imrân (3): 46.
[5] Syeikh Muhammad Mutawalli al-Sya‘rawî, Maryam wa al-Masîh, (Cairo: al-Maktabah al-Tawfîqiyah, tanpa tahun), hlm. 128-129. Buku ini sangat baik dalam membahasa kisah Maryam dan anaknya nabi ‘Isa ‘alayhissalam. Posisi beliau sebagai seorang mufassir, menjadikan pembahasan bukunya sangat menarik, argumentatif dan berbobot.
*  Seharusnya ‘amila, bukan ‘amala (Penulis).
[6] (Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa berkata: "Hai Isa putera Maryamsanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?." Isa menjawab: "Bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang yang berimanMereka berkata: "Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu.’’ (Qs. Al-Mâ’idah (5): 112-113.
[7]  Qs. Al-Mâ’idah (5): 114-115.
[8]  Dr. Muhammad Utsmân al-Kasyat, Falsafah al-‘Aqâ’id al-Masîhiyah: Qirâ’ah Naqdiyah fî Lâhût Leibniz, (Mesir: Dâr Qubbâ’ li al-Thibâ’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzî‘, 1998), hlm. 85.
[9]  Ibid., hlm. 85-86.
*  Dapat pula ditambahkan kelompok keempat, yaitu orang-orang Yahudi yang diisyaratkan di dalam firman Allah: ‘‘…apakah kalian beriman kepada sebagian Alkitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kalian perbuat.’’ (Qs. Al-Baqarah (2): 85).
[10]  Qs. Al-Nisâ’ (4): 145.
[11]  Qs. Ali ‘Imrân (3): 115.
[12]  Qs. Ghâfir/al-Mu’min (40): 46.
[13]  Prof. Dr. Muhammad Sayyid Ahmad al-Musayyar, al-Masîh wa Risâlatuhû fî al-Qur’ân,(Cairo: Maktabah al-Shafâ, cet. I, 1999), hlm. 51.
[14]  Khabar atau hadits Ahad dalam istilah para muhaddits adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perawi. Itu secara lughawi (etimologis). Sedangkan secara terminologis adalah: hadits yang tidak terkumpul di dalamnya syarat-syarat hadits mutawâtir (1 Diriwayatkan oleh orang banyak; 2) Banyaknya jumlah yang meriwayatkan harus ada dalam setiap tingkatan (thabaqah); 3) Mustahil para perawi tersebut (terbiasa) untuk melakukan perbuatan dusta, dan 4) Sandaran hadits mereka adalah indera, seperti kata-kata: sami‘nâ (kami telah mendengar),ra’aynâ (kami telah menyaksikan), atau lamasnâ (kami telah menyentuh), dsb. Lihat, Mannâ‘ al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Hadîts, (Maktabah Wahbah, cet. II, 2001), hlm. 95-96 dan 97.
[15]  Ibid. jilid II (juz 3), hlm. 119.
[16]  Prof. Dr. al-Musayyar, loc. cit.
[17] Matius 14: 15-21, Markus 6: 34-40, Lukas 9: 11-17, dan Yohanes 6: 5-13.