Senin, 06 Juni 2011

Mengapa Muslim Harus Memikirkan Kembali Tentang Palestina?

AFRIKA SELATAN (Berita SuaraMedia) - Ratusan jamaah yang tekun mendengarkan ketika saya menguraikan tantangan yang dihadapi Palestina dan warganya. Teriakan 'Allahu Akbar' - Allah Maha BeUmat Muslim menggelar sholat Jumat di Kota Tua Yerusalem pada 19 Maret 2010 setelah mereka dilarang memasuki wilayah Masjid Al Aqsa oleh pasukan bersenjata Israel yang menerapkan larangan ketat atas akses situs suci tersebut. (Foto: Getty Images)sar - berkali-kali berkumandang dari sudut Masjid megah di Afrika Selatan. Banyak yang merengek saat saya menggambarkan tragedi yang menimpa Gaza sebagai hasil pendudukan Israel.
Mereka bersorak, tersenyum dan mengangguk saat saya menekankan bagaimana harapan bangsa Palestina tidak akan terkalahkan. Beberapa orang tua di barisan depan menangis sepanjang ceramah saya,  yang mengawali khutbah Jumat di Durban beberapa bulan lalu.
Jika hasrat dan kebaikan sangat kuat dalam diri mereka sendiri, maka rasa iba yang tertuang dari umat Muslim itu tentu dapat memperbaiki dunia dalam cara yang banyak sekali. Cinta dan perhatian yang ditunjukkan oleh pria dan wanita dari ras, kelompok usia, kelas dan bahasa yang berbeda-beda paling menguatkan dan membenarkan.
Sebagai sebuah kesatuan, Palestina dan perjuangannya untuk mendapat kebebasan dan keadilan lebih dekat dengan hati dan pikiran semua Muslim di seluruh dunia dibanding dengan kelompok lain yang pernah saya jangkau. Untuk mengumpulkan dukungan diantara Muslim, seseorang tidak pernah diwajibkan untuk membuat perkara, untuk membenarkan, atau untuk menjawab tuduhan yang diberikan oleh pihak kiri dan kanan.
Tidak perlu dikatakan, pertalian Muslim dengan Palestina itu historis, berbasis pada prinsip Islam yang terucap di Al-Qur'an dan Sunnah.
Hanya saja, seiring berjalannya waktu, sesuatu beranjak usang. Sementara sentimen yang ada tetap kuat, hanya persatuan kecil yang terbentuk dalam cara dimana energi itu dimanfaatkan, atau konsesus dibangkitkan. Dalam usaha mereka untuk menjangkau Muslim, banyak yang memanipulasi perasaan tulus Muslim biasa atas alasan pribadi, politis, ideologis dan finansial.
Banyak pemimpin Muslim, organisasi, dan individu menunjukkan pemahaman terbatas atas situasi di Palestina, dan menawarkan peta jalan eksklusifis sebagai cara untuk menyelesaikan konflik penuh penderitaan tersebut.
Hasilnya sangat mengecewakan. Tidak ada strategi yang jelas, tidak ada usaha yang relevan, dan tidak ada perbedaan nyata yang dihasilkan dari dukungan ratusan dari milyaran Muslim di seluruh dunia.
Sedikit banyak kegagalan semacam itu merupakan hal yang simptomatis tentang penyakit yang lebih besar, yang sudah lama menimpa umat Muslim. Setelah kematian Kerajaan Ottoman, konsep Umat Muslim (bangsa) - yang dibatasi oleh garis spasial dan politis yang nyata -digantikan oleh rujukan pada sebuah bangsa yang ada dalam batasan intelektual yang tidak tergambarkan.
Konsep ini secara tajam diikuti olehh beragam pemimpin Muslim dan Arab sepanjang sejarah, yang bersikukuh bahwa mereka - dan hanya mereka - mewakili sentralitas politik badan Muslim yang tak mudah dipahami.
Oleh karena itu, berhutang pada sentralitas perkara Palestina terhadap Islam, pemimpin-pemimpin ini juga mengadaptasi perkara Palestina sebagai bagian dari mereka sendiri, walaupun bahwa hubungannya masih terbatas pada khutbah Jumat yang berapi-api dan mengoyak hati.
Dengan kata lain, Palestina, bagi banyak Muslim, ada sebagai bagian dari imajinasi kolektif, yang dikuatkan dengan  simbol yang menyatukan seperti Masjid Al Aqsa, dan rujukan pada ayat-ayat spesifik di Al-Qur'an.
Taktik semacam itu berhasil dengan ajaib, karena Muslim yang tak berdaya tapi bersemangat berinfak secara murah hati, atau  memuji-muji nama siapapun yang bertindak sebagai penyelamat 'tanah Islam Palestina' dan Masjid sucinya.
Akhirnya hubungan itu menghasilkan tiga kelompk berbeda. Kelompok pertama kebanyakan terisi dengan tujuan Palestina sebagai 'perkara umat Muslim', yang dapat mereka layani melalui donasi tak rutin dan doa teratur bagi kemenangan Muslim di Palestina. Kelompok yang lain meliputi mereka yang sinis terhadap interpretasi kebanyakan Muslim atas Palestina, dan yang telah menjadi semakin radikal dan terisolasi. Kelompok ketiga adalah yang sepenuhnya kecewa dan menyingkir.
Dapat diprediksi bahwa tidak satupun dari kelompok-kelompok ini secara efektif terlibat dalam kontribusi pada strategi jangka panjang untuk mengakhiri pendudukan Israel, atau dalam pemberdayaan warga Palestina dalam resistensi mereka untuk meraih hasil semacam itu.
Sementara itu, intifada kedua Palestina (pemberontakan) di tahun 2000 menegaskan dan berhasil membangkitkan pertumbuhan pergerakan internasional terhadap Palestina. Dalam gerakan ini, Muslim, sebagai satu kelompok, tidak lagi menjadi kontributor utama.
Ada beberapa hasil yang dicapai, misalnya mencabut Israel dan sekutunya dari pengurangan konflik menjadi perang agama, dengan Israel secara alami menjalankan peran benteng nilai Kristen-Judea, akan tetapi juga ada banyak kehilangan, ketika banyak pendukung perkara Palestina yang terlalu berapi-api menyebabkan kembalinya atas peran mereka dalam protes massa, pembakaran bendera dan ungkapan kemarahan.
Gambaran itu pula, yang secara cerdas dimanipulasi, khususnya setelah tragedi 11 September, menghubungkan Palestina dengan ekstrimis Muslim. Banyak yang terdorong untuk percaya bahwa bahkan Muslim berjenggot pun terkait dengan Al-Qaeda.
Kemunculan Hamas sebagai kekuatan politik dalam pemilihan umum Palestina tahun 2006 sekali lagi membenarkan relevansi Muslim dengan Palestina. Usaha Hamas untuk mengeksplorasi 'kedalaman strateginya' dengan menjangkau negara-negara Muslim tidak diterjemahkan menjadi hasrat pencapaian politik, tapi justru menyemarakkan banyak atau sedikit hubungan Muslim yang terbengkalai dengan Palestina dan pada konflik yang ada secara keseluruhan.
Terlebih lagi, berkat kemampuan Hamas untuk mengesankan dirinya sebagai aktor jangka panjang dalam konflik tersebut, banyak Muslim di luar Palestina mulai menukar sentimentalitasnya dengan bahasa politik yang sebenarnya. Sementara itu, banyak komunitas Muslim berusaha mencari bentuk praktis untuk mengungkapkan solidaritas mereka dan untuk membantu warga Palestina, dengan Gaza mewakili persatuan utama.
Sayangnya, beberapa yang menggunakan bahasa eksklusifis yang sama di masa lalu, saat ini semakin kaya dalam positivisme agama. Hal ini tidak selalu disengaja, tapi tampak dapat melemahkan solidaritas internasional, atau, setidaknya, untuk menyingkirkan relevansi Muslim pada kelompok orang yang terkait dengan Palestina yang semata-mata religius.
Dalam solidaritas tahap lanjut ini, yang menunjukkan bahwa Palestina sekali lagi berada dalam agenda utama internasional - termasuk masyarakat sipil di seluruh dunia - Muslim harus mendefinisikan ulang hubungan mereka dengan Palestina, berdasarkan nilai dan prinsip yang terpancar dalam Islam.
Tapi mereka juga harus hadir dalam cita-cita yang dibagi secara universal, berbicara dalam bahasa yang mempersatukan. Sementara mereka harus memeluk simbol mereka dengan bangga, mereka juga harus memahami bahwa perjuangan itu adalah satu untuk kemerdekaan dan hak, dan bukan lokasi fisik spesifik saja.
Muslim harus berdiri, saling bergandeng tangan, dengan orang-orang dari berbagai latar belakang berbeda, bukan sebagai pemilik eksklusif perjuangan Palestina, tapi sebagai kontributor membanggakan atas pergerakan global yang berharap memastikan bahwa keadilan ditegakkan, hak-hak diraih dan kedamaian bagi semua orang menjadi kenyataan. (raz/mn) www.suaramedia.com