Minggu, 14 Agustus 2011

BELENGGU-BELENGGU PIKIRANMANUSIA


Dalam pasal ini, sang penulis ingin mendukung dogma penyaliban. Seolah-olah dogma ini benar, padahal dogma ini sangat batil. Dia menulis:

“Roh TUHAN (Rohullah; Quraan) itu sendiri tidak tersentuh salib, yang fisik. Belenggu sesungguhnya di dalam pikiran manusia: “Tidak boleh Tuhan memberi tubuh jasmaniNya disalibkan!” Lihatlah jerat yang ditanamkan oleh Iblis ke dalam pikiran sebagian umat, sehingga mereka melarang-larang TUHAN!”[45]

Jadi, orang yang menolak penyaliban Yesus Kristus adalah yang melarang TUHAN menjadi seperti itu. Dan itu menurutnya adalah jerat Iblis dalam pikiran manusia. Sungguh menggelikkan sekali cara berpikir seperti ini. Lalu apa tujuan penyaliban itu menurut sang penulis. Dia mencatat:

“Maksud yang lain dalam mengijinkan tubuh-jasmaniNya disalibkan adalah demonstrasi-kan kepada umat TUHAN bahwa jasad manusia tidak berarti. Semua jasad manusia datang dari debu, pasti kembali menjadi debu (Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.) Hal itu adalah sebagian dari pengajaran Injil yang disampaikan oleh Yesus dalam Yohanes 6: 63; …Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna…” (Tidak berguna untuk hidup dalam kekekalan).[46]

Di sinilah liciknya sang penulis. Ketika ia menyatakan bahwa Yesus bersatu dengan Tuhan di langit, dia menggunakan Qs. Al-Nisa’ [4]: 158. Tapi ketika menawarkan dogma penyaliban, dia tidak berani mengutip ayat yang sama. Padahal dalam Qs. Al-Nisa’ [4]: 158 Allah berfirman: “…wa ma qataluhu wa shalabuhu, wa lakin syubbiha lahum…” (Mereka tidak membunuhnya dan tidak menyalibnya. Melainkan (mereka membunuh dan menyalib) orang yang diserupakan bagi mereka). Inilah yang disebutpragmatisme itu. Dalam tulisan ilmiah, ini tidak dapat diterima karena tidak dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan.

Untuk mendukung dogma Trinitas juga, dia menulis sepeti di bawah ini:

“Sungguh menyedihkan, sebagian umat terkungkung dalam paham keliru, menganggap bahwa TUHAN itu tiga pribadi, dan ketiganyasama martabat. Akibatnya muncul ejekan: “Mana mungkin 1+1+1=3?[47] Belenggu pikiran sedemikian harus dipatahkan. Yang benar adalah ‘1’ yang menjadi pangkal atau induk, lalu yang satu itu, untuk sementara memecah diri menjadi dua, untuk kemudian menyatu kembali. Dan keseluruhan Roh TUHAN itu tidak pernah berkurang, karena perpisahan yang terjadi adalah semu. Dalam Alam Roh, setiap bagian Roh itu tetap dalam satu kesatuan (Yohanes 10: 30). Di bawah inilah kebenaran ilahi:
Yang Maha Besar memisahkan sebagaian RohNya, masuk ke dalam jasad manusia (Yesus – Anak – Manusia). Lalu jasad manusia itu pecah (Yesus tersalib), prasyarat agar kedua ‘bagian’ itu dapat menyatu kembali. Terjadinya penyatuan kembali, dilanjutkan dengan pencurahan bagi semua umat manusia yang menerima Ruhul Qudus itu!”[48]

Lumayan tinggi khayalan sang penulis ini. Orang pintar pun tidak apat menerima matematis seperti ini: 1+1+1=1. Orang yang berakal sehat dan berpikir dengan benar tidak pernah dapat menerima teka-teki ketuhanan yang membingungkan ini. Dogma ini juga sangat mencederai kesucian Allah s.w.t. Oleh karena itu, Prof. Crane Briton dalam bukunya The Shaping or Modern Mind mengatakan: “Take the Christian doctrine of Trinity. Mathematics was againt that. It no respectable arithmetical system could three be three and the same time one” (Ambillah ajaran Kristen tentang Tritunggal. Matematika menentangnya. Tidak ada sistem ilmu hitung yang pantas dihormati yang mengatakan bahwa tiga sama dengan tiga tetapi pada saat yang sama adalah juga satu).[49]

Siapa yang tidak kenal dengan Karl Marx. Dia sangat luar biasa pintarnya. Tapi ketika berbicara tentang Trinitas, dia malah mengatakan: “Soll sie in dem einen Lande glauben, daB 3x1=1” (“Dapatkan manusia mempercayai bahwa tiga kali satu sama dengan satu?”)[50]. Maka banyak para pemikir Kristen yang tak sampai nalarnya untuk memikirkan dogma ini. Akhirnya dia menerima secara apologetis. St. Anselm, misalnya, menulis Cur Deus Homo. St. Augustine juga menulis de Trinitate dan memproklamasikan slogan: “Credo ut intellegum” (Aku percaya supaya aku bisa mengerti). Senada dengan Augustine, Tertullian menyatakan: “Credo quia absurdum(“Aku beriman justru karena doktrin tersebut tidak masuk akal”).[51]

Sekali lagi, sang penulis tidak berani mengutip Al-Qur’an yang menolak dogma Trinitas yang membingungkan ini. Karena siapa saja yang mengakui dan meyakini dogma ini akan dicap “kafir”. Sementara sang penulis sejak awal mengklaim dan mendaulat dirinya sebagai “pengikut Injil Yesus yang murni”, karena dia adalah ‘Murid Yesus’.Pragmatis memang. Benar-benar pragmatis!